Jumat, 17 Maret 2017

Nurse is not a Job. Nurse is My Soul!

#Violet 26
Beberapa saat lalu salah satu adik kelas BBM. Mengajukan 2 pertanyaan yang membuat saya berpikir extra.
1. Kenapa pilih menjadi perawat?
2. Kenapa pilih menjadi perawat diluar negeri daripada PNS?
Oke. Saya jelaskan satu-satu yah adek cantik. Semoga bisa menjawab.



Perawat itu bukan pilihan saya. Bukan pula pilihan orang tua. Saat itu di antara kebimbangan luar biasa. Tahun 2010, setelah lulus SMA, diterima di 2 kampus negeri. S1 Sastra Inggris Universitas Diponegoro dan D3 Keperawatan Poltekkes Kemenkes Semarang.
Waktu berpikir hanya 1 minggu. Karna harus segera daftar ulang di hari yang berdekatan.
Siapa sih yang tidak mau kuliah di Undip? Yang masuk 10 besar jajaran kampus terbaik di Indonesia. Bahkan dek, guru SMA dan teman-teman berambisi masuk sana. Pula itu harapan Ayah yang juga alumni Undip dan kakak yang sedang melalui tahun terakhirnya di sana dengan beasiswa. Nyatanya, saya sudah mengeliminasi ribuan orang yang ikut test SNMPTN Undip.
Dan Poltekkes? Diam-diam mendaftar. Dari uang yang didapat setelah membagi brosur kendaraan. Mudahnya, jadi SPG. Saya juga tidak pamit waktu test. Ketiduran saat mengerjakan soal. Sembarangan asal contreng. Masa bodoh sama sekali. Pilih jurusan perawat juga gambling. Tutup mata. Asal tunjuk. Berdoa dalam hati semoga tidak lolos. Tapi lolos. Masuk 10 besar.
Galau luar biasa.
Tak tahu harus pilih jalan mana. Semuanya berat. Karna tentu saja satu langkah menentukan masa depan kita.
Bagaimana jika salah jurusan dek? Lalu menjadi pecundang. Gagal memilih langkah. Kuliah sembarangan. Masa depan porak-poranda.
Saya shalat istikharah malam itu. Menangis sejadinya. Pasrah sepasrah-pasrahnya. Rasanya, terserah apa mau Allah. Saya hantarkan keduanya. Undip di tangan kanan. Poltekkes di tangan kiri. Saya letakkan di sajadah.
Dan cahaya itu datang. Terang sekali, dek. Saya belum pernah menemukan cahaya seterang itu. Tepat di sana. Di dalam hati yang paling dalam. Ada kekuatan yang luar biasa. Keyakinan yang memancar entah dari mana. Memedar begitu saja. Indah. Menawan. Terang sekali. Padahal kamar saat itu gelap gulita. Cahaya itu menyemai keberanian untuk melangkah, ke jalan perawat.
Paginya saya katakan ke orang tua. Ayah marah sekali. Benar-benar marah. Beliau ingin melihat anaknya menjadi sarjana. Dan kau tahu apa yang beliau katakan?
"Kalau kamu pilih perawat, setelah lulus nanti, papa ga mau bayarin kuliah lanjutan kamu lagi. Pokoknya cari uang sendiri. Biayai hidupmu sendiri! Mahal-mahal kuliah kok jadinya pembantu!"
Saya tak bisa menjelaskan kenapa pilih perawat. Tidak. Kejadian malam itu sulit dilukiskan. Apalagi sebagai latar. Tak masuk nalar. Katanya, saya egois, tak bisa berpikir logis.
Logis? Itu Allah, dek. Allah yang memilihkan. Kenapa saya pilih perawat? karna Allah yang memilihkannya. Sama seperti kita tak dapat memilih jodoh yang ganteng, soleh, rupawan, kaya raya, sabar dan pintar segalanya. Kita, hanya akan menerima jodoh pilihan Allah, dek. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan segala keterbatasan yang pada kenyataannya, justru dapat menyempurnakan kita.
Saya menerima tawaran itu. Meski ditentang dan dimusuhi. Dicaci saudara-saudara. Ditertawakan tetangga. Disindir sana sini. Bahkan menjadi anak durhaka karna tidak nurut orang tua.
Saya hanya genggam ini kuat-kuat, "saat kita memilih Allah, Allah akan memberikan kekuatan besar. Meski kita berjalan sendirian. Percayalah, kuasaNya meliputi luas semesta."
Berat sekali kuliah tanpa dukungan keluarga. Kamu pasti tahu benar rasanya, dek. Bahkan berusaha menunjukkan prestasi lewat organisasi kampus agar mereka menerima saya.
Menjadi salah satu mentor NEC (Nursing English Club), 2 tahun di BEM (organisasi eksekutif tertinggi kampus), menjadi anggota FKMPI (Forum Komunikasi Mahasiswa Politeknik se-Indonesia), komisi C Forkompi (Forum Komunikasi Mahasiswa Poltekkes se-Indonesia), dan juga menjadi Ketua UKM Paduan Suara Mahasiswa.
