Senin, 29 Oktober 2018

One Day One Post

Saya tak pernah benar-benar mengerti. Sebuah perkumpulan manusia dengan satu misi. Lucu jika kemudian ada yang bertahan dan tereliminasi. Bukankah minat dan bakat setiap orang berbeda? Kesempatan dan niat tak selalu sama?

Tapi begini.

Tak ada yang akan memulai kuda menarik gerobak jika Sang Kusir tak mememberi aba-aba. Tak tahu pula ke mana ia melangkah jika tuan pengemudi enggan memberi arah.

Jalan sih, tapi semaunya. Sesuka kuda.

Di sinilah agaknya peran komunitas itu kemudian alih fungsi. Tak sekedar berbincang. Tapi juga menantang. Silakan pergi jika tak sesuai kehendak. Selamat menenetap jika sekiranya menghebat.

Tak semua bahagia. Jelas. Karena toh kadang saya melakukannya terpaksa. Ya dengan tugas menulis setiap hari tanpa pasti materi. Katanya, asal tulis saja. Untuk menjaga konsistensi.

Padahal, menulis tak tak semudah daun melepaskan diri. Ide yang berlompatan dan mood tak tahu diri.


Tapi baiklah. Izinkan saya mengbungkukkan badan. Menyambut akhir yang senyata persaudaraan. Pada penanggungjawab kelompok dan senior yang tak pernah kehabisan stok semangat.

Akan ada jalan yang kita lalui. Entah bersama. Entah sendiri-sendiri. Yang pasti. Menulis adalah tentang menciptakan cinta dan asa. Mengenang lara membungkus rasa.

One day one post. Untuk yang selalu dikenang. Tak pernah lekang.

*Jepang,

Minggu, 28 Oktober 2018

Autumn in Japan

"Red leaves blow in the wind
Leaving home and everything it's known behind
Barren branches wave goodbye
As the red leaves slowly die
Every flower stares and watches
As the wind takes me away
As the wind takes me away..." - Autumn, Haste The Day


Duhh, jadi melow. Iya, waktu mamas ngajak liat momiji, daun merah dan pohon ginko yang kuning keemasan di Hokkaido University, sudah sedih duluan.

Kasihan. Daun-daun cantik itu nantinya akan layu, rapuh, lalu jatuh. Terinjak-injak. Kemudian hancur diguyur hujan. Apakah keindahan sebegitu hipokritnya? Apakah 'cantik itu luka'?

Pula jahatkah aku saat tertawa di bawah pohon yang beberapa hari lagi akan gundul dan menyisakan rating kering buruk rupa? Lalu dengan bodohnya bertanya, bagaimana pohon masih bisa hidup dengan bentuk mengerikan seperti itu? Kenapa tak mati sekalian saja?

"Proses bertahan hidup. Siklus alami, kan?" Mamas menghibur berkali-kali. Sampai saat kami perlahan mengayuh sepeda menuju tengah kota. Rasanya, tak ingin berlalu saja.

Apa tak ada indah yang abadi, Dear? Kenapa di balik pesona ada kehancuran yang merongrong? Siap bersemi, juga siap mati.

Mereka susah payah untuk tumbuh di musim semi, kan. Menguat di musim panas. Perlahan musnah di musim gugur. Nyaris sekarat di musim dingin bersalju.


"Ga mati kok, tahun depan juga lebat lagi. Peralihan yang membuat dia makin kuat, kan?" Lelaki yang tak pernah kehabisan senyum itu berkata pelan sambil mendorong sepeda saya maju.

Dibanding foto-foto, saya lebih suka duduk melamun. Menata hati.

Kalau pohon bersiklus, manusia juga, kan? Nanti, aku juga akan berada pada titik serapuh itu, hingga sepoi mampu menerbangkan ruh ini. Tak ada yang peduli. Tak ada. Siklus alami, kan? Nanti juga akan ada yang lahir lagi. Akan ada yang mengisi hari-hari lagi. Kesedihan itu fana, Honey!

Tinggal siapa yang pergi lebih dulu. Siapa yang melanjutkan sisa usia yang entah berhenti di mana.

Sayang, manusia tak pernah benar-benar tahu. Akankah ia bisa bertahan hingga musim berikutnya? Atau gugur sebelum menemukan Tuhan?

Kupungut selembar daun merah itu. Urat-urat kuat. Aroma manis menelasak. Gradasi warna yang ajaib. Tapi sayang, cantiknya permukaan tak mampu membuat angin bertekuk lutut.

