Sabtu, 01 April 2017

Jangan Jadi Perawat, Dek!

#Violet 27

Jangan jadi perawat kalau ingin kuliah santai, berangkat sesuka hati, pulang semau sendiri. Ada asrama yang mau tak mau memaksa bangun pagi hanya untuk antri kamar mandi.
Buku tebal Keperawatan Medikal Bedah yang bisa alih fungsi jadi bantal di kala dosen berkisah tentang milyaran syaraf otak. Belum lagi dipanggil anak SMP, karena memakai seragam yang dipatut kembar dari kecambah rambut sampai jempol kaki. Pakai pantovel setiap hari, padahal bukan ABRI.
Jangan jadi perawat kalau suka fashion dan ingin kekinian. Ingat, dek. Perawat dilarang memanjangkan kuku apalagi pakai kuteks gliter warna warni. Khawatir jari tidak ketahuan sianosis gegara pelajaran biokimia yang menyumbat jantung.
Tak ada pulalah bulu mata lentik dan eye shadow cetar. Boro-boro pakai eye liner, yang ada malah gelambiran kantung mata hasil sureal lembur presentasi sehari 3 kali. Bolehlah bawa 2 kantung teh celup untuk kompres mata dikala dosen rapat ujian OSCA.
Jangan jadi perawat kalau ingin sepulang kuliah nongkrong cantik di kedai kopi. Harga satu buku medis itu ratusan ribu. Hitunglah 1 semester harus ada volume 1 sampai 3. Belum lagi kamus keperawatan yang kecil tapi harganya menggigit nadi.
Makan saja di kantin kampus, sisa uangnya untuk fotocopy materi teman karena bobok cantik di kelas. Ya meskipun dibacanya satu jam sebelum ujian.
Tongkrongan paling berkelas itu warteg depan kampus. Sudah mewah setara sajian hotel all you can eat (termasuk piring yang boleh dicemil). Melahap tumis kangkung yang entah sudah dipanasin berapa kali. Pelajaran hitung kalori nutrisi hanya untuk pasien, Dek. Saat kamu jaga malam nanti juga dikasihnya Indomie. Bukan sepanci brokoli.
Jangan jadi perawat, Dek. Semester semakin naik, kadar stressmu juga melejit. Baru kemarin nyuntik boneka, besoknya nyuntik ke pasien. Kalau salah tusuk, coba lagi. Anda kurang beruntung. Bilang saja masih mahasiswa praktikan, salah tak apalah. Namanya juga belajar. Tapi hei.. Pasien tidak mau tahu, Dek. Habislah kamu dicincang makian. Apalagi diancam dilaporkan ke presiden.
Oh ya, dari semester 1 harus belajar senyum. Ngaca, Dek. Pilih senyum ramah dan terlihat tulus ikhlas melayani 24 jam meski sambil nangis. Harus simetris kanan kiri. Pipi jangan terlalu tinggi (ini serius ada di mata kuliah Komunikasi). Bukan pula genit-genit apalagi bibir cocor bebek. Bisa dilempar tiang infus kamu nanti.
Bawa juga penggaris, meteran atau busur. Pelajaran Komunikasi Terapeutik, Dek. Pastikan jarak saat melakukan tindakan keperawatan pada pasien 50-120 cm. Dengan kecondongan badan 30 derajat.
Jangan kurang atau lebih. Melanggar SOP. Bisa viral di media sosial wajah polosmu itu. Caption: 'Jangan ke RS Timur Laut, perawatnya jutek, galak, pelit, genit'. Dibalas dengan komen yang menguras hati. Yang terciprat nila satu baju, tapi merembes kemana-mana. Entah lari kemana si penjaja solidaritas itu.
Jangan jadi perawat, dek. Kalau disentak senior saja langsung nangis. Nanti kamu ketemu pasien yang emosinya fluktuatif. Keluarga pasien yang ingin dinomorsatukan setelah Tuhan. Sekali pencet bell, perawat harus langsung datang, mirip adzan. Atasan dan sistem Rumah Sakit yang 'begitulah'. Apalagi setelah satu bulan full babak belur lalu melihat slip gaji.
Coba mulai sekarang latihan bela diri. Ampuh untuk menjaga hati dari provokasi dan intimidasi. Kelewat cadas, babat habis! Bukannya perawat juga manusia yang punya hati?
Parahnya lagi, sudah sumpah profesi dan foto selfie. Masih saja berpikiran 'salah jurusan'. Apalagi yang sudah tahunan bergerilya di rumah sakit dipanggil mbak suster dan mas suster, ada saja yang nyeletuk, "ga suka jadi perawat."
Duh Dek, itu bertahun-tahun ngurus pasien bagaimana? Senyum ramahnya ke mana? Sumpah profesinya diucap benar? Ini profesi yang dibawa sampai mati. Itu sama seperti suami yang dinikahi tapi dibenci. Gimana mau ada chemistry?
Bekerja setengah hati tapi tak mau telat terima gaji. Protes sana sini kalau dianiaya dengan bayaran tak pantas. Loh, tadi katanya ga suka? Kok ga cerai saja? Cari pekerjaan lain yang katanya lebih manusiawi. Hati-hati, katanya perawat itu tangan Tuhan, tapi justru membenci tubuhnya.
Jangan jadi perawat kalau mau kerja enak, hidup kepenak, gaji mengalir sepanjang Bengawan Solo. Konsultasi kesehatan di warung kopi dibayar dengan ucapan terima kasih, Dek!
Saya kasih tahu sekarang, agar nanti tidak bilang, "tersesat di jalan yang benar." Pastikan itu jalan yang benar-benar kau ingini. Bukankah pilihan itu selalu ada. 'There is always another way.' Kalau tidak suka, tinggalkan.
Kalau terlanjur tercebur ya belajar berenang, tak apa gelagapan dan minum banyak air garam. Setidaknya bisa jadi perenang handal dan mencapai daratan. Bukan memaki lautan ketika nyaris tenggelam.
Selalu berpikiran ini itu salah jika merasa kalah, tak sesuai keinginan, bahayanya lagi meragukan janji Tuhan dalam kecukupan materi.
Pilih profesi seperti memilih pasangan yang ingin dinikahi. Pastikan satu visi. Bukan menyalahkan sana sini jika pernikahan tidak seromantis yang kau ingini. Itu salah pasangan atau ego diri yang tidak terkendali?
Jika tak ingin bercerai, belajar mencintai pasangan apa adanya. Karena cinta bukan berarti memiliki lalu bertindak sesukanya, tapi menerima sepenuh hati dengan segala resiko dan konsekuensi. Mensyukuri apapun yang telah Allah beri.
Jangan jadi perawat kalau kamu tidak kuat. Jadi suster FTV saja, yang seliweran di TV, tapi tak mengenal nikmatnya mendampingi pasien bangun dari koma. Ucapan terima kasih pasien dengan pelukan dan cucuran air mata.

*Violeta
Jeddah, 30 Maret 2017

Jumat, 17 Maret 2017

Nurse is not a Job. Nurse is My Soul!

#Violet 26
Beberapa saat lalu salah satu adik kelas BBM. Mengajukan 2 pertanyaan yang membuat saya berpikir extra.
1. Kenapa pilih menjadi perawat?
2. Kenapa pilih menjadi perawat diluar negeri daripada PNS?
Oke. Saya jelaskan satu-satu yah adek cantik. Semoga bisa menjawab.