Tapi sia-sia dek. Mereka tak melihat itu semua. Setiap pulang dan kelelahan. Saya justru mendapat cacian. "Sukurin! Salah sendiri jadi perawat!" Apalagi jika keceplosan mengeluh. Semakin panjang cercaan menghujam.
Saya mencoba menyeret kaki setiap hari. Menguatkan hati. Belajar menata diri. Tidak mengeluh. Tidak membantah. Dan yang pasti tidak berhenti melangkah. Meski terseok-seok dan menahan sakit. Belajar menjadi pribadi tangguh.
Setelah lulus, diterima di Rumah Sakit Internasional di Bandung. Alhamdulillah dimudahkan, dek. Dari lulus hingga sekarang, tak pernah meminta uang lagi ke orang tua. Sesuai perjanjian kami 3 tahun yang lalu. Saya pindah ke Bandung. Membiayai seluruh kebutuhan sendiri.
Memulai hidup dari nol. Berhutang RS saat ambruk dan menginap di IGD. Beli nasi bungkus untuk 2x makan. Menggelonggong air putih saat lapar tengah malam. Memilih berjalan kaki 30 menit demi menghemat uang angkutan.
Tapi dek, percayalah, Allah memeluk erat mimpi kita. Menjadi perawat bukan pekerjaan yang saya impikan. Tapi ini adalah jiwa untuk meraih mimpi-mimpi saya. Menjadi manusia yang berguna. Bermanfaat bagi sesama. Bukankah itu pesan Nabi Muhammad SAW juga?
Memegang janin 3 bulan karna ibu keguguran. Menimang bayi hydrocephalus. Mengajak bermain anak-anak penderita kanker. Menyaksikan senyum bahagia setelah pasien operasi katarak. Menghibur remaja yang depresi karna putus cinta.
Menenangkan pasien gangguan jiwa. Menyemangati pasien yang baru sadar dari koma. Memeluk ibu yang kehilangan bayinya. Menggenggam tangan pasien saat ruhnya tercabut. Hingga mengumpulkan jenazah tak utuh korban kecelakaan.
Perawat bukan pekerjaan, dek. Ini adalah sebongkah jiwa. Bersinar terang di hati kita. Memancar memberi kehangatan dunia.
Jika kau temui salah di profesi ini. Maafkanlah. Tak ada yang sempurna di dunia. Jika gaji tak seberapa. Profesi ini dipandang sebelah mata. Bahkan ada yang terang-terangan menghina. Biarkan saja, dek.
Yang penting kita tetap berusaha optimal. Belajar sebaik-baiknya. Semoga usaha kita kelak berbuah manis. Semanis upaya kita untuk memperbaiki nama profesi ini. Yang bertahap menjadi pribadi indah dan mengindahkan. Yang santun, sopan dan bersahaja.
Jika mengubah profesi ini terlalu sulit, maka semoga keberadaan kita selalu bermanfaat bagi sekitar. Mengubah hal-hal kecil. Menghentikan kebiasaan mengeluh dan banyak protes tanpa melakukan apa-apa. Semoga kita menjadi pionir untuk berpikir positif dan bertindak aktif di dalam maupun di luar negeri. Biarkan waktu bercerita, kita tetap berkarya.
Maafkan jika menangis menulis ini. Rasanya seperti membuka tabir kehidupan diri. Jika tak memilih perawat, akankah saya bahagia? Akankah sukses? Akankah sampai ke Saudi Arabia? Akankah merasakan nikmat bersujud di depan ka'bah?
Malam itu Allah menuntun menjadi perawat, karna Allah tahu masa depan saya. Allah telah menyiapkan semuanya. Pintu-pintu kesempatan. Dan mimpi-mimpi saya. Mungkin begitu juga denganmu. Allah sedang menyiapkan hadiah menawan untuk semua perjuanganmu. Bersabarlah sayang. Semua indah pada waktunya.
5 tahun lalu saya juga tak tahu jika akan berada di tanah nabi, sebagai perawat. Tapi apa saya ragu pada pilihanNya saat itu? Tidak. Saya selalu percaya pada kehendakNya. Meski harus jatuh bangun meniti tangga pembuktian.
Apa kau masih tak percaya? Cobalah tutup matamu sejenak. Lalu rasakan ada yang bersinar hangat di sana. Jauh di dalam hatimu yang gulita. Ada jiwa yang membuatmu menjadi pribadi istimewa. Adakah kau menemukannya sayang? Jiwa perawat itu. Yang kau bawa kemanapun kau pergi. Yang kau jaga bagaimanapun sakitnya fisik dan hatimu.
Tersenyumlah. Berbahagialah. Allah menuntun kita ke jalan yang benar. Selalu ke jalan yang benar.
Dirgahayu PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia) ke 42.
Untuk para dosen dan teman semua. Terimakasih telah membawa saya menemukan diri seutuhnya. Menggenggam saya melewati hidup sebenarnya. Semoga rahmat Allah senantiasa tercurah untuk kita semua. Dimanapun berada.
Untuk pertanyaan kedua, insyaallah saya jawab ditulisan selanjutnya.
Salam sayang dari Saudi Private Nurse.
*Violeta
Riyadh, Saudi Arabia, 17 Maret 2016, 03.37 pm