Makhluk hidup harus menggugurkan sebagian dirinya untuk bertahan dan menghebat, katamu. Untuk berkembang dan melanjutkan hidup. Untuk terus percaya, bahwa jatuh, bukan akhir dari segalanya. Bahwa menjadi rapuh, bukan kelemahan. Bahwa menangis, tak berarti duka. Bahwa mati, hanya tentang menepati janji untuk kembali.

Tulus kasih Allah dalam pelataran yang penuh daun kering terkoyak asa, membuat waktu seakan sempit saja. Musim berganti, manusia beregenerasi.

Akankah aku bisa bertemu momiji lagi tahun depan, Dear? Menyaksikannya terbang dan perlahan hilang. Entah terinjak manusia. Entah dibunuh ganasnya dunia yang semakin gila.

"Sometimes a strong wind blows suddenly and you leave your beloved tree without saying even goodbye, like a pale autumn leaf! This uncertainty of life makes every moment in life infinitely precious." - Mehmet Murat ildan

Autumn... Perayaan menyaksikan anak-anak daun berpisah dari ibunya. Cantik yang menyakitkan.

*Marintha Violeta
Sapporo, 27 Oktober 2018,

Cicit Janji

Kau lihat bintang itu sayang?
Tepat di arah timur
Cahayanya berpendar dalam pekat cakrawala.

Tidak
Kau tak menemukannya

Dia tersisih
Selayak kau tabur pasir
Ada seberkas yang hilang tersapu angin

Aku menemukannya di atas meja kelabu
Dalam lamunan tawar yang kau seduh dulu
Mencicip gula batu
Tapi tak ada manis melebur

Kini kuigin mengumpulkan detik terserak di dadamu
Menatanya agar cantik setelah cabikan itu
Menyulamnya seindah bantal tidurku

Kan kuselipkan rindu di sela jantungmu
Hingga kau mengerti
Cinta tak seindah cicit janji

Palsu, tetap palsu!

*Marintha Violeta
*Puisi
Challenge odop

Menjelma Karang

Ia masih meringkuk di sana. Membatu di bibir karang. Tidak bergeming meski angin memporak-porandakan kerudung panjangnya. Berkibar-kibar seperti bendera yang dinaikkan tadi siang. Warna kelabu pucat.

Sesekali ia menyeka mata. Ada gumpalan besar menyumpal hatinya. Entah untuk keberapa kali, ia terpelanting ke masa itu.

Ibunya menggenggam tangannya kuat-kuat. "Jangan lepaskan, Zahra!"

Gadis mungil itu hanya mengangguk dalam tangisan. Seluruh tubuhnya gemetar. Bergetar. Air bah mulai masuk ke dek. Kapal pontang panting dihajar badai. Hujan lebat. Petir menyambar-nyabar. Menggelegar memekak telinga. Kilat membelah langit seperti keris raksasa yang saling menghunus. Langit seakan runtuh. Gelap gulita.

Orang-orang menangis, berteriak histeris meminta tolong dan menyebut-nyebut nama Tuhan. Beberapa bahkan terpelanting keluar anjungan. Laut membuka mulutnya yang penuh taring. Siap menelan kapal berpenumpang 345 orang bulat-bulat.

Ibu dan anak itu masih berpegang pada tiang kapal. Seperti puluhan penumpang lainnya. Erat mencengkeram jika tak ingin mati tenggelam.

'CETTAAAARRR!!!'

Kilat cahaya sangat terang. Dengan suara lecutan yang keras berkali lipat dari sebelumnya.

Zahra menjerit memanggil emaknya. Semakin menangis histeris. Suara itu menakutinya. Seperti dekat sekali. Ia menenggelamkan kepala di antara kedua lengan yang menghimpit tiang kapal.

"Emaakk.. emaaakkkkk!!!" Mulutnya terus merapalkan kata-kata itu. Tubuhnya semakin bergetar kedinginan. Basah kuyup. Hampir 1 jam berpegangan tiang ketika kapal pertama berguncang.

Gadis bermata coklat itu mendongak ketika mendengar orang-orang berteriak, "Allahu Akbar! ALLAHU AKBAAARRR!!!"

Zahra semakin menangis menjadi-jadi. Suaranya berubah menjadi erangan. Air matanya leleh ke mana-mana. Rambut yang tadi dikuncir dua kini rusak acak-acakan.

Salah satu tiang layar terbakar. Agaknya petir barusan berhasil menyambar. Api menggeliat seperti ular panas mencari mangsa. Tiang-tiang hangus mulai menghujani dek. Suasana semakin mencekam.

"ZAHRA LARRIII!!!"

Belum sempat ia menoleh, ibunya mendorong gadis mungil usia 5 tahun itu ke tengah dek. Ia terjungkal. Kepalanya berdenyut hebat. Tubuhnya sakit sekali.
Dan.. PRAAAKKK!!!!