Perawat itu bukan pilihan saya. Bukan pula pilihan orang tua. Saat itu di antara kebimbangan luar biasa. Tahun 2010, setelah lulus SMA, diterima di 2 kampus negeri. S1 Sastra Inggris Universitas Diponegoro dan D3 Keperawatan Poltekkes Kemenkes Semarang.
Waktu berpikir hanya 1 minggu. Karna harus segera daftar ulang di hari yang berdekatan.
Siapa sih yang tidak mau kuliah di Undip? Yang masuk 10 besar jajaran kampus terbaik di Indonesia. Bahkan dek, guru SMA dan teman-teman berambisi masuk sana. Pula itu harapan Ayah yang juga alumni Undip dan kakak yang sedang melalui tahun terakhirnya di sana dengan beasiswa. Nyatanya, saya sudah mengeliminasi ribuan orang yang ikut test SNMPTN Undip.
Dan Poltekkes? Diam-diam mendaftar. Dari uang yang didapat setelah membagi brosur kendaraan. Mudahnya, jadi SPG. Saya juga tidak pamit waktu test. Ketiduran saat mengerjakan soal. Sembarangan asal contreng. Masa bodoh sama sekali. Pilih jurusan perawat juga gambling. Tutup mata. Asal tunjuk. Berdoa dalam hati semoga tidak lolos. Tapi lolos. Masuk 10 besar.
Galau luar biasa.
Tak tahu harus pilih jalan mana. Semuanya berat. Karna tentu saja satu langkah menentukan masa depan kita.
Bagaimana jika salah jurusan dek? Lalu menjadi pecundang. Gagal memilih langkah. Kuliah sembarangan. Masa depan porak-poranda.
Saya shalat istikharah malam itu. Menangis sejadinya. Pasrah sepasrah-pasrahnya. Rasanya, terserah apa mau Allah. Saya hantarkan keduanya. Undip di tangan kanan. Poltekkes di tangan kiri. Saya letakkan di sajadah.
Dan cahaya itu datang. Terang sekali, dek. Saya belum pernah menemukan cahaya seterang itu. Tepat di sana. Di dalam hati yang paling dalam. Ada kekuatan yang luar biasa. Keyakinan yang memancar entah dari mana. Memedar begitu saja. Indah. Menawan. Terang sekali. Padahal kamar saat itu gelap gulita. Cahaya itu menyemai keberanian untuk melangkah, ke jalan perawat.
Paginya saya katakan ke orang tua. Ayah marah sekali. Benar-benar marah. Beliau ingin melihat anaknya menjadi sarjana. Dan kau tahu apa yang beliau katakan?
"Kalau kamu pilih perawat, setelah lulus nanti, papa ga mau bayarin kuliah lanjutan kamu lagi. Pokoknya cari uang sendiri. Biayai hidupmu sendiri! Mahal-mahal kuliah kok jadinya pembantu!"
Saya tak bisa menjelaskan kenapa pilih perawat. Tidak. Kejadian malam itu sulit dilukiskan. Apalagi sebagai latar. Tak masuk nalar. Katanya, saya egois, tak bisa berpikir logis.
Logis? Itu Allah, dek. Allah yang memilihkan. Kenapa saya pilih perawat? karna Allah yang memilihkannya. Sama seperti kita tak dapat memilih jodoh yang ganteng, soleh, rupawan, kaya raya, sabar dan pintar segalanya. Kita, hanya akan menerima jodoh pilihan Allah, dek. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan segala keterbatasan yang pada kenyataannya, justru dapat menyempurnakan kita.
Saya menerima tawaran itu. Meski ditentang dan dimusuhi. Dicaci saudara-saudara. Ditertawakan tetangga. Disindir sana sini. Bahkan menjadi anak durhaka karna tidak nurut orang tua.
Saya hanya genggam ini kuat-kuat, "saat kita memilih Allah, Allah akan memberikan kekuatan besar. Meski kita berjalan sendirian. Percayalah, kuasaNya meliputi luas semesta."
Berat sekali kuliah tanpa dukungan keluarga. Kamu pasti tahu benar rasanya, dek. Bahkan berusaha menunjukkan prestasi lewat organisasi kampus agar mereka menerima saya.
Menjadi salah satu mentor NEC (Nursing English Club), 2 tahun di BEM (organisasi eksekutif tertinggi kampus), menjadi anggota FKMPI (Forum Komunikasi Mahasiswa Politeknik se-Indonesia), komisi C Forkompi (Forum Komunikasi Mahasiswa Poltekkes se-Indonesia), dan juga menjadi Ketua UKM Paduan Suara Mahasiswa.
Tapi sia-sia dek. Mereka tak melihat itu semua. Setiap pulang dan kelelahan. Saya justru mendapat cacian. "Sukurin! Salah sendiri jadi perawat!" Apalagi jika keceplosan mengeluh. Semakin panjang cercaan menghujam.
Saya mencoba menyeret kaki setiap hari. Menguatkan hati. Belajar menata diri. Tidak mengeluh. Tidak membantah. Dan yang pasti tidak berhenti melangkah. Meski terseok-seok dan menahan sakit. Belajar menjadi pribadi tangguh.
Setelah lulus, diterima di Rumah Sakit Internasional di Bandung. Alhamdulillah dimudahkan, dek. Dari lulus hingga sekarang, tak pernah meminta uang lagi ke orang tua. Sesuai perjanjian kami 3 tahun yang lalu. Saya pindah ke Bandung. Membiayai seluruh kebutuhan sendiri.
Memulai hidup dari nol. Berhutang RS saat ambruk dan menginap di IGD. Beli nasi bungkus untuk 2x makan. Menggelonggong air putih saat lapar tengah malam. Memilih berjalan kaki 30 menit demi menghemat uang angkutan.
Tapi dek, percayalah, Allah memeluk erat mimpi kita. Menjadi perawat bukan pekerjaan yang saya impikan. Tapi ini adalah jiwa untuk meraih mimpi-mimpi saya. Menjadi manusia yang berguna. Bermanfaat bagi sesama. Bukankah itu pesan Nabi Muhammad SAW juga?
Memegang janin 3 bulan karna ibu keguguran. Menimang bayi hydrocephalus. Mengajak bermain anak-anak penderita kanker. Menyaksikan senyum bahagia setelah pasien operasi katarak. Menghibur remaja yang depresi karna putus cinta.
Menenangkan pasien gangguan jiwa. Menyemangati pasien yang baru sadar dari koma. Memeluk ibu yang kehilangan bayinya. Menggenggam tangan pasien saat ruhnya tercabut. Hingga mengumpulkan jenazah tak utuh korban kecelakaan.
Perawat bukan pekerjaan, dek. Ini adalah sebongkah jiwa. Bersinar terang di hati kita. Memancar memberi kehangatan dunia.
Jika kau temui salah di profesi ini. Maafkanlah. Tak ada yang sempurna di dunia. Jika gaji tak seberapa. Profesi ini dipandang sebelah mata. Bahkan ada yang terang-terangan menghina. Biarkan saja, dek.
Yang penting kita tetap berusaha optimal. Belajar sebaik-baiknya. Semoga usaha kita kelak berbuah manis. Semanis upaya kita untuk memperbaiki nama profesi ini. Yang bertahap menjadi pribadi indah dan mengindahkan. Yang santun, sopan dan bersahaja.
Jika mengubah profesi ini terlalu sulit, maka semoga keberadaan kita selalu bermanfaat bagi sekitar. Mengubah hal-hal kecil. Menghentikan kebiasaan mengeluh dan banyak protes tanpa melakukan apa-apa. Semoga kita menjadi pionir untuk berpikir positif dan bertindak aktif di dalam maupun di luar negeri. Biarkan waktu bercerita, kita tetap berkarya.
Maafkan jika menangis menulis ini. Rasanya seperti membuka tabir kehidupan diri. Jika tak memilih perawat, akankah saya bahagia? Akankah sukses? Akankah sampai ke Saudi Arabia? Akankah merasakan nikmat bersujud di depan ka'bah?
Malam itu Allah menuntun menjadi perawat, karna Allah tahu masa depan saya. Allah telah menyiapkan semuanya. Pintu-pintu kesempatan. Dan mimpi-mimpi saya. Mungkin begitu juga denganmu. Allah sedang menyiapkan hadiah menawan untuk semua perjuanganmu. Bersabarlah sayang. Semua indah pada waktunya.
5 tahun lalu saya juga tak tahu jika akan berada di tanah nabi, sebagai perawat. Tapi apa saya ragu pada pilihanNya saat itu? Tidak. Saya selalu percaya pada kehendakNya. Meski harus jatuh bangun meniti tangga pembuktian.
Apa kau masih tak percaya? Cobalah tutup matamu sejenak. Lalu rasakan ada yang bersinar hangat di sana. Jauh di dalam hatimu yang gulita. Ada jiwa yang membuatmu menjadi pribadi istimewa. Adakah kau menemukannya sayang? Jiwa perawat itu. Yang kau bawa kemanapun kau pergi. Yang kau jaga bagaimanapun sakitnya fisik dan hatimu.
Tersenyumlah. Berbahagialah. Allah menuntun kita ke jalan yang benar. Selalu ke jalan yang benar.
Dirgahayu PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia) ke 42.
Untuk para dosen dan teman semua. Terimakasih telah membawa saya menemukan diri seutuhnya. Menggenggam saya melewati hidup sebenarnya. Semoga rahmat Allah senantiasa tercurah untuk kita semua. Dimanapun berada.
Untuk pertanyaan kedua, insyaallah saya jawab ditulisan selanjutnya.
Salam sayang dari Saudi Private Nurse.
*Violeta
Riyadh, Saudi Arabia, 17 Maret 2016, 03.37 pm

Rabu, 15 Maret 2017

I am Saudi Private Nurse


No automatic alt text available.


#Violet 25

Pernah dengar private nurse?
Atau baru dengar?
Di Indonesia, tembok, tiang, lampu lalu lintas sampai pohon pinggir jalan biasa terhiasi dengan tempelan iklan Private Teacher. Guru yang datang ke rumah siswa dan memberikan pembelajaran sendiri. 1 guru 1 siswa.
So, how about private nurse?
Awalnya mengira bahwa saya adalah perawat homecare. Perawat yang memberikan perawatan kesehatan di rumah pasien. Tapi mindset berubah saat beberapa kali datang ke Mustasfa (Rumah Sakit).
Dokter dan perawat menyebut saya private nurse. Karna bersama pasien selama 24 jam. Jadi, di mana pun ada Baba, begitu kami memanggilnya. Yang dalam bahasa arab sendiri artinya bapak. Sama seperti Abuya (bapak), maka di sana ada saya.
Saya dan Shama, perawat dari India, bekerja di rumah baba. Menjaga dan merawat Baba. Usianya 96 tahun. Dengan penyakit Alzheimer kronis. Emosi naik turun dan lupa dalam sepersekian detik. Bahkan 7 bulan merawat baba, ia tak dapat mengingat saya. Dia memanggil semua orang dengan sebutan Dada.
Sulitkah pekerjaan ini?
Jika membandingkan dengan pekerjaan sebelumnya, sebagai perawat ICU (Intensive Care Unit) di Rumah Sakit, private nurse amat sangat santai sekali (lebaii syekalee). Bayangkan jika di ICU berhadapan dengan ventilator, monitor hemodinamik dengan EKG (electrocardiograf) absurd, obat-obat penyelamat yang juga sangat mematikan jika salah pemberian, dan paling bikin saya jantungan adalah saat pasien henti jantung.
Satu hari bisa bertemu sakaratul maut 2 atau 3 kali. Sudah seperti minum obat. Dan bagi yang terkadang bisa melihat keberadaan 'mereka', keadaan seperti itu menyiksa. Saya sering tidak bisa bernafas. Atau tiba-tiba lari ke kamar mandi bila amat ketakutan. Maka daripada tak optimal, saya memilih resign setelah 1 tahun bekerja. Dan mencoba jalan baru. Dengan resiko yang lebih minimal.
Apa kendalanya?
Alzheimer Baba terkadang menguras emosi. Tengah malam teriak histeris minta ke Jeddah karna akan mengajar di sekolah. Padahal ia bukan guru atau dosen. Lagian toh sudah pensiun dari pekerjaan dulu di Embassy of Mesir. Yang bikin pusing saat dia bilang sedang puasa. Ingatannya berhenti saat bulan Ramadhan. Jadi bagi dia, setiap waktu adalah Ramadhan. 2 hari tidak mau makan. Kekeuh bilang puasa.
Dan jikalau mau makan, ingin ditemani istrinya. Ya Robb! Istrinya sudah meninggal, masa iya makamnya digali? Yang bikin senewen lagi karna dia takut air. Astagaa! Kita seperti perang dunia ketiga saat memandikan Baba. Dia marah-marah, teriak, menendang, mencengkeram tangan saya, fiiuuhh!
Tapi jika mood sedang baik, ia ramah dan lucu. Kami bisa saling menggelitik lalu tertawa. Melempar joke dan dia memberi uang 100 riyal. Yang pada kenyataannya itu hanya uang 1 riyal yang akan saya kembalikan kesakunya lagi saat ia tidur.
Tapi jangan salah, meski bekerja di rumah, tindak tanduk kami amat diperhatikan. Kami selalu membuat laporan tiap aktifitas yang dilakukan Baba dan mencatat obat-obat yang telah diberikan. Menulis di buku dan melaporkannya kepada kepala keperawatan di Security Forces Hospital. Kami juga diawasi oleh beberapa dokter. Jadi jika ada masalah, kami harus menelpon dokter bersangkutan.
Bagi saya, private nurse menyenangkan. Belajar menikmati waktu yang bergulir. Dengan hambatan bahasa dan tantangan mengatur Alzheimer Baba, semua terasa klop dengan bertemu teman-teman dari berbagai negara, menemukan bahasa berbeda, pengalaman bergaul dan mengasah kemampuan bertahan (hidup) di negeri orang.
Teman, yang ingin saya bagi disini adalah, terkadang kita dihadapkan pada pilihan. Untuk bertahan atau bergerak. Menjaga yang telah di dapat atau memilih jalan lain yang belum kita tahu.
Jangan pernah takut mencoba. Lakukanlah hal baru. Coba pertimbangkan apakah dengan bertahan kita mendapat hal baik atau justru dengan meninggalkannya kita mendapat hal berbeda yang jauh lebih baik. Karna setiap pilihan menawarkan kesempatan dan mengasah kemampuan berbeda.
Tantangan baru itu anggap saja seperti challenge. Bukankah game yang asyik jika semakin menantang pemainnya?
"Life begins at the end of your comfort zone."
So, here I am, become Saudi Private Nurse. Pekerjaan baru yang tak pernah saya bayangkan dulu.
*Violeta
Riyadh, Saudi Arabia, 10 Maret 2016, 09.12 pm