Rabu, 15 Maret 2017

I am Saudi Private Nurse


No automatic alt text available.


#Violet 25

Pernah dengar private nurse?
Atau baru dengar?
Di Indonesia, tembok, tiang, lampu lalu lintas sampai pohon pinggir jalan biasa terhiasi dengan tempelan iklan Private Teacher. Guru yang datang ke rumah siswa dan memberikan pembelajaran sendiri. 1 guru 1 siswa.
So, how about private nurse?
Awalnya mengira bahwa saya adalah perawat homecare. Perawat yang memberikan perawatan kesehatan di rumah pasien. Tapi mindset berubah saat beberapa kali datang ke Mustasfa (Rumah Sakit).
Dokter dan perawat menyebut saya private nurse. Karna bersama pasien selama 24 jam. Jadi, di mana pun ada Baba, begitu kami memanggilnya. Yang dalam bahasa arab sendiri artinya bapak. Sama seperti Abuya (bapak), maka di sana ada saya.
Saya dan Shama, perawat dari India, bekerja di rumah baba. Menjaga dan merawat Baba. Usianya 96 tahun. Dengan penyakit Alzheimer kronis. Emosi naik turun dan lupa dalam sepersekian detik. Bahkan 7 bulan merawat baba, ia tak dapat mengingat saya. Dia memanggil semua orang dengan sebutan Dada.
Sulitkah pekerjaan ini?
Jika membandingkan dengan pekerjaan sebelumnya, sebagai perawat ICU (Intensive Care Unit) di Rumah Sakit, private nurse amat sangat santai sekali (lebaii syekalee). Bayangkan jika di ICU berhadapan dengan ventilator, monitor hemodinamik dengan EKG (electrocardiograf) absurd, obat-obat penyelamat yang juga sangat mematikan jika salah pemberian, dan paling bikin saya jantungan adalah saat pasien henti jantung.
Satu hari bisa bertemu sakaratul maut 2 atau 3 kali. Sudah seperti minum obat. Dan bagi yang terkadang bisa melihat keberadaan 'mereka', keadaan seperti itu menyiksa. Saya sering tidak bisa bernafas. Atau tiba-tiba lari ke kamar mandi bila amat ketakutan. Maka daripada tak optimal, saya memilih resign setelah 1 tahun bekerja. Dan mencoba jalan baru. Dengan resiko yang lebih minimal.
Apa kendalanya?
Alzheimer Baba terkadang menguras emosi. Tengah malam teriak histeris minta ke Jeddah karna akan mengajar di sekolah. Padahal ia bukan guru atau dosen. Lagian toh sudah pensiun dari pekerjaan dulu di Embassy of Mesir. Yang bikin pusing saat dia bilang sedang puasa. Ingatannya berhenti saat bulan Ramadhan. Jadi bagi dia, setiap waktu adalah Ramadhan. 2 hari tidak mau makan. Kekeuh bilang puasa.
Dan jikalau mau makan, ingin ditemani istrinya. Ya Robb! Istrinya sudah meninggal, masa iya makamnya digali? Yang bikin senewen lagi karna dia takut air. Astagaa! Kita seperti perang dunia ketiga saat memandikan Baba. Dia marah-marah, teriak, menendang, mencengkeram tangan saya, fiiuuhh!
Tapi jika mood sedang baik, ia ramah dan lucu. Kami bisa saling menggelitik lalu tertawa. Melempar joke dan dia memberi uang 100 riyal. Yang pada kenyataannya itu hanya uang 1 riyal yang akan saya kembalikan kesakunya lagi saat ia tidur.
Tapi jangan salah, meski bekerja di rumah, tindak tanduk kami amat diperhatikan. Kami selalu membuat laporan tiap aktifitas yang dilakukan Baba dan mencatat obat-obat yang telah diberikan. Menulis di buku dan melaporkannya kepada kepala keperawatan di Security Forces Hospital. Kami juga diawasi oleh beberapa dokter. Jadi jika ada masalah, kami harus menelpon dokter bersangkutan.
Bagi saya, private nurse menyenangkan. Belajar menikmati waktu yang bergulir. Dengan hambatan bahasa dan tantangan mengatur Alzheimer Baba, semua terasa klop dengan bertemu teman-teman dari berbagai negara, menemukan bahasa berbeda, pengalaman bergaul dan mengasah kemampuan bertahan (hidup) di negeri orang.
Teman, yang ingin saya bagi disini adalah, terkadang kita dihadapkan pada pilihan. Untuk bertahan atau bergerak. Menjaga yang telah di dapat atau memilih jalan lain yang belum kita tahu.
Jangan pernah takut mencoba. Lakukanlah hal baru. Coba pertimbangkan apakah dengan bertahan kita mendapat hal baik atau justru dengan meninggalkannya kita mendapat hal berbeda yang jauh lebih baik. Karna setiap pilihan menawarkan kesempatan dan mengasah kemampuan berbeda.
Tantangan baru itu anggap saja seperti challenge. Bukankah game yang asyik jika semakin menantang pemainnya?
"Life begins at the end of your comfort zone."
So, here I am, become Saudi Private Nurse. Pekerjaan baru yang tak pernah saya bayangkan dulu.
*Violeta
Riyadh, Saudi Arabia, 10 Maret 2016, 09.12 pm

Kamis, 09 Maret 2017

Keajaiban Doa

#Violet 24

Arab Saudi memasuki musim dingin. Tapi di Jeddah masih begini-begini saja. Tidak ada hujan lebat seperti di Kota Riyadh. Apalagi hujan es seperti di Kota Tabuk. Hanya suhu malam yang lebih bersahabat. Saat siang, ya masih panas menyengat.

"Doa saja, semoga turun hujan," celetuk teman. Lah, bagaimana hujan kalau langit saja terang benderang. Bahkan awan saja jarang.

Ngomong-ngomong soal doa, pasti banyak diantara kita yang baca, dengar bahkan mempelajarinya. Tapi bagaimana doa ini benar-benar mewujud di depan mata? Nah, ketika hati melemah, pikiran penat, saya mengingat kejadian ini.

Saat itu saya merawat seorang anak usia 11 tahun di ruang ICU. Dokter mendiagnosa hidupnya tidak lama. Orang tua membawanya ke beberapa rumah sakit ternama di sekitar Jakarta dan Jawa Barat.


Tak ada perbaikan hingga berbulan-bulan. Bahkan penyakit pastinya tidak diketahui. Tiba-tiba organ dalamnya tak berfungsi baik. Sakit yang sudah menjalar kemana-mana. Akhirnya ia dirujuk ke rumah sakit kami atas permintaan keluarga. Setelah berpindah belasan rumah sakit tentunya.

Kebetulan beberapa kali saya mendapat kesempatan menjaga anak ini. hal yang membuat saya tak mampu menahan haru ketika ibunya, dengan kerudung lebar dan senyum melengkung, meminta ijin membimbing anaknya shalat.

Saya bantu menutup tubuhnya dengan selimut. Termasuk menutup rambutnya dengan syal atau kain.