Tiang hitam menghantam wanita paruh baya. Setengah tubuh berada di bawah tiang. Darah membanjiri dek kapal yang mulai retak di sana-sini.

"EMAAAAKKKKKK!!!"

Kerudungnya berkibar-kibar. Ombak bergulung-gulung dari kejauhan. Senja baru akan habis di makan cakrawala. Ia menelungkupkan tubuh. Menangis dalam erangan menyayat.

Siang tadi diadakan upacara mengenang tragedi naas itu. Tenggelamnya Kapal Arjuna 15 tahun silam. Tepat hari ini. Di mana 334 orang dinyatakan meninggal. Yang keseluruhannya adalah penduduk kampung nelayan.

Zahra hanyut terbawa ombak. Terombang ambing di lautan entah berapa hari hingga seorang nelayan menemukan tubuhnya pingsan di atas potongan kayu. Gadis itu bahkan tidak tahu apa yang terjadi setelahnya. Kenangannya berhenti pada darah ibunya yang membasahi seluruh tubuh.

Ia masih menangis. Bergelung memeluk kaki mengingat potongan mimpi buruk itu ketika ombak besar datang. Memeluk. Menjerat. Menarik tubuhnya dalam dekapan semesta.

****

Seorang pemuda menyisir bibir pantai entah yang keberapa ratus kali. Pagi, siang, malam, ia berjalan di sepanjang karang. Memanggil-manggil. Sesekali terpuruk di atas butir pasir. Menangisi ia yang hilang sebulan ini. Tanpa kabar. Tanpa kata perpisahan.

Hingga di senja yang ke 43. Ia memungut sesuatu dari karang yang dijilati ombak. Hatinya berdebam.

Tangannya bergetar meraih kain kelabu pucat, kuyup. Terkoyak. Air mengalir di pipinya yang tirus.

Sebuah kerudung yang ia berikan pada gadis yang namanya tertulis di kartu undangan pernikahan mereka.

"ALLAAAHHHH!!!!" raungnya pada semesta yang mulai meredup. Gelap.

*Violeta
Security Forces Hospital, Riyadh, Arab Saudi. 22 Mei 2016. 02.04 pm

Bintang Raksasa

"Tak bisakah kau diam?"

"Aku bosan." Tubuhnya yang sedari tadi bergerak kiri kanan membuat kursi berdecit-decit.

"Kau bisa pergi, ke Saturnus misalnya."

"Bagaimana kalau kita ke Sirius!" Antares mematut di cermin mungil di atas meja. Memantulkan wajahnya yang merah. "Sudah lama aku tak mengunjunginya."

Tak ada jawaban.

"Ayolah Rigel. Jaraknya hanya 8,6 tahun cahaya dari planet berpolusi ini."

"Aku ada janji dengan Petinggi Tata Surya. Regulus, Fomalheut, Becrux dan Vega. Ada masalah di Konstelasi Lyra. Rotasi Vega melambat. Kita akan menyelidiki sisa hidrogen dan helium disana."

Antares memanyunkan bibirnya yang tipis merah muda.

"Tanggal berapa sekarang? Sepertinya Canopus dan Sirius akan bertemu malam ini. Temui mereka di daerah Zenith. Hemisfer Selatan."

"Canopus? Bintang sirkumpolar yang tak pernah tenggelam itu?" Antares berdiri. Menampakkan tubuhnya yang menjulang, besar dan kekar. "Sebenarnya aku tak suka padanya."

"Iri karna manusia memasukkan namanya dalam lagu mereka?" Rigel terkekeh di balik buku 'Bertamasya ke Bumi'.

"Hhh!! Di lagu Sherina itu. Tidakkah mereka tahu, aku bintang raksasa dan masuk jajaran 15 paling terang di Galaksi Bima Sakti? Aku lebih besar 10 kali dari Matahari dan 10.000 kali lebih terang dari bintang sok panas itu!"

"Ya, ya, kau bisa jelaskan itu pada manusia berbaju putih-putih yang hobi traveling keluar angkasa. Hingga tak memanggilmu bintang raksasa sekarat yang sebentar lagi akan meledak. BOOM!!“ Rigel menirukan suara ledakan supernova berjuta tahun lalu. Lengkap dengan ilustrasi kedua tangan yang berpisah lalu jatuh ke tanah seperti puing-puing. Lalu menutup mulutnya dengan tangan. Menahan tawa.

"Awas kau!!" Antares mengayunkan tinjunya.
"Manusia tak sepatutnya meramalkan sesuatu di luar kemampuan. Rasa keingintahuan mereka sering membuatku mual! Menurutku mereka juga tak benar-benar sampai ke Bulan!" mukanya semerah tomat sekarang.