Kamis, 09 Maret 2017

Keajaiban Doa

#Violet 24

Arab Saudi memasuki musim dingin. Tapi di Jeddah masih begini-begini saja. Tidak ada hujan lebat seperti di Kota Riyadh. Apalagi hujan es seperti di Kota Tabuk. Hanya suhu malam yang lebih bersahabat. Saat siang, ya masih panas menyengat.

"Doa saja, semoga turun hujan," celetuk teman. Lah, bagaimana hujan kalau langit saja terang benderang. Bahkan awan saja jarang.

Ngomong-ngomong soal doa, pasti banyak diantara kita yang baca, dengar bahkan mempelajarinya. Tapi bagaimana doa ini benar-benar mewujud di depan mata? Nah, ketika hati melemah, pikiran penat, saya mengingat kejadian ini.

Saat itu saya merawat seorang anak usia 11 tahun di ruang ICU. Dokter mendiagnosa hidupnya tidak lama. Orang tua membawanya ke beberapa rumah sakit ternama di sekitar Jakarta dan Jawa Barat.


Tak ada perbaikan hingga berbulan-bulan. Bahkan penyakit pastinya tidak diketahui. Tiba-tiba organ dalamnya tak berfungsi baik. Sakit yang sudah menjalar kemana-mana. Akhirnya ia dirujuk ke rumah sakit kami atas permintaan keluarga. Setelah berpindah belasan rumah sakit tentunya.

Kebetulan beberapa kali saya mendapat kesempatan menjaga anak ini. hal yang membuat saya tak mampu menahan haru ketika ibunya, dengan kerudung lebar dan senyum melengkung, meminta ijin membimbing anaknya shalat.

Saya bantu menutup tubuhnya dengan selimut. Termasuk menutup rambutnya dengan syal atau kain.

"Nak, kita shalat maghrib dan isya ya," kata ibunya sambil duduk di samping tempat tidur anak itu. Seperti yang biasa ia lakukan. Jam besuk siang untuk shalat subuh dan dhuhur. Sedangkan jam besuk sore untuk shalat ashar, maghrib dan isya.

Saya keluar ruangan. Memerhatikan dari balik jendela. Tak mampu menahan air di kelopak. Lihatlah, belalai napas dan juntaian selang-selang itu menjadi saksi. 8 infus itu tak lepas memandangi. Mesin-mesin yang berbunyi itu turut pula mengakui. Di dalam tidur lelapnya, tubuh mungil itu sedang shalat. Setiap napas yang di dorong mesin, ia bergumam. Menyebut namaNya. Melantunkan doa tanpa suara.

"Saya tidak ingin menangis di depannya, sus. Saya yakin dia kuat. Allah sedang mendekapnya," sahut pemilik wajah teduh itu ketika saya katakan, "Ibu tabah sekali."

Bayangkan berbulan-bulan buah hatinya berjuang melawan sakit yang entah bermula dari mana. Hanya tergeletak lemah tak berdaya. Wajah pucat dengan mata tertutup rapat.

Hingga berminggu-minggu kemudian. Rutinitas itu selalu dilakukan. Shalat bersama ibu. Ayah membaca Al-Qur'an setelahnya. Bahkan kami memberi waktu membimbing shalat di luar jam besuk jika si ibu tak sempat karena mengurus penjenguk yang ramai.

Dan, hal mustahil itu datang. Vonis puluhan dokter terpatahkan. Gadis itu menggerakkan jarinya. Membuka mata bulatnya. Berbinar-binar. Bercahaya. Selang napas di mulutnya dilepas. Senyumnya seketika merekah. Seperti mawar segar di pagi yang cerah.

Semuanya membaik. Benar-benar semuanya. Hasil laboratorium, foto rontgen paru dan CT scan kepala memberikan hasil yang mengejutkan. Saat kami memberi tahu keluarga, ibu itu memeluk saya dengan derai air mata. Tangis pertama di depan putrinya. Ayahnya memeluk dokter disamping saya. kebahagiaan buncah saat itu juga. Gadis itu berangsur-angsur pulih dan sehat seperti semula. Tapi, bagaimana bisa?

Kejadian ini terjadi 2 tahun yang lalu. Tapi masih mampu merasakan energi doa itu. Saya hanya menutup mata. Membayangkan seorang ibu menuntun shalat gadis kecilnya.

Dan sepersekian detik kemudian, tungku semangat saya terbakar. Allah bersama kita. Kita yang percaya akan kuasaNya. Menyembuhkan saja mampu, apalagi menyelesaikan segala masalah manusia?

Kini, tak ada alasan saya untuk tidak percaya pada keajaiban doa. Pada kekuatan yang Kuasa. Apalagi jika terlantun dari kedua orang tua.

Doa-doa itu melambung ke langit. Menggelantung di awan-awan. Semakin hari semakin banyak. Semakin berat. Lebih berat. Sangat berat. Awan menggelap. Maka di waktu yang tepat, sesuai janji Allah, doa-doa itu berjatuhan. Bulir-bulirnya menjawab segala permintaan. Seperti hujan yang sedang kita nantikan sekarang.

Jangan pernah berhenti berdoa. Jangan pernah teman. Berdoalah untuk orang tua, keluarga, saudara, sahabat, orang-orang yang menyayangi dan yang juga membenci kita. Berikan doa terbaik kita. Lalu tunggu hujan rahmatNya.
Robbana latuzig qullubana ba’daidz haddaitana wahabblana miladunka, rohmatan innaka antal wahab," Ya Tuhanku janganlah Engkau palingkan hati kami setelah Engkau beri petunjuk, dan berilah kami rahmat, sesungguhnya Engkau adalah dzat yang banyak pemberiannya. (Ali Imron;8)

Image may contain: one or more people and eyeglasses

*Violeta
Jeddah, KSA. 25 November 2016. 02.14 am

Mamaku itu.. (International Women's Day)


Image may contain: 3 people
Mama itu hebat. Ia menyelesaikan kuliahnya saat aku berada dalam kandungan. Dengan perut buncit dan morning sickness, ia tetap semangat mengejar wisuda. Meskipun aku telah membebani tubuhnya, ia tetap mengajakku ke kampus, ke TK tempat ia mengajar, dan ke rumah-rumah muridnya untuk memberi private class. Dan aku lupa, kapan terakhir kali memijit tubuhnya yang sudah tak lagi muda.