"Nak, kita shalat maghrib dan isya ya," kata ibunya sambil duduk di samping tempat tidur anak itu. Seperti yang biasa ia lakukan. Jam besuk siang untuk shalat subuh dan dhuhur. Sedangkan jam besuk sore untuk shalat ashar, maghrib dan isya.

Saya keluar ruangan. Memerhatikan dari balik jendela. Tak mampu menahan air di kelopak. Lihatlah, belalai napas dan juntaian selang-selang itu menjadi saksi. 8 infus itu tak lepas memandangi. Mesin-mesin yang berbunyi itu turut pula mengakui. Di dalam tidur lelapnya, tubuh mungil itu sedang shalat. Setiap napas yang di dorong mesin, ia bergumam. Menyebut namaNya. Melantunkan doa tanpa suara.

"Saya tidak ingin menangis di depannya, sus. Saya yakin dia kuat. Allah sedang mendekapnya," sahut pemilik wajah teduh itu ketika saya katakan, "Ibu tabah sekali."

Bayangkan berbulan-bulan buah hatinya berjuang melawan sakit yang entah bermula dari mana. Hanya tergeletak lemah tak berdaya. Wajah pucat dengan mata tertutup rapat.

Hingga berminggu-minggu kemudian. Rutinitas itu selalu dilakukan. Shalat bersama ibu. Ayah membaca Al-Qur'an setelahnya. Bahkan kami memberi waktu membimbing shalat di luar jam besuk jika si ibu tak sempat karena mengurus penjenguk yang ramai.

Dan, hal mustahil itu datang. Vonis puluhan dokter terpatahkan. Gadis itu menggerakkan jarinya. Membuka mata bulatnya. Berbinar-binar. Bercahaya. Selang napas di mulutnya dilepas. Senyumnya seketika merekah. Seperti mawar segar di pagi yang cerah.

Semuanya membaik. Benar-benar semuanya. Hasil laboratorium, foto rontgen paru dan CT scan kepala memberikan hasil yang mengejutkan. Saat kami memberi tahu keluarga, ibu itu memeluk saya dengan derai air mata. Tangis pertama di depan putrinya. Ayahnya memeluk dokter disamping saya. kebahagiaan buncah saat itu juga. Gadis itu berangsur-angsur pulih dan sehat seperti semula. Tapi, bagaimana bisa?

Kejadian ini terjadi 2 tahun yang lalu. Tapi masih mampu merasakan energi doa itu. Saya hanya menutup mata. Membayangkan seorang ibu menuntun shalat gadis kecilnya.

Dan sepersekian detik kemudian, tungku semangat saya terbakar. Allah bersama kita. Kita yang percaya akan kuasaNya. Menyembuhkan saja mampu, apalagi menyelesaikan segala masalah manusia?

Kini, tak ada alasan saya untuk tidak percaya pada keajaiban doa. Pada kekuatan yang Kuasa. Apalagi jika terlantun dari kedua orang tua.

Doa-doa itu melambung ke langit. Menggelantung di awan-awan. Semakin hari semakin banyak. Semakin berat. Lebih berat. Sangat berat. Awan menggelap. Maka di waktu yang tepat, sesuai janji Allah, doa-doa itu berjatuhan. Bulir-bulirnya menjawab segala permintaan. Seperti hujan yang sedang kita nantikan sekarang.

Jangan pernah berhenti berdoa. Jangan pernah teman. Berdoalah untuk orang tua, keluarga, saudara, sahabat, orang-orang yang menyayangi dan yang juga membenci kita. Berikan doa terbaik kita. Lalu tunggu hujan rahmatNya.
Robbana latuzig qullubana ba’daidz haddaitana wahabblana miladunka, rohmatan innaka antal wahab," Ya Tuhanku janganlah Engkau palingkan hati kami setelah Engkau beri petunjuk, dan berilah kami rahmat, sesungguhnya Engkau adalah dzat yang banyak pemberiannya. (Ali Imron;8)

Image may contain: one or more people and eyeglasses

*Violeta
Jeddah, KSA. 25 November 2016. 02.14 am

Mamaku itu.. (International Women's Day)


Image may contain: 3 people
Mama itu hebat. Ia menyelesaikan kuliahnya saat aku berada dalam kandungan. Dengan perut buncit dan morning sickness, ia tetap semangat mengejar wisuda. Meskipun aku telah membebani tubuhnya, ia tetap mengajakku ke kampus, ke TK tempat ia mengajar, dan ke rumah-rumah muridnya untuk memberi private class. Dan aku lupa, kapan terakhir kali memijit tubuhnya yang sudah tak lagi muda.