"Kata manusia beruban itu.. Errgg.. Siapa namanya.. Ya! Einstein! Imagination is more important than knowledge!" mengerlingkan satu mata ke arah sahabat kecilnya. Menggoda.

"Ahh! Hipotesa kuno!“ tandas Antares. Berlalu menaiki tangga.

"Heii!! Jangan lupa 37 derajat di atas Horison Selatan!! Singgasana Canopus! Bergurulah bagaimana cara menjadi artis instan! Hahaa.." teriak Rigel di antara tawa tergelak-gelak sambil memegangi perut.

*Violeta
Jeddah, KSA. 20 Agustus 2016. 1.42 am.


Di Bawah Pohon Sakura

Menurutmu, aku harus mulai dari mana? Dari dersik ilalang membawa terbang suaramu. Atau, dari kabut yang menyamarkan bayanganmu?

Tidakkah kau berkenan menoleh sejenak. Pun meski dengan cara klandestin, rahasia. Menilik pemilik tubuh membeku di bawah pohon sakura. Lalu mendekat dan melukis senyum di bibirnya.

Ahh, sayang hidup tidak semudah dandelion terlepas dari indungnya. Ketika gerimis mengerangkeng semesta. Aroma petrikor menyeruak dari balik semak. Tanah basah yang tak mau kalah.

Baiklah, memang harus ada yang mengalah. Aku akan pulang. Turut serta dengan swastamita. Beranjak dari langit jingga.

"Setidaknya ada yang tercetak di mulutmu sebelum melangkah." Pikiran gila yang membuat hatiku halai-balai. Ah, sudahlah. Toh kau sudah tak ada di sini.

Pohon sakura perlahan tertinggal jauh. Gemerisik rumput membendung. Rintik semakin deras menghujam tubuh yang hanya berbalut gaun merah marun kesukaanmu. Warna yang kuharap menarik mata bintang itu.


Sia-sia. Harusnya aku tak perlu memelihara rasa menyebalkan ini. Gemereletak yang selalu berlompatan ketika melihatmu. Rasa yang tak pernah mampu aku taklukkan sejak bertemu satu tahun lalu. 
 
Dan menanti seseorang mengetahui apa yang dirasakan itu menjemukan. Sangat melelahkan.

Aku menarik napas dengan rakus dan mengeluarkan kasar berkali-kali hingga..

"Nayanika!!"

Tubuhku menegang. Suara itu... Aku berbalik dan mendapatinya berlari mendekat.

"Ke-ke-napa pergi?" Suaranya tersengal. Laki-laki berkulit cokelat kekuningan telah berdiri tepat di hadapan.

"Arkian..." suaraku lebih seperti bisikan. Tunggu. Bagaimana dia ada di sini? Bukankah tadi berkata akan pergi? Lalu begitu saja meninggalkan aku di taman. Mau apa lagi sekarang?

"Maukah... Hhmm.. Maukah kau menemaniku?" Suaranya hampir kandas oleh gemuruh jutaan tetes air langit memukul permukaan Danau Pancawarna di samping kami. Gerimis berubah menjadi gertakan.

Alisku terangkat. Yang berarti: 'What are you talking about?'

"Will you marry me?" 

What!! Wajahku memanas! Hujan semakin lebat.

"Jangan. Maksudku, tidak perlu dijawab sekarang. Besok. Insyaallah besok. Aku menemui orang tuamu," katanya kemudian yang justru membuat jantungku berdegup tak beraturan.

"Ini... tadi aku pergi membuat ini. Saat kembali, kamu sudah tidak ada di bawah pohon sakura. Maaf membuatmu menunggu lama." Cincin dari ilalang kering dengan bunga rumput sebagai manik tergeletak di telapak tangannya yang menengadah.

-Menanti subuh
*Violeta
Jeddah, KSA. 6 September 2016. 3.00 am.


SwastamitaS = sunset
Petrichor = aroma hujan

Di Mekkah, Aku Jatuh Cinta

Mecca masih menyelipkan berlembar-lembar rasa. Tentang kehidupan, kesederhanaan dan cinta. Mengajarkanku bahwa tak ada lagi yang dapat dikejar selain akhirat itu sendiri. Masa depan yang pasti.

Setiap manusia selalu ingin berkelana. Menjelajah bumi. Menjejakkan kaki ke tanah-tanah hijau tanpa penghuni. Pun juga pucuk gunung-gunung tertinggi. Lalu mengabarkan pada angin dan serumpun edelweiss yang berterbangan. "Lihatlah! Aku telah sampai di titik ini!"