#Violet 23
Mama itu jenius. Ia menjadi guru dan pelatih pertama. Mengajarkan berbicara dan melatih motorik. Mengajak berjalan, melompat dan berlari. Memintaku untuk membaca dan menulis hingga berkhayal.
Hingga kini masih ada satu ruang tempat bermain dulu di dalam rumah. Dindingnya penuh coretan gambar aneh. Dari jutaan bintang, pangeran berkuda hingga semut raksasa. Mama tak pernah berfikiran untuk mengecat ulang. Tapi aku tak pernah memberinya ruang untuk merasa dibanggakan menjadi seorang ibu. Kecuali dengan kerepotan mengurusku.
Mama itu pendongeng terhebat. Sebelum tidur ia selalu bercerita banyak hal. Dari kancil dan Pak Tani, buaya, sapi, keong mas, asal usul Rawa Pening, dan ratusan cerita lainnya. Lalu bernyanyi lagu anak-anak yang menyenangkan. Tapi kini justru membalasnya dengan keluh kesah perjalanan hidupku yang tak seindah dongengnya dulu.
Mama itu hangat. Ia selalu mencium pipiku sebelum aku berangkat ke sekolah. Yang tak malu mendekap saat kedinginan di pinggir lapangan yang memaksa menonton pertandingan bulu tangkis tengah malam. Padahal aku tak lagi mungil. Tapi aku lupa, kapan terakhir memeluknya cukup lama.
Mama itu kuat. Ia menggendongku ke kamar tidurnya saat pingsan di ruang tamu, setiba dari sekolah. Papa bekerja dan hanya ada mama serta kedua adik yang masih kecil di rumah. Mama memaksakan diri mengangkat tubuhku yang mencapai 30 kg. Aku terbangun di atas kasur melihat mama bercucuran keringat. Bahkan sampai sebesar ini pun, aku tak pernah menyeka keringatnya yang lelah bekerja mengurus rumah.
Mama itu penyabar. Ia tak pernah benar-benar memarahiku. Pun meski ketahuan bolos. Pulang terlambat karna main hujan. Matematika mendapat nilai 2. Hingga tak lolos masuk SMP negeri. Ia juga sabar menemani les modeling walau harus menerjang banjir. Meski tak membawa gelar apapun dari kontes kecantikan itu. Pula tak dapat menjadi model terkenal seperti apa yang mama inginkan.
Mama tak pernah malu menyuapiku. Bahkan saat sudah menjadi mahasiswa. Saat terburu-buru berangkat ke kampus, masih memperhatikan giziku. Bahkan tak pernah absen mengirim masakannya saat aku kost dulu, agar tak malas makan dan dilarikan ke IGD untuk kedua kalinya di tanah rantau. Boro-boro menyuapinya, aku sendiri bahkan tak pernah bertanya, apa beliau sudah makan sekarang?
Mama tak pernah membedakan kami. Menerima apapun kelemahanku. Mama tak pernah menuntut lebih. Walau aku sungguh jauh berbeda. Tak sehebat mereka. Aku tak bisa seperti kakak cerdas yang lulus S2 dengan pure beasiswa. Dan adik-adik yang super aktif menggondol emas di pertandingan-pertandingan silatnya. Aku hanya dapat mempersembahkan cerita dan foto dari tanah Saudi. Tak berbobot sama sekali.
Mama itu ahh.. Ia adalah yang terindah yang pernah kumiliki. Yang mengajarkan apa itu cinta tanpa pamrih. Sayang seluas semesta. Kasih selayak hujan. Tak pernah habis. Terus dan selalu terus ada. Membasahi yang tadinya kering. Menyuburkan yang tadinya tandus.
Mama, maafkan aku yang belum dapat membanggakanmu. Maafkan aku yang masih menjadi beban pikiranmu. Maafkan aku yang masih tak mampu membalas curahan kasihmu. Aku yang justru pergi mengejar masa depan. Tanpa menghiraukan keriput yang semakin merata di wajahmu.
Lelah dan letih itu. Menjadi semangat untuk terus maju. Pantang berhenti dan tidak mengeluh pada jarak yang terbentang menggerogoti waktu.
Semoga mama dan papa senantiasa sehat dan bahagia selalu.
Doa mama dan papa, adalah cahaya di setiap langkah.
*Violeta
Riyadh, Arab Saudi, 8 Maret 2016, 02.28 am

Tinggal dengan Keluarga Arab Saudi itu Rasanya...

#Violet 22

Setelah 3 kali berganti keluarga. Pertama dengan keturunan Mesir. Lalu dengan Arab setengah Perancis. Hingga 4 bulan ini menjaga opa oma asli Arab Saudi.
Kadang-kadang menggelitik nyali. Apalagi menjadi satu-satunya perawat di rumah ini. Ada saja yang selalu buat haha hihi.
Terlepas batuk bermenit-menit karena tersedak kerupuk, hingga jeritan oma yang membuat saya langsung lari ke ruang tengah. Saya kira terpeleset atau apa. Eh ternyata, lagi nonton rusa dikejar singa di Natgeo.
Saya yang berdiri di belakang oma, malah ikut jejeritan. "Lari... Rusaa... Lariiii!!! Dasar singa sok kegantengan! Mau-maunya ngejar dia yang tak memilihmu." Eh.
Belum lagi jika dalam sehari si oma harus saya suntik 3x karna hyperglycemia. Pasutri ini justru berkomplot menenangkan saya. Lah. Apa kelihatan seperti vampire? Opa membujuk saya. Yang tertafsir, "don't touch my Love!"
Iyah. Opa itu so sweet-nya ampun-ampunan. Mendukung oma kapan pun dan bagaimana pun. Kecuali bagian oma makan ice cream. Ya, ya, mendingan itu ice cream buat saya saja.
Meskipun usia tak lagi muda. Kemana-mana selalu bersama. Bahkan untuk makan pun, saling tunggu-tungguan. Pokoknya harus bareng. Bahkan, kalau opa ke kamar mandi, si oma mem-pause makannya. Nunggu opa duduk lagi di ruang makan.
Pernah kali waktu, saat memberi obat. "Suka film itu?" tanya oma. Nunjuk The Lord of The Rings di TV. Yaiyalah, Frodo kece begitu.
Opa nyahut, "duduk sini. Nonton. Terus translate ke bahasa arab, biar kita paham."
Eehkkkk... Kita semua tertawa.
Kebetulan filmnya berbahasa Inggris tanpa subtitle arab. Dan pasangan ini tau benar Bahasa Arab saya carut marut. Masih sering terbalik antara kantor dan dapur, makhtab - matbakh.
Oma paling marah ketika tanya, "sudah makan?" selalu menerima jawaban, "belum". Ngomel sambil nyungsepin apel dan pir di kantong seragam saya. Padahal, barusan nuntasin roti 2 lapis. (roti belum termasuk makan toh?)
Jika ditanya, apakah tinggal di keluarga Arab Saudi itu menyeramkan? Mungkin sebagian cerita tadi bisa menggambarkan, apa iya seram? Mau menjadi perawat satu-satunya atau bahkan ramai-ramai. Kenyamanan untuk tinggal dan menikmati lingkungan itu berasal dari hati.
Sulit komunikasi, iya, apalagi obat-obatan oma semua dari Perancis. Mau tak mau jadi bersenggolan dengan bahasa Menara Eiffel itu.
Pernah diminta membaca strip obat. Bahkan obat 1 lemari pakaian full. Diminta digolongkan menurut jenisnya. Badan saya gemetaran. Karena semuanya berbahasa Perancis. Apesnya, HP tak ada di saku. Mau tanya siapa coba?
Pertanggungjawaban dramatis dari nilai C di mata kuliah pharmacology dan sering bolos di pelajaran Bahasa Perancis.
Ahh. Sebenarnya mau di Indonesia atau di belahan bumi lainnya, mau jadi perawat atau pengusaha, tantangan itu selalu ada. Entah apa bentuk dan levelnya. Tapi intinya sama, tantangan tetap tantangan yang hadir untuk diselesaikan. Bukan justru merutuki keadaan dan menyalahkan kelemahan.
Jika memang sesuatu terjadi di luar kehendak, bisa jadi memang ada kekeliruan. Tapi bukan menjadi alasan untuk berhenti mencoba dan berusaha, kan?
Jika yang dilakukan sekarang masih saja kita sesali, jurusan salah atau tempat kerja tak sesuai hati. Coba pejamkan mata, dan ingat-ingat nikmat apa yang telah kita dapatkan.
Teman, sahabat, keluarga baru, bahkan serentetan pengalaman yang sangat membantu mencapai mimpi-mimpi baru. Kesempatan yang tak pernah kita bayangkan dulu.
Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah: 216 Allah berfirman “….tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Belajar mensyukuri dan menikmati segala proses lengkap dengan lika-likunya adalah pilihan selain bertahan dan berjuang hingga (kontrak hidup) selesai. Tak perlu menyesal, bisa jadi, ada bongkahan emas yang menanti di ujung jalan berbatu ini.
Ahh, kalau saja dulu bersikukuh ingin menjadi international tour guide. Mungkin saya tak bisa memakai seragam putih-putih, menemani oma opa menonton Jinny Oh Jinny versi Arab Saudi. Yang usilnya, aduuhh.. Selain wangi, karna parfum dipakai mandi, ternyata orang Arab suka ngelawak juga.
Kalau Raja Salman, ngehumor juga ga ya?
*Violeta
Jeddah, KSA, 7 Maret 2017, 1.00 am

Kamis, 02 Maret 2017

Tak Ada Kembang Api di Arab Saudi

No automatic alt text available.


#Violet 21
Riyadh. - Pergantian tahun biasa dilewati dengan perayaan meriah di Indonesia dan banyak negara lainnya. Riuhnya kembang api menghias gelap langit malam. Suara-suara terompet sahut menyahut. Dan padat macet merayap karna semua orang tumpah ruah di jalan-jalan atau spot-spot yang telah di siapkan. Pula di tambah konser dan party disana-sini

Tetapi tidak demikian di Arab Saudi. Saya yang berada di kota Riyadh bahkan tak mendengar satupun suara kembang api atau terompet tadi malam. Di negara ini, pergantian tahun masehi menjadi sesuatu yang biasa saja. Selayak hari kamis berganti hari jumat.

Kepolisian syariat Arab Saudi atau yang biasa disebut Mutawaa memperingatkan secara langsung kepada publik bahwa perayaan tahun baru dilarang di negara ultra-konservatif ini. Larangan ini didasarkan pada dekrit dari Majelis Ulama Arab Saudi yang melarang perayaan semacam itu.

Alasan dekrit tersebut, karena Arab Saudi mengikuti kalender Islam, tidak seperti kebanyakan negara Teluk lainnya yang mengikuti kalender Gergorian yang juga digunakan secara internasional.

Keberadaan Mutawaa atau yang secara lengkap disebut Commission of the Promotion of Virtue and the Prevention of Vice ini sangat berpengaruh di Arab Saudi. Mutawaa bertugas mengawasi warga yang melanggar aturan syariat Islam yang berlaku.