#Violet 23
Mama itu jenius. Ia menjadi guru dan pelatih pertama. Mengajarkan berbicara dan melatih motorik. Mengajak berjalan, melompat dan berlari. Memintaku untuk membaca dan menulis hingga berkhayal.
Hingga kini masih ada satu ruang tempat bermain dulu di dalam rumah. Dindingnya penuh coretan gambar aneh. Dari jutaan bintang, pangeran berkuda hingga semut raksasa. Mama tak pernah berfikiran untuk mengecat ulang. Tapi aku tak pernah memberinya ruang untuk merasa dibanggakan menjadi seorang ibu. Kecuali dengan kerepotan mengurusku.
Mama itu pendongeng terhebat. Sebelum tidur ia selalu bercerita banyak hal. Dari kancil dan Pak Tani, buaya, sapi, keong mas, asal usul Rawa Pening, dan ratusan cerita lainnya. Lalu bernyanyi lagu anak-anak yang menyenangkan. Tapi kini justru membalasnya dengan keluh kesah perjalanan hidupku yang tak seindah dongengnya dulu.
Mama itu hangat. Ia selalu mencium pipiku sebelum aku berangkat ke sekolah. Yang tak malu mendekap saat kedinginan di pinggir lapangan yang memaksa menonton pertandingan bulu tangkis tengah malam. Padahal aku tak lagi mungil. Tapi aku lupa, kapan terakhir memeluknya cukup lama.
Mama itu kuat. Ia menggendongku ke kamar tidurnya saat pingsan di ruang tamu, setiba dari sekolah. Papa bekerja dan hanya ada mama serta kedua adik yang masih kecil di rumah. Mama memaksakan diri mengangkat tubuhku yang mencapai 30 kg. Aku terbangun di atas kasur melihat mama bercucuran keringat. Bahkan sampai sebesar ini pun, aku tak pernah menyeka keringatnya yang lelah bekerja mengurus rumah.
Mama itu penyabar. Ia tak pernah benar-benar memarahiku. Pun meski ketahuan bolos. Pulang terlambat karna main hujan. Matematika mendapat nilai 2. Hingga tak lolos masuk SMP negeri. Ia juga sabar menemani les modeling walau harus menerjang banjir. Meski tak membawa gelar apapun dari kontes kecantikan itu. Pula tak dapat menjadi model terkenal seperti apa yang mama inginkan.
Mama tak pernah malu menyuapiku. Bahkan saat sudah menjadi mahasiswa. Saat terburu-buru berangkat ke kampus, masih memperhatikan giziku. Bahkan tak pernah absen mengirim masakannya saat aku kost dulu, agar tak malas makan dan dilarikan ke IGD untuk kedua kalinya di tanah rantau. Boro-boro menyuapinya, aku sendiri bahkan tak pernah bertanya, apa beliau sudah makan sekarang?
Mama tak pernah membedakan kami. Menerima apapun kelemahanku. Mama tak pernah menuntut lebih. Walau aku sungguh jauh berbeda. Tak sehebat mereka. Aku tak bisa seperti kakak cerdas yang lulus S2 dengan pure beasiswa. Dan adik-adik yang super aktif menggondol emas di pertandingan-pertandingan silatnya. Aku hanya dapat mempersembahkan cerita dan foto dari tanah Saudi. Tak berbobot sama sekali.
Mama itu ahh.. Ia adalah yang terindah yang pernah kumiliki. Yang mengajarkan apa itu cinta tanpa pamrih. Sayang seluas semesta. Kasih selayak hujan. Tak pernah habis. Terus dan selalu terus ada. Membasahi yang tadinya kering. Menyuburkan yang tadinya tandus.
Mama, maafkan aku yang belum dapat membanggakanmu. Maafkan aku yang masih menjadi beban pikiranmu. Maafkan aku yang masih tak mampu membalas curahan kasihmu. Aku yang justru pergi mengejar masa depan. Tanpa menghiraukan keriput yang semakin merata di wajahmu.
Lelah dan letih itu. Menjadi semangat untuk terus maju. Pantang berhenti dan tidak mengeluh pada jarak yang terbentang menggerogoti waktu.
Semoga mama dan papa senantiasa sehat dan bahagia selalu.
Doa mama dan papa, adalah cahaya di setiap langkah.
*Violeta
Riyadh, Arab Saudi, 8 Maret 2016, 02.28 am

Tinggal dengan Keluarga Arab Saudi itu Rasanya...