Mengejar cinta hingga jauh ke negeri-negeri ujung tak pelak jadi motivasi. Hingga merebahkan diri di pulau-pulau berpohon kelapa dua cabang. Merayap di atas timbunan salju yang perlahan menipis. Atau justru tertatih dipanasnya gurun pasir tanpa oase.

Aku masih tak mampu berkata-kata ketika langkah mendekatiNya. Menyusup diantara milyaran kepongahan dunia. Bumi yang sedang dilahap politik dan perebutan kekuasaan. Mencicir sekelompok plankton yang mencicit di tepi kota. Perusak pemandangan, katanya.

Ahh. Aku ingin rehat sejenak. Menghirup wangi Mecca. Menjejalkan aroma zam-zam di jantungku. Lalu mengepakkan sayap seperti merpati-merpati penghuni Mecca menyongsong petang.

Menggapai cinta ternyata semudah ini. Ketika menyelam ke dalam diri. Bertekuk lutut atas semua nikmat yang Ia beri. Apalagi yang sanggup aku minta jika Ia telah suguhkan semuanya? Cinta. Cinta. Dan cinta.

Bumi bertawaf. Semesta bersujud. Alam mendengungkan asmaul husna.

Cinta yang tak mampu aku balas dengan seluruh hidup dan nyawaku.

Hingga waktu menggiring langkah menuju muara yang selalu bertasbih. Di halte pemberhentian hidup. Kembali ke asal muasal stasiun kedatangan.

*Violeta 


Jeddah, KSA. 18 September 2016. 6.54 pm

Lukisan Monalisa dan Dunia Baru

Seminggu berada di Paris rasanya tidak cukup. Uuhh.. Saya betah setiap hari bolak balik Eiffel jalan kaki. Atau hujan-hujanan menyusuri sungai Le Seine yang bersih dengan kapal lalu lalang. Jadi ingat sungai Banjir Kanal di Semarang.

Sebelum pindah ke Spanyol, saya meminta (untuk tidak disebut merengek) ke museum legendaris, Musee de Louvre. Tempat Monalisa menampilkan keseksotikannya.

Dan taraa.. Ternyata antrinya sudah mengular berkelok-kelok di depan pintu masuk museum. Baru kali ini saya antri cuma buat lihat lukisan. Padahal di sepanjang jalan Braga Bandung, lukisan aduhai juga ditawarkan, kok orang-orang lewat tanpa melirik.

Saat pertama masuk, yang ada malah nyebut-nyebut "astagfirullah.." Ya kali, patung manusia setinggi 2 sampai 3 meter telanjang semua. "are you kidding me?" gelinya, si Taufik yang jadi tour guide malah dengan santainya tanya: mau difoto sama itu?, Oh Nooo!!

Parahnya lagi, saat sudah di depan lukisan Monalisa. Saya terbengong-bengong.

Ya robbi.. Di mana bagusnya? Kok harganya bisa 9 triliun. Bahkan digadang-gadang jadi lukisan termahal sepanjang sejarah. Dengan berbagai konspirasi dibaliknya, tentu saja. Hmm..

Baiklah, saya yang terlalu o'on untuk menafsirkan lukisan cat yang dibuat Leonardo da Vinci selama 11 tahun itu.

Malahan, lebih fokus pada orang-orang yang begitu antusias pada lukisan gadis tersenyum. Dorong-dorongan. Melewati pembatas penjagaan, sampai nyelonong masuk lewat pintu keluar.

Menikmati Paris sama seperti menjelajah diri sendiri. Banyak sisi yang harus dinikmati. Atau sengaja ditonjolkan untuk mendapat apa yang seharusnya dicari.

Di Paris, bangunan semakin tua, semakin dijaga 'ketuaannya'. Saat di jalan misalnya, dengan bangga Taufik bilang, "lihat gedung itu, usianya lebih dari 2000 tahun. Masih berfungsi jadi kantor. Keren kan?"

Uhh, alih-alih memperhatikan guratan-guratan di dindingnya yang menghitam dimakan zaman. Saya justru malu dengan diri sendiri. Batapa sering menganggap masa lalu itu tidak penting. Patut dilupakan. Kalau bisa dibakar hidup-hidup.

Padahal, dari masa lalulah saya menemukan diri seutuhnya. Pecahan puing kegagalan, telah mengantarkan menyusuri jalan Rue au Revoli yang terkenal. Menapaki sisa-sisa reruntuhan perang dunia 1 di tanah Eropa.

Monalisa, patung telanjang dan gedung-gedung tua, membuat saya percaya, tak butuh pengakuan orang agar kita tumbuh luar biasa. Tapi proses yang terus dilalui dengan segala ketidaksempurnaan, justru membuatnya sempurna.