Mutawaa pula yang melarang toko-toko menjual kembang api, terompet dan segala pernak perniknya. Bahkan bagi masyarakat yang pelaporkan adanya penjualan kembang api mendapat hadiah lebih dari Rp.5.000.0000,00.

Bagaimanapun cara kita menanggapi pergantian tahun, semoga dapat membawa kita ke pribadi yang lebih baik. Pun meski tanpa perayaan yang gegap gembita. Tanpa kembang api dan kumpul bersama. Karna seyogyanya, perubahan yang paling hakiki ada di dalam diri kita. Pada hati yang selalu mengharap ridhoNya. Pada jiwa yang menanti pengampunan dari sang pemilik nyawa.

*Violeta
Riyadh, Arab Saudi, 1 Januari 2016, 16.00 waktu KSA

Perawat Bayaran Pejabat


#violet 20

Assalamualaikum teman. Lama tak bersua. Rindu sekali memainkan jempol. Rasanya gatal karna lama tak digoyangkan. Jempolnya.. hayoo mikir apa barusan? Hahaa

Tiga hari ini padat sekali. Pasien saya harus menginap di Rumah Sakit. Jadilah kami, saya dan Shama bergantian menjaga baba. Saya mendapat giliran malam. Yaps, karna baba sering rewel saat malam. Sama kaya baby yang jam tidurnya terbalik.

Baba di rawat di ICU. Ahh, rindu syekaleee dengan tempat ini. Suara alarm monitor hemodinamik bertalu-talu mengajak perang. Satu setengah tahun memeras keringat di ICU Indonesia membuatku tahu benar apa makna kehidupan. Tak hanya makan, tidur dan kerja. Tapi bagaimana kita dapat bermanfaat bagi sesama.

Baba hanya perdarahan ringan di esophagus (saluran pencernaan bagian atas). Begitu hasil endoscopy. Tapi keluarga tetap ingin merawat di ICU. Terlebih karna fokus 1 perawat ICU hanya menjaga 1 pasien. Plus di tambah perawat homecare, seperti saya. Eksklusif ya? Kalo di Indonesia boro-boro. Lha pengunjung boleh masuk cuma saat jam besuk. Kami perawat homecare leluasa 24 jam menjaga juga di dalam ICU.

Meski bukan perawat ICU disini, tapi saya memiliki kewenangan mengotak-atik monitor hemodinamik, mengurus obat-obatan dan menjadwal kapan baba makan dan tidur. Terlebih karna dokter dan perawat disini tahu jika saya juga bagian dari ICU. Mereka sangat terbuka. Saya bahkan ikut makan bersama di pantry perawat, keluar masuk ruang staff, dipinjami selimut. Dan.. tentu saja makan apapun yang disediakan. Duhh, yang terakhir tidak bisa di tolak. Hahaa. (Inget pipi vioo!!)

Malam pertama jaga, saya berpartner dengan Juliana, perawat dari Malaysia. Ya Allah, mimpi apa ketemu tetangga. Kami mengobrol ngalur ngidul. Tentang keluarga, alasan datang kesini hingga urusan negara (lah, berat amat). Lalu menjurus ke yang paling dasar, sensitif dan tabu.

"Sepuluh ribu."

"What? Serius ke?" Aku syok! Tahan nafas. Lalu bernafas lagi sebelum cengap-cengap.

Matanya menyipit. Saya tahu dia sedang tersenyum malu di balik face mask. Kami sedang mengambil sample darah baba.

"Besar kali lah itu." (Mulai galau, ini bahasa Malaysia atau Medan).

"Ahh tak. Lainnya lebih besar. Ade yang belasan. Dari barat liat tak? Ukraina tu, bisa 20 ribu." Aku mendadak vertigo.

"Kite kerja juga tak banyak, satu bulan hanya 18 hari kerja, sisanya libur." (Pingsan di tempat!)

Aku menelan ludah. Langsung buka kalkulator yang diselipin di otak. 10.000 SR/bulan berarti 35 juta rupiah. 20.000 SR/bulan berarti 70 juta rupiah. Jadi sehari kerja 12 jam digaji 4 jutaan! Masyaallah!!

Aku memegang railing bed kuat-kuat. Khawatir ambruk. Baru kali ini dapat pengakuan begitu mencengangkan. Perawat Ukraina yang aku temui di pantry sudah 5 tahun mengabdi disini. Cakap sekali berbahasa inggris (yaiyalaahh!). Pula di tambah perawakannya yang gesit dengan tinggi semampai. Kulit putih kemerahan (kalau kamu coklat kegosongan Vii). Bule banget pokoknya.

Image may contain: one or more people

Yang lain datang dari India, South Africa, Bangladesh, arab sekitar dan tentu saja Philippines (perasaan orang Philippines selalu ada dimana-mana yak? Jangan-jangan sekarang kamu di Philippines Vii! Bukan di Arab!).

Pendapatan mereka beragam. Meski tetap berada di kisaran tadi. Tergantung negara asal, pengalaman sebelumnya, lama bekerja dan tentu sertifikat-sertifikat pelatihan yang dipertimbangkan. Dan so pasti, kesemuanya itu adalah perawat RN (Registered Nurse). Yang telah lolos NCLEX test. Hingga diakui dunia bahwa mereka perawat berkompeten dan layak bekerja sebagai perawat.

Ahh, kalau bahas gaji tak akan ada habisnya. Mau begimana pula. Saya hanya bermodal STR (Surat Tanda Registrasi). Yang kegunaannya masih dipertanyakan. Dapat gaji setara pejabat begitu benar-benar mimpi di siang panas kelaperan.

"Ikutlah test NCLEX. Sayang itu ilmu tak liat." Ka Sika menyemangati. Usianya 42 tahun. Menginjak tahun ke 12 bekerja di ICU Rumah Sakit pemerintah ini. Saya tak berani menanyakan pendapatan. Tahu gaji Juliana yang baru 2 bulan kerja saja berhasil buat saya sempoyongan. Apalagi kak Sika! Kelar hidup lo vii!!

Teman, saya bukan ingin membandingkan. Apalagi menjelek-jelekan perbedaan langit dan bumi, Indonesia dan Arab Saudi. Saya hanya ingin berbagi. Profesi perawat yang selama ini teman kira hanya pekerjaan pembantu, buruh dan tukang ngebersihin berak pasien benar-benar diakui disini.

Dokter dan perawat bekerja dengan baik. Partner yang saling membantu. Seperti kerabat dekat. Tak ada atasan dan bawahan. Semua setara dan bekerja sama demi kesembuhan pasien. Perawat juga bekerja hebat. Tak ada jam tidur di dinas malam. Mereka sibuk atau menyibukkan diri agar tak diserang kantuk walau sedetik. Tak peduli pekerjaan ada atau tak ada. Tak peduli diawasi atau tidak. Mereka benar-benar bekerja sesuai prosedur tapi tetap luwes mengikuti keinginan pasien.

Bukankah seperti itu seharusnya. Entah perawat atau profesi lainnya. Saat kita bekerja layak. Kita berhak dibayar pantas.

Tapi, semoga kita tak hanya melihat nominal. Bukankah uang tak dibawa mati? Rezeki kita tersebar dipenjuru bumi. Kita memang butuh uang, tapi kehidupan tak selalu berkutat dengan uang. Kita bisa membeli apapun dengan uang di dunia, tapi kita tak bisa membeli surga.

Semua pilihan tetap ada di tangan kita. Semoga Allah membimbing setiap langkah setapak yang tak jarang goyah. Agar tak terhenti karna terjebak euforia sementara. Selalu bersujud dan mensyukuri apa yang tersedia. Pula tak lupa berusaha menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama.

- Salam dari ICU nurse yang sedang belok ke Homecare Nurse. Yang berharap menjadi bagian dari Registered Nurse. Aamiin. ^_^