#Violet 22

Setelah 3 kali berganti keluarga. Pertama dengan keturunan Mesir. Lalu dengan Arab setengah Perancis. Hingga 4 bulan ini menjaga opa oma asli Arab Saudi.
Kadang-kadang menggelitik nyali. Apalagi menjadi satu-satunya perawat di rumah ini. Ada saja yang selalu buat haha hihi.
Terlepas batuk bermenit-menit karena tersedak kerupuk, hingga jeritan oma yang membuat saya langsung lari ke ruang tengah. Saya kira terpeleset atau apa. Eh ternyata, lagi nonton rusa dikejar singa di Natgeo.
Saya yang berdiri di belakang oma, malah ikut jejeritan. "Lari... Rusaa... Lariiii!!! Dasar singa sok kegantengan! Mau-maunya ngejar dia yang tak memilihmu." Eh.
Belum lagi jika dalam sehari si oma harus saya suntik 3x karna hyperglycemia. Pasutri ini justru berkomplot menenangkan saya. Lah. Apa kelihatan seperti vampire? Opa membujuk saya. Yang tertafsir, "don't touch my Love!"
Iyah. Opa itu so sweet-nya ampun-ampunan. Mendukung oma kapan pun dan bagaimana pun. Kecuali bagian oma makan ice cream. Ya, ya, mendingan itu ice cream buat saya saja.
Meskipun usia tak lagi muda. Kemana-mana selalu bersama. Bahkan untuk makan pun, saling tunggu-tungguan. Pokoknya harus bareng. Bahkan, kalau opa ke kamar mandi, si oma mem-pause makannya. Nunggu opa duduk lagi di ruang makan.
Pernah kali waktu, saat memberi obat. "Suka film itu?" tanya oma. Nunjuk The Lord of The Rings di TV. Yaiyalah, Frodo kece begitu.
Opa nyahut, "duduk sini. Nonton. Terus translate ke bahasa arab, biar kita paham."
Eehkkkk... Kita semua tertawa.
Kebetulan filmnya berbahasa Inggris tanpa subtitle arab. Dan pasangan ini tau benar Bahasa Arab saya carut marut. Masih sering terbalik antara kantor dan dapur, makhtab - matbakh.
Oma paling marah ketika tanya, "sudah makan?" selalu menerima jawaban, "belum". Ngomel sambil nyungsepin apel dan pir di kantong seragam saya. Padahal, barusan nuntasin roti 2 lapis. (roti belum termasuk makan toh?)
Jika ditanya, apakah tinggal di keluarga Arab Saudi itu menyeramkan? Mungkin sebagian cerita tadi bisa menggambarkan, apa iya seram? Mau menjadi perawat satu-satunya atau bahkan ramai-ramai. Kenyamanan untuk tinggal dan menikmati lingkungan itu berasal dari hati.
Sulit komunikasi, iya, apalagi obat-obatan oma semua dari Perancis. Mau tak mau jadi bersenggolan dengan bahasa Menara Eiffel itu.
Pernah diminta membaca strip obat. Bahkan obat 1 lemari pakaian full. Diminta digolongkan menurut jenisnya. Badan saya gemetaran. Karena semuanya berbahasa Perancis. Apesnya, HP tak ada di saku. Mau tanya siapa coba?
Pertanggungjawaban dramatis dari nilai C di mata kuliah pharmacology dan sering bolos di pelajaran Bahasa Perancis.
Ahh. Sebenarnya mau di Indonesia atau di belahan bumi lainnya, mau jadi perawat atau pengusaha, tantangan itu selalu ada. Entah apa bentuk dan levelnya. Tapi intinya sama, tantangan tetap tantangan yang hadir untuk diselesaikan. Bukan justru merutuki keadaan dan menyalahkan kelemahan.
Jika memang sesuatu terjadi di luar kehendak, bisa jadi memang ada kekeliruan. Tapi bukan menjadi alasan untuk berhenti mencoba dan berusaha, kan?
Jika yang dilakukan sekarang masih saja kita sesali, jurusan salah atau tempat kerja tak sesuai hati. Coba pejamkan mata, dan ingat-ingat nikmat apa yang telah kita dapatkan.
Teman, sahabat, keluarga baru, bahkan serentetan pengalaman yang sangat membantu mencapai mimpi-mimpi baru. Kesempatan yang tak pernah kita bayangkan dulu.
Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah: 216 Allah berfirman “….tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Belajar mensyukuri dan menikmati segala proses lengkap dengan lika-likunya adalah pilihan selain bertahan dan berjuang hingga (kontrak hidup) selesai. Tak perlu menyesal, bisa jadi, ada bongkahan emas yang menanti di ujung jalan berbatu ini.
Ahh, kalau saja dulu bersikukuh ingin menjadi international tour guide. Mungkin saya tak bisa memakai seragam putih-putih, menemani oma opa menonton Jinny Oh Jinny versi Arab Saudi. Yang usilnya, aduuhh.. Selain wangi, karna parfum dipakai mandi, ternyata orang Arab suka ngelawak juga.
Kalau Raja Salman, ngehumor juga ga ya?
*Violeta
Jeddah, KSA, 7 Maret 2017, 1.00 am

Kamis, 02 Maret 2017

Tak Ada Kembang Api di Arab Saudi

No automatic alt text available.


#Violet 21
Riyadh. - Pergantian tahun biasa dilewati dengan perayaan meriah di Indonesia dan banyak negara lainnya. Riuhnya kembang api menghias gelap langit malam. Suara-suara terompet sahut menyahut. Dan padat macet merayap karna semua orang tumpah ruah di jalan-jalan atau spot-spot yang telah di siapkan. Pula di tambah konser dan party disana-sini

Tetapi tidak demikian di Arab Saudi. Saya yang berada di kota Riyadh bahkan tak mendengar satupun suara kembang api atau terompet tadi malam. Di negara ini, pergantian tahun masehi menjadi sesuatu yang biasa saja. Selayak hari kamis berganti hari jumat.

Kepolisian syariat Arab Saudi atau yang biasa disebut Mutawaa memperingatkan secara langsung kepada publik bahwa perayaan tahun baru dilarang di negara ultra-konservatif ini. Larangan ini didasarkan pada dekrit dari Majelis Ulama Arab Saudi yang melarang perayaan semacam itu.

Alasan dekrit tersebut, karena Arab Saudi mengikuti kalender Islam, tidak seperti kebanyakan negara Teluk lainnya yang mengikuti kalender Gergorian yang juga digunakan secara internasional.

Keberadaan Mutawaa atau yang secara lengkap disebut Commission of the Promotion of Virtue and the Prevention of Vice ini sangat berpengaruh di Arab Saudi. Mutawaa bertugas mengawasi warga yang melanggar aturan syariat Islam yang berlaku.

Mutawaa pula yang melarang toko-toko menjual kembang api, terompet dan segala pernak perniknya. Bahkan bagi masyarakat yang pelaporkan adanya penjualan kembang api mendapat hadiah lebih dari Rp.5.000.0000,00.

Bagaimanapun cara kita menanggapi pergantian tahun, semoga dapat membawa kita ke pribadi yang lebih baik. Pun meski tanpa perayaan yang gegap gembita. Tanpa kembang api dan kumpul bersama. Karna seyogyanya, perubahan yang paling hakiki ada di dalam diri kita. Pada hati yang selalu mengharap ridhoNya. Pada jiwa yang menanti pengampunan dari sang pemilik nyawa.

*Violeta
Riyadh, Arab Saudi, 1 Januari 2016, 16.00 waktu KSA

Perawat Bayaran Pejabat


#violet 20

Assalamualaikum teman. Lama tak bersua. Rindu sekali memainkan jempol. Rasanya gatal karna lama tak digoyangkan. Jempolnya.. hayoo mikir apa barusan? Hahaa

Tiga hari ini padat sekali. Pasien saya harus menginap di Rumah Sakit. Jadilah kami, saya dan Shama bergantian menjaga baba. Saya mendapat giliran malam. Yaps, karna baba sering rewel saat malam. Sama kaya baby yang jam tidurnya terbalik.

Baba di rawat di ICU. Ahh, rindu syekaleee dengan tempat ini. Suara alarm monitor hemodinamik bertalu-talu mengajak perang. Satu setengah tahun memeras keringat di ICU Indonesia membuatku tahu benar apa makna kehidupan. Tak hanya makan, tidur dan kerja. Tapi bagaimana kita dapat bermanfaat bagi sesama.