Saya semakin ternganga ketika perjalanan ini dimulai dari menjadi perawat yang diremehkan banyak orang. Yang pernah dibayar segepok pisang, krupuk udang, atau seringai senyum menjatuhkan.

Untuk masa lalu yang menyakitkan, terima kasih telah memberi banyak pelajaran. Tanpamu, aku tak akan pernah bangkit seperti sekarang.

*Violeta
Andalusia, Spanyol. 5 Juli 2017, 12.37 pm

Minggu, 21 Oktober 2018

Keluar Negeri Tak Selalu Mudah with Pak Nina Hanafi


Foto itu saat bertemu Indonesian Diaspora Network France. Di samping kiri adalah Bapak Nina Hanafi selaku ketua. Sekaligus co-founder Restoran Djakarta Bali di Perancis, yang terkenal.

Lainnya, adalah jajaran ibu-ibu dari Kedutaan Indonesia di Perancis yang sudah berpuluh tahun tinggal dan membesarkan anak-anak mereka di negara orang.

Banyak yang hanya melihat foto-foto saya, lalu spontan bilang, “pengen iih kaya Mbak Vio..”

“Wah, enak ya jalan-jalan diluar negeri terus. Iri deh.”

Dan kalimat serupa yang mampir di beranda, inbox, IG, dan WA.

Aduh, berkali saya katakan, jangan. Pergilah ke Paris dengan normal. Karena proses saya ke sana tak seelegan nampaknya.

Saya ceritakan, semoga tak ada lagi penderitaan yang sama teman-teman temui. Semoga ada pelajaran yang disimpan, bahwa keluar negeri, tak semudah yang terlihat di permukaan.

Ya, padahal, semua hanya area cerah setelah melewati terowongan panjang, pengap, dan berbau busuk. Wilayah sempit, seukuran kamar kos 2x1,5 saya di Bandung, dulu. Tempat untuk tidur, makan dan mendengarkan radio. Tanpa TV, galon air dan smartphone.

Bahkan hampir saja, hanya beralas tikar karena ‘tempat tidur’ yang mereka sebutkan, ternyata hanya dipan kayu, tanpa kasur.

Di kost pula menjadi tempat bersejarah, betapa dulu pernah berguling-guling menahan nyeri lambung tengah malam. Karena hanya berisi mie gelas dan seblak. Makan dua kali sehari, berjalan berkilo-kilo demi tak membayar angkot dan menggadai laptop.

Demi menyisihkan uang untuk membayar agency dan PJTKI yang mengurus keberangkatan ke Arab Saudi.

Tapi hal itu juga yang membuat saya tak ingin mundur, walau sesenti. Meski di-bully, dicaci maki, dikatakan tolol karena akan meninggalkan pekerjaan enak di Rumah Sakit ternama. Juga tuduhan, “kamu kok tega ninggalin orang tua!”

Rasanya, ke Spanyol itu hanya gula di atas pahitnya jamu brotowali satu kendi. Tak akan ada yang iri pada hidup saya, jelas, bila tahu saya pernah harus menahan takut karena hampir diperkosa.

Setelah interview untuk ke Arab Saudi, di Jakarta, saya kembali ke Bandung sore itu juga. Jam 12 malam baru menjejak Bandung karena kehabisan tiket kereta dan macet yang menggila.

Sayangnya, penumpang hanya diturunkan di Jalan Pasteur RSHS. Tanpa ojek online seperti sekarang, tanpa angkot lalu lalang, jalanan yang sepi, dan saya yang sendirian. Maka, jalan kaki sampai kosan di Cicendo, jadi satu-satunya pilihan. Ada kali 3 km.

Beberapa menit berjalan, saya dibuntuti pengendara motor berjaket kulit. Tanpa membuka kaca hitam di helm cakilnya, bagaimana mungkin percaya saat dia bilang, “ojek neng, saya antar.” Pula berita mutilasi berseliweran di media membuat 1000x waspada.

Kosan masih jauh, jalan semakin senyap, jam di tangan hampir menunjuk angka satu saat pengendara itu mencoba memepet tubuh saya yang gemetaran di balik jaket. “ikut saya saja, Neng!”

Allah!!! Saya teriak kencang-kencang di otak!

Dengan jantung berdebar dan keinginan untuk menikah, punya anak, bahagia, membuat kaki lecet spontan terangkat dan berlari di sepanjang jalan Pasir Kaliki.

Tidak! Tentu saja tak berharap nama saya masuk headline Bandung karena ditemukan mati diperkosa. Ya Allah, lindungilah.. lindungan..