*Violeta
Riyadh, Arab Saudi, 11 Februari 2016, 01.07 am

Impian yang Diberkahi



Image may contain: 1 person, closeup and indoor
#Violet 19

Beberapa saat lalu tulisan saya yang berjudul "Takdir dan Secarik Mimpi Perawat Luar Negeri" di share admin ke salah satu group PJTKI miliknya. Sambutannya luar biasa. Dari yang memberi selamat hingga mendoakan. Kaget? Iya. Karna pertama kali.
Bertahun lalu pernah mengirim essai ke perlombaan tingkat kota. Tapi ya begitu. Tulisan saya seperti kacang yang dikacangin. Bahkan kalah dengan tulisan anak SD yang justru menjadi juara pertama.
Doa-doa dan ucapan itu serta merta memacu semangat untuk terus berlari dalam keterbatasan.
Dahulu, saya kira keluar negeri adalah puncak segala upaya. Tapi ternyata salah. Ini adalah awal dari sebuah upaya yang tetap harus diupayakan. Beradaptasi dengan lingkungan dan belajar extra berbahasa asing. Pula segudang tantangan tergelar sempurna.
Banyak yang mengira berada diluar negeri itu enak. Keren lah. Hebat lah. Mantap lah. Apalah. Tapi tidak kawan. Kami tak sehebat yang kalian pikirkan.
Tidak.
Kami tidak sehebat teman-teman yang berjuang bertaruh nyawa mengabdi di perbatasan. Masuk ke pelosok-pelosok desa dan memberikan pelayanan kesehatan secara cuma-cuma. Membantu persalinan di atas perahu yang mengombang-ambingkan nyawa. Meluangkan waktu merawat pasien untuk mengajar anak-anak yatim piatu. Berbagi ilmu bagi yang membutuhkan.
Bahkan ada seorang teman perawat yang kini sedang memeras otak mengikuti pelatihan anastesi mengatakan, "tujuanku bukan gaji besar, Vii. Tapi semoga usaha ini akan membawa ke mimpiku. Mendirikan yayasan untuk panti jompo dan anak terlantar."
Ceeessss... Saya seperti disiram hujan di tengah gurun musim panas.
Menyejukkan tapi juga cambuk untuk diri sendiri.
Betapa seringnya saya hanya berorientasi pada diri sendiri. Berpandangan sempit. Bahkan menutup mata pada keadaan sekitar. Fokus pada apa yang ingin dicapai tanpa mempedulikan apa yang sebenarnya harus dilakukan. Saya sungguh tak ada apa-apanya dibanding kehebatan dan kedermawanan teman-teman.
Saya malu pada mimpi saya yang terlalu rendah. Malu pada upaya saya yang hanya sebatas keakuan. Malu pada teman-teman yang berhati mulia. Malu pada Allah Sang Pemberi impian sesungguhnya.
Teman. Saya tak ingin memaksa teman-teman keluar negeri. Tidak. Karna sesungguhnya mimpi terhebat itu saat kita dapat bermanfaat bagi manusia.
Buatlah mimpi-mimpi hebatmu. Tulislah besar-besar di dinding kamar. Bacalah setiap hari. Sebelum dan bangun tidur. Sebelum dan setelah shalat. Setelah mengaji. Dan di saat-saat kita lelah berproses mengejarnya. Di waktu kita hampir menyerah dan berhenti melangkah. Semua itu saya lakukan dahulu. Memang berhasil mengumpulkan semangat yang berceceran.
Apapun mimpi itu. Mau jadi karyawan swasta, PNS, Pengusaha, Dosen, Pendiri Yayasan amal atau PLN (Pegawai Luar Negeri). Semoga dapat menjadi bekal keberhasilan dunia dan akhirat. Semoga kita dapat selalu menebar energi positif dan kesejukan pada sekitar.
Mari bangun impian kembali. Kita belajar dan kencangkan ikat pinggang. Ada yang harus diraih di masa datang. Dan percayalah,
"segala sesuatu yang sudah terjadi, sedang terjadi, dan yang akan terjadi adalah hasil dari pilihan kita." (Ust. Felix S.)
Melalui harapan, doa dan tindakan nyata. Melalui kemauan dan kemampuan yang ditempa. Melalui keikhlasan, kesabaran dan bersyukur tanpa celah.
Dari Ibnu Umar, bahwa seorang lelaki mendatangi Rasulullah Shallallahualaihiwassalam dan berkata, ”wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling diicintai Allah? dan amal apakah yang paling dicintai Allah?”
Rasulullah Shallallahualaihiwassalam menjawab, ”orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia dan amal yang paling dicintai Allah adalah kebahagiaan yang engkau masukkan ke dalam diri seorang muslim atau engkau menghilangkan suatu kesulitan atau engkau melunasi utang atau menghilangkan kelaparan.” (HR. Thabrani)
Hadits ini dihasankan oleh Syeikh al Albani didalam kitab “at Targhib wa at Tarhib” (2623)

*Violeta
Riyadh, Arab Saudi, 2 Maret 2016, 09.26 pm

Jumat, 17 Februari 2017

Melawan Ketakutan Meninggalkan Zona Nyaman

#Violet 18

“BERHENTI VIO!! Jangan bodoh!! Itu mustahil!”

Tubuhnya yang dua kali lebih besar berada tepat di depan motorku. Sedetik sebelum aku menyalakan mesin. Tangan kekarnya mencengkeram spion kiri. Matanya tajam menebas. 

“Tidak ada alasan untuk mundur.” kataku sarkas.

“GILLAA KAU!! Nggak tahu malu!!”

“Aku hanya ingin mencoba. Dan aku yakin kita mampu! Sampai kapan kita takut maju?” Aku balas menatapnya. Pupilnya membulat. Dadanya naik turun.

“Iya tapi bukan sekarang! Pokoknya tarik berkasnya!!”

“Enggak. Enggak bisa.” Aku mulai mengatur nafas. Melempar pandang ke gedung berlantai 4 yang baru saja aku tinggalkan. “Direktur tanda tangan acc proposalku. Para petinggi juga ambil bagian di acara ini. Siap nggak siap kita harus siap.”

“BODOH!! NYARI MATI KAMU!!!” Suaranya menggelegar. Cengkeraman tangannya semakin erat. Aku dapat mendengar gemeletak dari jemarinya. “Kita pasti kalah!”

“Aku nggak nyari pemenang. Yang penting kita punya keberanian. Jadi tahu sejauh mana kemampuan kita. Kalau berfikiran kalah sampai kapanpun tidak akan pernah melangkah! Kemampuan kita ya begini-begini terus. Tim ini harus berkembang! Dan aku yakin kita bisa!!” kalimatku tak kalah tegas. Kepalaku mulai panas.

“Aku benci sifat optimismu itu Vii!” Dia mendengus.

“Tim ini butuh kamu.” Cengkeramannya melonggar. Dia mundur selangkah.

“Sorry, aku ada jadwal dinas di Rumah Sakit.”

“Kamu bisa ijin. Nanti suratnya aku yang urus. Latihannya mulai Senin.”

“Enggak. Aku nggak mau jadi pecundang.”

“Ayolaahh.. Kali ini saja. Hei!! Mau kemana?”

“Pulang.” Katanya sambil berlalu. Meninggalkanku mematung di atas motor. Tempat parkir kampus senyap. Hanya riuh angin menggoyang dedaunan di sekitar lapangan. Menghantar matahari merambat ke peraduan.

Dua bulan kemudian, kami tampil di event nasional. Paduan Suara Gita Bakti Husada Poltekkes Kemenkes Semarang, untuk pertama kalinya dalam 10 tahun berdiri, mengikuti ajang perlombaan. Sebuah panggung yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Aku sendiri tidak tahu bagaimana kekuatan itu hadir begitu mengejutkan. Aku adalah seorang yang penakut. Aku teramat takut pada sebuah kesempatan. Takut gagal. Takut dicemooh. Dan takut malu.

“Enggak pak. Saya takut kalah.”

“Ya harus ada yang kalah agar ada yang jadi pemenang. Lagian toh bagaimana kita tahu kalah jika mencoba saja belum?” Kalimat Guru Bahasa Indonesia mengaung-ngaung di telinga. Permintaannya untuk mengirim naskah puisiku ke perlombaan SMA tingkat nasional aku tolak begitu saja. Benar-benar menjadi pengecut.

Bertahun-tahun terlewat dan aku menyesalinya. Ahh yaa.. Kau tahu itu. Penyesalan selalu datang di babak penutupan. Dan di kesempatan kali ini, aku tak mau mundur lagi.

Apakah aku tidak takut keluar negeri? Heii.. Aku sangat ketakutan! Beberapa hari menjelang keberangkatan bahkan tidak dapat terlelap. Pikiranku melompat-lompat dari takut tidak di terima, gagal beradaptasi hingga dideportasi. Membayangkan pengapnya penjara luar negeri. Dan maraknya penculikan, pemerkosaan hingga pembunuhan di media masa seantero negeri.

Tapi hampir satu tahun terlewat, nyatanya semua baik-baik saja. Lihat, betapa berprasangka buruk melemahkan tubuh kita. Betapa pikiran busuk yang justru sering merusak masa depan kita. Mengkerdilkannya. Membumihanguskan segalanya.

Teman, bukan sekali dua kali aku di anggap bodoh, idiot dan tidak tahu diri. Tapi bukan berarti kita harus berhenti. Setiap orang memiliki masanya sendiri-sendiri. Bisa jadi saat ini kita sedang berguling-guling di atas tanah. Tapi bukan hal yang tidak mungkin jika suatu hari nanti kita dapat merebah di tanah puncak Mahameru.

You can achieve the unachievable. Kamu dapat meraih apa yang tidak dapat diraih. Don’t look for the next opportunity. The one you have in hand is the opportunity. Jangan takut salah dan kalah. The person who doesn’t make mistakes is unlikely to make anything. Failure was a major contributor to its success.

Sertifikat ini aku dapatkan setahun lalu. Selama hampir 5 tahun terjerat ketakutan. Akhirnya, aku mencoba saran beliau. Puisi pertama di dalam hidup yang aku kirim ke perlombaan. Hasilnya... Bisa kau lihat sendiri.

No automatic alt text available.
Paduan Suara Gita Bakti Husada Poltekkes Kemenkes Semarang tahun 2011 yang aku pimpin memang tidak menjadi pemenang dalam event itu. Tapi dari situ, titik awal kita mampu mengikuti ajang perlombaan selanjutnya. Keberanian itu tumbuh dan berkembang pesat seiring berjalannya waktu. Dan panggung demi panggung mereka pijak untuk mengasah kemampuan diri. 

Pemenang bukanlah yang membawa pulang piala. Tapi yang telah berusaha optimal, berlatih maksimal, bertekat menampilkan yang terbaik serta menumbangkan ketakutan adalah pemenang sesungguhnya. 

Bukankah musuh sejati adalah diri sendiri?

Aku selalu ingat kalimat pamungkas dari Paul Arden ini.. “Try to do the things that you’re incapable of. Make your vision of where you want to be a reality. Nothing is impossible.”

Salam Spektakuler Paduan Suara Gita Bakti Husada.
Salam literasi Indonesia.

Dari si Bodoh yang tidak kunjung pintar.


*Violeta
Jeddah, Arab Saudi. 14 Juli 2016. 7.24 am

Jadi Perawat di Arab Saudi, Enak atau Tidak?


#Violet 17

Assalamualaikum Indonesia…

Bulan ini terasa mengesankan karna tepat tahun lalu menginjakkan kaki di negara ini, Arab Saudi. Saya bekerja sebagai Saudi Private Nurse di Jeddah. Baru 1,5 bulan berada disini. Karena sebelumnya 10 bulan di Riyadh. Karena pasien disana meninggal, maka perusahaan mengirim saya kesini.