Baba hanya perdarahan ringan di esophagus (saluran pencernaan bagian atas). Begitu hasil endoscopy. Tapi keluarga tetap ingin merawat di ICU. Terlebih karna fokus 1 perawat ICU hanya menjaga 1 pasien. Plus di tambah perawat homecare, seperti saya. Eksklusif ya? Kalo di Indonesia boro-boro. Lha pengunjung boleh masuk cuma saat jam besuk. Kami perawat homecare leluasa 24 jam menjaga juga di dalam ICU.

Meski bukan perawat ICU disini, tapi saya memiliki kewenangan mengotak-atik monitor hemodinamik, mengurus obat-obatan dan menjadwal kapan baba makan dan tidur. Terlebih karna dokter dan perawat disini tahu jika saya juga bagian dari ICU. Mereka sangat terbuka. Saya bahkan ikut makan bersama di pantry perawat, keluar masuk ruang staff, dipinjami selimut. Dan.. tentu saja makan apapun yang disediakan. Duhh, yang terakhir tidak bisa di tolak. Hahaa. (Inget pipi vioo!!)

Malam pertama jaga, saya berpartner dengan Juliana, perawat dari Malaysia. Ya Allah, mimpi apa ketemu tetangga. Kami mengobrol ngalur ngidul. Tentang keluarga, alasan datang kesini hingga urusan negara (lah, berat amat). Lalu menjurus ke yang paling dasar, sensitif dan tabu.

"Sepuluh ribu."

"What? Serius ke?" Aku syok! Tahan nafas. Lalu bernafas lagi sebelum cengap-cengap.

Matanya menyipit. Saya tahu dia sedang tersenyum malu di balik face mask. Kami sedang mengambil sample darah baba.

"Besar kali lah itu." (Mulai galau, ini bahasa Malaysia atau Medan).

"Ahh tak. Lainnya lebih besar. Ade yang belasan. Dari barat liat tak? Ukraina tu, bisa 20 ribu." Aku mendadak vertigo.

"Kite kerja juga tak banyak, satu bulan hanya 18 hari kerja, sisanya libur." (Pingsan di tempat!)

Aku menelan ludah. Langsung buka kalkulator yang diselipin di otak. 10.000 SR/bulan berarti 35 juta rupiah. 20.000 SR/bulan berarti 70 juta rupiah. Jadi sehari kerja 12 jam digaji 4 jutaan! Masyaallah!!

Aku memegang railing bed kuat-kuat. Khawatir ambruk. Baru kali ini dapat pengakuan begitu mencengangkan. Perawat Ukraina yang aku temui di pantry sudah 5 tahun mengabdi disini. Cakap sekali berbahasa inggris (yaiyalaahh!). Pula di tambah perawakannya yang gesit dengan tinggi semampai. Kulit putih kemerahan (kalau kamu coklat kegosongan Vii). Bule banget pokoknya.

Image may contain: one or more people

Yang lain datang dari India, South Africa, Bangladesh, arab sekitar dan tentu saja Philippines (perasaan orang Philippines selalu ada dimana-mana yak? Jangan-jangan sekarang kamu di Philippines Vii! Bukan di Arab!).

Pendapatan mereka beragam. Meski tetap berada di kisaran tadi. Tergantung negara asal, pengalaman sebelumnya, lama bekerja dan tentu sertifikat-sertifikat pelatihan yang dipertimbangkan. Dan so pasti, kesemuanya itu adalah perawat RN (Registered Nurse). Yang telah lolos NCLEX test. Hingga diakui dunia bahwa mereka perawat berkompeten dan layak bekerja sebagai perawat.

Ahh, kalau bahas gaji tak akan ada habisnya. Mau begimana pula. Saya hanya bermodal STR (Surat Tanda Registrasi). Yang kegunaannya masih dipertanyakan. Dapat gaji setara pejabat begitu benar-benar mimpi di siang panas kelaperan.

"Ikutlah test NCLEX. Sayang itu ilmu tak liat." Ka Sika menyemangati. Usianya 42 tahun. Menginjak tahun ke 12 bekerja di ICU Rumah Sakit pemerintah ini. Saya tak berani menanyakan pendapatan. Tahu gaji Juliana yang baru 2 bulan kerja saja berhasil buat saya sempoyongan. Apalagi kak Sika! Kelar hidup lo vii!!

Teman, saya bukan ingin membandingkan. Apalagi menjelek-jelekan perbedaan langit dan bumi, Indonesia dan Arab Saudi. Saya hanya ingin berbagi. Profesi perawat yang selama ini teman kira hanya pekerjaan pembantu, buruh dan tukang ngebersihin berak pasien benar-benar diakui disini.

Dokter dan perawat bekerja dengan baik. Partner yang saling membantu. Seperti kerabat dekat. Tak ada atasan dan bawahan. Semua setara dan bekerja sama demi kesembuhan pasien. Perawat juga bekerja hebat. Tak ada jam tidur di dinas malam. Mereka sibuk atau menyibukkan diri agar tak diserang kantuk walau sedetik. Tak peduli pekerjaan ada atau tak ada. Tak peduli diawasi atau tidak. Mereka benar-benar bekerja sesuai prosedur tapi tetap luwes mengikuti keinginan pasien.

Bukankah seperti itu seharusnya. Entah perawat atau profesi lainnya. Saat kita bekerja layak. Kita berhak dibayar pantas.

Tapi, semoga kita tak hanya melihat nominal. Bukankah uang tak dibawa mati? Rezeki kita tersebar dipenjuru bumi. Kita memang butuh uang, tapi kehidupan tak selalu berkutat dengan uang. Kita bisa membeli apapun dengan uang di dunia, tapi kita tak bisa membeli surga.