Saya berlari di tengah jalan, berharap ada mobil lewat dan mengklakson. Tapi nihil. Saya berlari menghentak kaki, berharap ada satpam hotel bersiaga, tapi kosong. Saya berlari, berharap ibu-ibu hati baik mengintip dari jendela, tapi gulita!

Laki-laki itu masih di sana, menjaga jarak 200an meter di belakang. Dengan derum mesin yang membuat bulu kuduk berdiri. Allah! Bagaimana?? Apakah takdir sampai malam itu saja?

Saya menambah kecepatan. Meski betis terasa panas terbakar karena lelah perjalanan.

Sampai di depan Mall Istana Plaza, ada lahan kosong teat di seberangnya, dengan pagar tembok yang hampir roboh. Berhadapan dengan KFC yang melompong. Di perempatan itu, saya berbelok kiri cepat dan meringkuk di balik bongkahan pagar.

Menangis mendekap mulut. Entah bagaimana tubuh. Dengan napas tersengal, keringat tumpah dan jantung melorot ke perut.

Suara motor mendekat, berhenti beberapa detik di depan Mall, sebelum menjauh, dan hilang. Saya menangis sejadinya.

Jam 2 malam baru sampai kosan dengan tubuh remuk redam dan kaki lecet. Jam 7 pagi sudah dinas di ICU dan siap nge-RJP pasien.

Drama itu nyata. Gila. Dan tidak patut untuk diikuti. Apalagi dijadikan lahan iri. Tak akan ada yang tahu, setiap kebahagiaan, menyimpan trauma, luka menganga.

Diluar sana, saya yakin banyak kejadian lebih menyakitkan dalam perjalanan menggapai mimpi. Seperti teman-teman Indonesia di Eropa dan Timur Tengah.

Tak akan mudah. Selalu. Kesuksesan tak pernah diraih dengan kesenangan. Tapi luka dan air mata yang membuat bertahan dan meyakini apa yang patut diperjuangkan.

Kalau saja tak ikut interview di Jakarta, memilih hidup normal dengan bekerja di RS internasional di kota kembang, tak akan ada nasib buruk di Pasir Kaliki malam itu.

Kalau saja lebih mendengarkan teman dan saudara yang mengatakan, “kamu miskin, tidak mungkin bisa keluar negeri!”, tak akan ada cerita tentang Arab Saudi, Paris, apalagi Spanyol.

Jangan menyerah. Tolong, jangan menyerah.

Hidup tak pernah mudah, tapi sekali kita berhenti melangkah, selesai sudah.

Untuk yang sedang terluka di puncak mimpi, kuatkan hati, di titik itulah nyali diuji. Berapa lama sanggup bertahan. Akankah selalu menyalahkan keadaan. Atau bersyukur dengan apa yang telah Allah berikan.

“Aku memandang masalah sebagai teman. Aku belajar tersenyum karenanya, belajar sabar karenanya, dan akhirnya, dewasa karenanya.”

Percayalah, Allah selalu ada, untuk hambanya yang percaya, dan mau berusaha.

Dari Pak Nina Hanafi saya meyakini, tak ada yang tak mungkin bila tembok hambatan didobrak dan menjadi arena berkembang yang menguntungkan.

*Violeta
Semarang, 17 Oktober 2017. 11.47 pm.

*Kenapa Harus Perawat, Kak?

Di papan tulis saat semester 1 tertulis jelas, “Perawat, Bekerja Ikhlas.” Duh Kak, berat kalau begitu. Belum apa-apa saja sudah dituntut ikhlas.

Bergelut semalam suntuk menulis tangan Asuhan Keperawatan. Dari Laporan Pendahuluan sampai kasus yang butuh berlembar-lembar folio. Besoknya, dianggurkan di meja pembimbing. Lagi sibuk katanya, besok baru dilihat. Kalau ingat. Sudah dikoreksi, harus tulis ulang lagi, revisi sana sini.

Belum lagi berangkat pagi-pagi. Ngerjain tugas? Mana bisa! Iya soal cuma satu. Tapi panjangnya melebihi jalur Cipali. Tol terpanjang di negeri ini. Ke fotokopian depan kampus. Sekadar nge-print makalah-makalah yang akan duduk manis di meja dosen, lagi.

Ingat ilmu ikhlas. Dilarang protes. Dosen selalu benar.

Bagaimana pula perawat-perawat ini tidak tangguh di medan perang. Setiap hari disuguhi video isi perut yang dibuka, tengkorak dibelah, tulang dibor, jantung dicincang-cincang. Hanya untuk tahu beda sel tiap organ. Hanya untuk tahan mual muntah saat menangani langsung banjir darah di kamar bedah.