Well. Beberapa di antara teman-teman sering kali menanyakan, enak nggak sih kerja di Arab Saudi?

Bagi saya, ini pertanyaan sulit. Atau justru terkesan retoris. Karna jika menjawab tidak, kalian akan menganggap negara ini kejam. Jika menjawab enak. Pada kenyataan, ada dukanya.

Awal datang kesini, saya tidak betah. Serius. Selama 2 bulan, menangis hampir setiap hari. Kenapa? Karena ditempatkan di satu rumah yang luckily, saya satu-satunya dari Indonesia. Jujur saja, saya sangat terpukul. Karna mau tidak mau harus berkomunikasi dalam Bahasa Inggris. Dengan kemampuan elementary school, saya sering kali ditertawakan. Bahkan dikucilkan.

Meski di Indonesia belajar Bahasa Inggris dari SD, tetapi jarang sekali mempraktikkan. Pembelajaran sebatas guru memberi materi, murid menangkap, ujian bisa mengerjakan. Dan, inilah saya hasil konkrit dari sistem itu. Lidah tidak terbiasa. Dari hati Ingin mengucapkan ‘bathroom’, tapi justru terdengar ‘bedroom’.

Salah satu teman dari Philippine marah ketika saya menceritakan tentang keindahan pantai di Pulau Palawan Philippine. Ternyata artikulasi saya bukan beach, tapi… you know what I mean lah. Dan itu fatal! Sumpah! Malu bukan main!

Dan kekurangan dalam berbahasa arab, sering membuat saya terpojok. Saya tidak pernah sekalipun, seumur hidup, mendapat pelajaran Bahasa Arab. Karena selalu berada di sekolah nasional. Maka pertanyaan membunuh setiap waktu terhunus, “Kamu kan islam, kok nggak bisa Bahasa Arab? Bukannya kitabmu itu berbahasa arab? Jangan-jangan kamu islam palsu!” mereka tertawa terbahak-bahak.

Belum lagi persaingan antar negara. Pengetahuan keperawatan dihajar habis-habisan. Saya yang memang dasar pelupa, meraba-raba ketika pembahasan masuk ke masalah sirkulasi tubuh, anatomi hingga detail ke sel-sel. Diskusi itu biasa di gelar dokter dan perawat. Terakhir membaca anatomi sel tubuh manusia sepertinya 2 tahun lalu di kampus. Sekarang benar-benar mati kutu!!

Parahnya diskusi bukan lagi tentang you and I. Tapi merambah menjadi dari mana asalmu dan ilmu apa yang kamu bawa. It’s mean that negara saya dipertaruhkan! Itu di kepala teringat bendera merah putih dan para pahlawan yang telah gugur.

Sedihnya pula karna jauh dari orang tua. Klise banget kalau ini sih. Derita perantau. Apapun tergantung dengan paket internet, wifi dan sinyal. Saya tidak tahu apa jadinya jika belum ditemukan video call. Oh God! Video call ini menjadi penyelamat jarak.

Ketika mama opname di Rumah Sakit. Melihat ponakan pertama lahir masih berlumur darah (persis iklan di TV). Melayat Pakdhe yang meninggal, Itu kamera diletakkan sejengkal dengan wajah jenazah. Sampai ucapan selamat penikahan di malam terakhir sahabat melepas masa lajang. Semua lewat video call.

Dan pertanyaan paling menusuk, hingga membelah rusuk bukan lagi, ”kapan nikah?”. Tapi, “kapan pulang?” yakin, itu sakit sesakit-sakitnya. Karena of course, saya jadi ingat kontrak kerja yang masih lamaaa… So, please guys, tenang saja. Saya akan pulang pada waktunya.

Well. Sebenarnya itu berita mengenaskan. Jadi bagaimana sisi yang lain?

Happy-nya, disini bertemu orang-orang dari berbagai negara. Bahkan 6 bulan saya tidak bertemu orang Indonesia. Jadi pasti tidak berbicara dalam Bahasa Indonesia selain saat telfon dengan keluarga. Pertama kali bertemu dengan orang Indo. Lidah kaku! Bahkan lupa Bahasa Indonesianya mister. Serius. Mulut menolak untuk sekadar mengucapkan, “Bapak dari kota mana?”. Hingga bapak tersebut terkekeh bilang, “Nggak apa-apa. Awal saya kesini juga begitu. Lupa bahasa Indonesia.” saya meminta maaf berkali-kali.

Bagi saya, meninggalkan Indonesia tidak sekadar mencari ilmu. Tapi disinilah kepribadian dan mental saya di tempa. Bagaimana menaklukkan ketakutan dan berdamai dengan tantangan. Kompleksnya masalah membuat mau tidak mau harus bertahan dan berusaha lebih kuat lagi. Pula karna di negara ini islam pertama datang membawa cahaya. Maka bagi saya pribadi, keislaman diri menjadi lebih tertanam.

Beberapa kali terkena marah atasan karna shalat terlambat. Bahkan sampai di ingatkan dan diawasi di hari-hari selanjutnya. Maka alasan ‘sibuk bekerja hingga meninggalkan shalat’, tidak mempan disini. “Jika adzan terdengar, ambil wudhu, langsung shalat. Tinggalkan apapun yang sedang kamu kerjakan!!”

Teman-teman juga tidak berhenti mengingatkan puasa sunnah, membaca Quran, dan shalat dimana saja. Di emperan toko, di dalam supermarket hingga di tepi jalan raya yang berpasir. 


“Bukankah bekerja adalah aktivitas mengisi waktu sembari menunggu adzan?” dan pertanyaan, “kalau besok kamu mati gimana? Apa yang kamu bawa?” adalah pecut mereka ketika saya dirundung malas-malasan puasa sunah dan shalat tepat waktu.

Kesempatan menakjubkan adalah bisa umroh. Ke belahan bumi mana lagi kita akan menuju jika bukan ke tanah yang paling Ia berkahi?

Seorang saya yang bahkan tak punya uang untuk ke Makkah, justru diajak oleh keluarga pasien dan kesemuanya dibiayai beliau. Dari tiket pesawat PP Riyadh-Jeddah, hotel tepat di depan Masjidil Haram, hingga makan 3x sehari. Bahkan ketika mengucapkan terima kasih yang tak putus-putus, beliau dengan senyum tulus berkata, “ini semua dari Allah, lewat perantara saya.” saya menghambur dipelukannya.

Dan kado ulang tahun terindah di Bulan Juni lalu adalah, ajakan ke Madinah tepat di bulan suci Ramadhan. Sekali lagi, dengan cuma-cuma. Bahkan diberi uang tambahan untuk belanja di pertokoan sekitar Masjid Nabawi. Alhamdulillah… Alhamdulillah…

Jadi teman, saya tidak bisa menjawab utuh apakah bekerja disini enak atau tidak. Tapi kesemua yang saya alami membawa ke keduanya. Maka pilihan itu juga ada di tangan kalian. Saya berharap tulisan ini sedikit memberi pandangan. Karena berbeda orang, berbeda masalah, lain pula ceritanya. Salah satu teman dari Indonesia ada yang setiap bulan umroh. Tapi saya tahu, tantangannya juga lebih pelik. Karna hukum Allah disini jelas sekali. Apa yang kau semai, itu yang kau tuai.

Selepas shalat isya, seorang nenek meminta botol bekas minum saya untuk diisi air zam-zam. Sebenarnya saya juga butuh untuk di penginapan, tapi saya berikan saja. Esoknya, setelah shalat dhuhur di depan ka’bah. Di bawah terik matahari. Ada wanita yang tidak saya kenal membawakan segelas air zam-zam dingin. Tepat saat saya bergumam dalam hati, “haus.”


*Violeta
Jeddah, KSA. 2 Agustus 2016. 08.16 am

Problematika Pekerja Luar Negeri dan Tips Sebelum jadi TKI

#Violet 16

Meninggalkan Indonesia, tidak pernah muncul dalam pikiran sebelumnya. Kenyataannya, saya tidak menginjakkan kaki di bumi pertiwi selama 1 tahun, 1 bulan, 13 hari, 8 jam, 47 menit, sejak take off dari Bandara Soekarno Hatta, Jakarta.

Hari pertama berada di Jeddah, Kingdom of Saudi Arabia, menjadi hari terakhir bertemu orang Indonesia. Itu artinya, keseharian, bahasa, bahkan bersikap, semua berubah. Saya menjadi pribadi berbeda dalam sekali hentakan jarum jam.

Mimpi apa semalam, ketika bangun tidur sampai tidur lagi full berbicara dalam Bahasa Inggris? 

Oh God! Syok? Pasti. Tapi sensasinya luar biasa! Ketika berada di tempat yang tidak ada yang mengerti Bahasa Indonesia itu membuat kita merasa, I REALLY LOVE INDONESIA!!

Mengikuti alur budaya dan keseharian membuat lidah saya juga harus beradaptasi kilat. Jangan harap ada nasi goreng atau pecel untuk sarapan. Di meja hanya akan sedia roti tawar, samoli atau sejenis roti panjang, roti arab dengan berbagai jenis keju, selai cokelat dan kacang yang bisa dipilih sesuai selera. Oke fine, sebagai pendatang, saya memilih sarapan dengan Indo**e.

Nah ini juga, saya baru kali ini, sumpah baru kali ini, bertemu seseorang dari India yang addicted dengan roti. "Nggak kenyang kalau nggak makan roti." Padahal baru saja dia makan sepiring nasi Bukhari. Aihh... Roti... Tolong redaksi, itu roti diganti 'nasi' bisa? Sebagai orang Indonesia yang cinta tanah air, nasi tak bisa digantikan dengan berlembar-lembar roti gandum. Tolong. Please. Ada Indo**e?