Semua pilihan tetap ada di tangan kita. Semoga Allah membimbing setiap langkah setapak yang tak jarang goyah. Agar tak terhenti karna terjebak euforia sementara. Selalu bersujud dan mensyukuri apa yang tersedia. Pula tak lupa berusaha menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama.

- Salam dari ICU nurse yang sedang belok ke Homecare Nurse. Yang berharap menjadi bagian dari Registered Nurse. Aamiin. ^_^

*Violeta
Riyadh, Arab Saudi, 11 Februari 2016, 01.07 am

Impian yang Diberkahi



Image may contain: 1 person, closeup and indoor
#Violet 19

Beberapa saat lalu tulisan saya yang berjudul "Takdir dan Secarik Mimpi Perawat Luar Negeri" di share admin ke salah satu group PJTKI miliknya. Sambutannya luar biasa. Dari yang memberi selamat hingga mendoakan. Kaget? Iya. Karna pertama kali.
Bertahun lalu pernah mengirim essai ke perlombaan tingkat kota. Tapi ya begitu. Tulisan saya seperti kacang yang dikacangin. Bahkan kalah dengan tulisan anak SD yang justru menjadi juara pertama.
Doa-doa dan ucapan itu serta merta memacu semangat untuk terus berlari dalam keterbatasan.
Dahulu, saya kira keluar negeri adalah puncak segala upaya. Tapi ternyata salah. Ini adalah awal dari sebuah upaya yang tetap harus diupayakan. Beradaptasi dengan lingkungan dan belajar extra berbahasa asing. Pula segudang tantangan tergelar sempurna.
Banyak yang mengira berada diluar negeri itu enak. Keren lah. Hebat lah. Mantap lah. Apalah. Tapi tidak kawan. Kami tak sehebat yang kalian pikirkan.
Tidak.
Kami tidak sehebat teman-teman yang berjuang bertaruh nyawa mengabdi di perbatasan. Masuk ke pelosok-pelosok desa dan memberikan pelayanan kesehatan secara cuma-cuma. Membantu persalinan di atas perahu yang mengombang-ambingkan nyawa. Meluangkan waktu merawat pasien untuk mengajar anak-anak yatim piatu. Berbagi ilmu bagi yang membutuhkan.
Bahkan ada seorang teman perawat yang kini sedang memeras otak mengikuti pelatihan anastesi mengatakan, "tujuanku bukan gaji besar, Vii. Tapi semoga usaha ini akan membawa ke mimpiku. Mendirikan yayasan untuk panti jompo dan anak terlantar."
Ceeessss... Saya seperti disiram hujan di tengah gurun musim panas.
Menyejukkan tapi juga cambuk untuk diri sendiri.
Betapa seringnya saya hanya berorientasi pada diri sendiri. Berpandangan sempit. Bahkan menutup mata pada keadaan sekitar. Fokus pada apa yang ingin dicapai tanpa mempedulikan apa yang sebenarnya harus dilakukan. Saya sungguh tak ada apa-apanya dibanding kehebatan dan kedermawanan teman-teman.
Saya malu pada mimpi saya yang terlalu rendah. Malu pada upaya saya yang hanya sebatas keakuan. Malu pada teman-teman yang berhati mulia. Malu pada Allah Sang Pemberi impian sesungguhnya.
Teman. Saya tak ingin memaksa teman-teman keluar negeri. Tidak. Karna sesungguhnya mimpi terhebat itu saat kita dapat bermanfaat bagi manusia.
Buatlah mimpi-mimpi hebatmu. Tulislah besar-besar di dinding kamar. Bacalah setiap hari. Sebelum dan bangun tidur. Sebelum dan setelah shalat. Setelah mengaji. Dan di saat-saat kita lelah berproses mengejarnya. Di waktu kita hampir menyerah dan berhenti melangkah. Semua itu saya lakukan dahulu. Memang berhasil mengumpulkan semangat yang berceceran.
Apapun mimpi itu. Mau jadi karyawan swasta, PNS, Pengusaha, Dosen, Pendiri Yayasan amal atau PLN (Pegawai Luar Negeri). Semoga dapat menjadi bekal keberhasilan dunia dan akhirat. Semoga kita dapat selalu menebar energi positif dan kesejukan pada sekitar.
Mari bangun impian kembali. Kita belajar dan kencangkan ikat pinggang. Ada yang harus diraih di masa datang. Dan percayalah,
"segala sesuatu yang sudah terjadi, sedang terjadi, dan yang akan terjadi adalah hasil dari pilihan kita." (Ust. Felix S.)
Melalui harapan, doa dan tindakan nyata. Melalui kemauan dan kemampuan yang ditempa. Melalui keikhlasan, kesabaran dan bersyukur tanpa celah.
Dari Ibnu Umar, bahwa seorang lelaki mendatangi Rasulullah Shallallahualaihiwassalam dan berkata, ”wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling diicintai Allah? dan amal apakah yang paling dicintai Allah?”
Rasulullah Shallallahualaihiwassalam menjawab, ”orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia dan amal yang paling dicintai Allah adalah kebahagiaan yang engkau masukkan ke dalam diri seorang muslim atau engkau menghilangkan suatu kesulitan atau engkau melunasi utang atau menghilangkan kelaparan.” (HR. Thabrani)
Hadits ini dihasankan oleh Syeikh al Albani didalam kitab “at Targhib wa at Tarhib” (2623)

*Violeta
Riyadh, Arab Saudi, 2 Maret 2016, 09.26 pm

One Day One Post

Saya tak pernah benar-benar mengerti. Sebuah perkumpulan manusia dengan satu misi. Lucu jika kemudian ada yang bertahan dan tereliminasi. Bu...