Yahh.. Baiklah kalau memaksa. Sehari sekali bertemu nasi bolehlah. Gantinya, setiap hari makanan selalu menu Arab, Syria, Afrika atau Eropa. Dan itu membuat saya agak mual, dengan aroma kapulaga dan rempah khas negeri teluk atau nasi campur krim keju. Maka jangan heran jika saya bisa loncat-loncat kegirangan ketika menemukan sate, empal gentong, kari ayam dan soto di supermarket. Dalam bentuk Indo**e, tentu saja.

Heii... Ini karena aku cinta produk Indonesia. Benar-benar 'seleraku...'

Sejauh ini, alhamdulillah tidak ada masalah berarti. Kecuali mimisan saat cuaca panas ekstrim dan masuk angin saat puncak musim dingin. Hari ini cuaca mendung. Asyik untuk duduk di samping kolam renang atau berjemur di sepanjang Laut Merah. Suhu bersahabat. Angin berkelebat.

Keluar negeri bukan semata-mata 'ingin', kawan. Tidak. Jangan. Saya sarankan, sebaiknya teman-teman menggenggam alasan erat kenapa memilih keluar negeri. Alasan itulah yang akan menguatkan ketika setiap hari berhadapan dengan orang-orang dari berbagai negara lengkap dengan watak dan attitude-nya. Baiklah. Tidak semua seramah orang Indonesia dan tidak semua orang Indonesia ramah di negeri orang. Ini rumusnya.

Jangan sampai, setelah di luar negeri, justru kelimpungan dengan 'keadaan yang berbeda'. Berharap semua enak? Lah, emang negaranya punya situ? Lalu marah-marah, memaki-maki dan menjelek-jelekkan PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia). Bahkan sampai bawa-bawa presiden RI beserta jajarannya. Katanya, "tidak becus mengurus TKI."

Padahal, kita-kita juga yang heboh minta segera diterbangkan. Visa dibuatkan. Proses dilancarkan. Tinggal ongkang-ongkang kaki menunggu jadwal penerbangan. Setelah sampai di negeri orang, minta cepat dipulangkan. Remisi kontrak. Pulang dadakan. Katanya, tak sesuai 'janji manis' Bupati. Lah, sekarang Bupati yang dibawa-bawa.

Jadi teman, tolong, tolong dengan sangat. Punyai dulu tekat dan alasan kuat kenapa memilih keluar negeri. Pastikan kontrak dan perjanjian yang tertulis sesuai dengan kesepakatan. Carilah informasi selengkap-lengkapnya. Datangi kantornya, temui direkturnya jika tidak mendapat kejelasan yang pas dari pihak agency. Bukan karena kata si A, B, C. Lalu asal tanda tangan. Ikut-ikutan. Mau enaknya. Menolak sulitnya.

Apalagi lintas benua. Tidak bisa pulang semaunya. Homesick yang menggila. Pula jaringan internet absurd. Sekarang saja kami tidak bisa telepon ke Indonesia karena jaringan internet Saudi disegel. Jadi saya harus mengirim pesan dahulu, lalu keluarga Indonesia yang menelpon saya.

So guys, saya tidak melarang teman-teman untuk mengepak sayap lebih lebar. Ambillah kesempatan yang ada. Bukalah pintu-pintu kemungkinan yang tersedia. Bisa jadi itulah jalan rezeki kita.

Dibalik sulit, berat dan kejamnya rumah tetangga, saya menggapai mimpi-mimpi saya disini. Salah satunya: naik unta bunga-bunga di Tanah Arafah. Saya naik saat malam. Fotonya gelap.

Jadi, bagaimana dengan kalian? Sudah dapat alasan terkuat hijrah keluar negeri?

Untuk teman-teman yang sedang berada di negeri orang: stay positive, stay fighting, stay brave, stay ambitious, stay focus and stay strong. The mentality is everything.

Aset paling besar adalah iman. Komunikasi paling hebat adalah doa. Semoga Allah melindungi kita dimanapun berada, dan semoga segera bertemu kembali dengan keluarga.

Salam hangat dari Saudi Private Nurse.



*Violeta
Jeddah, KSA. 13 Oktober 2016. 1.46 am

Tenang, Perawat bukan Teroris


Image may contain: 1 person, standing and outdoor
#Violet 15

"Saya dilarang orang tua untuk bekerja di Arab Saudi, mbak." Saya menarik napas dalam-dalam. Menyimak setiap kalimatnya. Ada kekecewaan melekat di setiap uraian.

"Kan Arab Saudi negara konflik. Lagi perang disana. Apalagi soal ISIS."

Kali ini saya hempas napas sekuatnya. Sampai sejauh ini, Indonesia masih saja dijejali informasi yang begitu-begitu saja. Tidak berubah. Selalu memberitakan masalah. Tidak pada siapa dan dimana konflik itu bermula.

Subjektivitas media dalam meramu dan mencerna informasi hingga berbuah suatu tindakan tidak pernah lepas dari kesaksian atau tafsiran. Bermula dari perasaan atau pikiran manusia, melahirkan sikap memihak terhadap pendapat pribadi atau golongan tertentu. Dalam berkehidupan, mengungkapkan fakta membutuhkan interpretasi dan interpretasi melibatkan subjek.

Maka menilai dan menjaga agar tidak mengandung subjektivistik menjadi penting. Agar tidak terjadi kesewenang-wenangan subjek dan membawa konsekuensi terhadap objek yang seharusnya dilihat dari segala sudut pandang berbeda.

Selama ini kita temui banyaknya subjektivikasi, entah dalam narasi di dunia kepenulisan atau berkehidupan. Menjadi sebuah pilihan yang harus diambil atau ditegakkan keakuratannya. Menulis sendiri menjadi saksi atas ketidakberdayaan diri dalam mengamati sebuah kebenaran. Tulisan-tulisan yang lebih sering tercipta dari pendapat diri atau golongan hingga melepaskan esensi dari makna keterangan yang mengekor dibelakangnya. Saya, atau bahkan kita semua menjadi sangat sensitif dengan keberadaan subjek. Kemahsyuran masalah, bukan pada sebab akibat masalah tersebut terjadi.

Seperti makna teroris yang sering kita dapatkan di media-media televisi, cetak, bahkan online. Teroris menjadi sebuah ikon, brand bahkan cap basah yang disematkan pada Islam. Negara Islam yang cinta damai justru menjadi tempat bertempur yang tak pernah ada habisnya. Teriakan takbir menggema di bawah reruntuhan kota, headline news di berita internasional, bahkan topik hangat di konferensi antar negara. Pemandangan yang lucu ketika mereka berlomba memojokkan suatu golongan yang sebenarnya adalah salah satu tubuh mereka sendiri.

Teroris, kian hari kian gencar menyerang tempat-tempat yang jauh dari medan perang. Tidak hanya menggunakan bom-bom dan rudal, tetapi juga menyusup ke area hukum, politik hingga sosial. Kekhawatiran ditangkap dan diseret ke penjara saat berada di salah satu bandara internasional di Perancis membuat banyak wanita terpaksa membuka kerudung. Bahkan tidak tanggung-tanggung terusir dari pantai dan dipaksa melepas kerudung serta baju panjangnya saat itu juga. Mereka curiga, dibalik baju panjang itu, ada bom yang disembunyikan. Jadi siapa yang mengucilkan dan dikucilkan?

Di Turki, situasi tak lebih baik dari rumah tetangga. Bom beruntun yang menyerang kota membuat banyak negara menarik para mahasiswa peraih beasiswa yang sedang menuntut ilmu disana. Bahkan universitas ternama harus mengungsikan mahasiswanya untuk belajar di negara-negara yang telah disepakati. Eropa dan Amerika Serikat menjadi tempat pelarian dari segala tragedi. Ketakutan terjadinya kehancuran seperti kondisi di Jalur Gaza membuat mereka mengambil sikap siap siaga. Jadi siapa yang mengusir dan terusir?

Telah nampak bagaimana dunia memandang teroris tak hanya sekadar pemicu ledakan, pembuat onar dan yang nampak jelas, orang-orang berpakaian hitam-hitam, bercadar, dengan jenggot dan celana diatas mata kaki menjadi sumber dari bergejolaknya kondisi saling serang. Tuduhan demi tuduhan kepada negara islam dan orang islam semakin mengerucutkan kepemahaman akan kondisi yang sebenarnya. Padahal, di negara islam itulah banyak korban berjatuhan.

Bukan hal baru lagi ketika harus membuat informasi seimbang. Menampilkan subjektivitas dan keterangan yang objektif. Mengangkat sudut pandang pada kebenaran mutlak sesuai kenyataan. Termasuk informasi tersembunyi. Tidak memihak dan tidak terikat. Pula harus sesuai dengan peristiwa yang terjadi dan dapat dipertanggungjawabkan.

Kini, si anak tersebut menerima keputusan orang tua. Tetap berada di rumah dengan perlindungan keluarga. Padahal saya yakin dia mampu mendapatkan lebih dari apa yang dia capai sekarang. Melanjutkan bekerja di salah satu rumah sakit di Indonesia menjadi pilihan satu-satunya agar tidak menjadi anak durhaka.

Lihat bagaimana dampak media dengan pemberitaan subjektif merong-rong masa. Mengkerdilkan nyali. Membunuh mimpi. Padahal, jika saja restu orang tua dikantongi, bukan hal mustahil ia dapat haji dan menghajikan orang tua di usia dini. Bersujud di depan Ka'bah dan menziarahi makam Nabi Muhammad SAW menjadi titik balik pengingat tugas manusia di alam dunia.

Sayang sekali bukan, jika sampai sekarang pun masih ada yang beranggapan bahwa Islam itu teroris dan teroris itu Islam. Tidak hanya korban nyawa tetapi juga hilangnya kesempatan maju para generasi penerus bangsa.

Mari baca lagi. Mari belajar lagi.



*Violeta
Jeddah, KSA. 7 November 2016. 11.10 pm

One Day One Post

Saya tak pernah benar-benar mengerti. Sebuah perkumpulan manusia dengan satu misi. Lucu jika kemudian ada yang bertahan dan tereliminasi. Bu...