Tahukah jika calon perawat ini defisit liburan? Seharian di kelas dengan segepok pelajaran dari lapisan kulit hingga serabut hati terdalam. Menjajal beragam posisi sebelum benar turun spesialisasi.

Namanya juga pengabdian. Penyerahkan diri secara utuh, lengkap dengan daging dan tulang. Kalau perlu, jika pasien minta jantung, perawat dengan rela membelah dadanya.

Tapi ada juga perawat yang ogah memegang pasien setelah selempang menyampir di pundak. Hobi rumpi bahas gosip terkini. Duh, lupa jatuh bangunnya kuliah dulu? Saat jadi mahasiswa praktikan yang kerjanya disuru-suru. Si Kak Itu justru membalas, “biar adeknya makin cakap dan daftar kompetensinya terpenuhi.”

Kenapa harus perawat jika inginnya kerja di balik meja dengan setumpuk arsip dan laporan? padahal hanya 5 meter dari pasien.

Kak, mahasiswa dan perawat baru juga butuh bimbingan. Tahukah beda Rumah Sakit beda pula pelayanannya? Yang sini harus pakai bethadine, yang sono cukup NACL. Kami haus pendampingan, ingin diskusi, mengajukan pertanyaan yang bergemelut di pikiran. Betapa drastis beda di kelas dan lapangan.

Tapi ketika ditanya, kakak justru menjawab, “tanya saja sama CI-mu.”

Clinical Instructor menimpali, “kamu di sini, ikut aturan sini!” Kelar perkara! Tak ada diskusi, apalagi phone a friend minta bantuan.

Ingat ilmu ikhlas. Senior selalu benar.

Kenapa harus perawat jika ingin berangkat siang, pulang awal? Katanya cinta profesi sampai mati, mengabdi sepenuh hati, masalah waktu saja runyam bukan kepalang, apalagi slip gaji yang tak sesuai harga susu yang kena inflasi.

Diajak ikut seminar alasannya bertumpuk seperti makalah. Tapi ketika ada celetuk protes gaji, langsung berdiri, paling lantang, memprovokasi. Parahnya, mengintimidasi mereka yang sudah terima apa adanya. Tak sehati, katanya.

Tak ada kampus yang memaksa lulusan harus sesuai bidangnya. Bidan jadi pegawai bank, monggo. Perawat jadi presiden ya silakan. Tak harus merawat pasien jika memang hati tak di sana. Bukankah pembukaan UUD 45 jelas tertera, “kebebasan adalah hak segala bangsa.” Ya monggo saja jika tak ingin jadi perawat yang katanya dianaktirikan Ibu Pertiwi. Masih banyak profesi lain yang mendapat porsi lebih sesuai dengan harga tas branded incaran kakak itu.

Mengkhianati profesi? Tunggu dulu.

Jika ingin mencari peruntungan lain, apa salahnya?

Mengkhianati janji itu jika keluhan lebih panjang dari senyuman. Bekerja semau hati. Inginnya pilih pasien yang enak dan mudah diatur saja, sekalinya memegang pasien gawat langsung protes ke yang bagi jatah. Pakai marah-marah pulak. Dikira kagak stress apa ngebagi pasien sesuai kemampuan tiap perawat?

Katanya malaikat tanpa sayap. Selalu semangat jika diingatkan akhirat. Tapi lesu dengan masa depan yang tak menentu. Merutuki nasib yang masih stuck di situ-situ.

Ingat ilmu ikhlas, Allah Maha Segala.

Berupaya memajukan profesi ada banyak cara. Termasuk membagi ilmu dengan adek-adek junior yang selalu menunggu sapaan ramah itu. Berdiskusi dengan mereka yang lapar pengetahuan baru. Menuliskan kasus langka di lapangan lalu menularkannya agar tak ada lagi mis-understanding antar sejawat.

Jikalau perlu, berkumpullah membangkitkan semangat kawan seperjuangan yang mulai lelah berjalan di jalur terjal ini. Agar tak ada yang jatuh lalu hilang dari hingar bingar. Bukan justru disalahkan karna murtad pada profesi. Mereka layak hidup lebih pantas dengan pilihannya, lho. Dia banting setir, kenapa kakak yang sibuk nyinyir?

Coba tengok lagi, mereka yang berinovasi atau kita yang terkena penyakit hati?

Banyak orang cenderung memilih untuk mengganti pekerjaan, pasangan dan teman-temannya. Tapi tak pernah mempertimbangkan untuk mengubah dirinya sendiri.

Sebelum perbaiki rumah megah ini, pastikan dulu penghuni siap dengan segala konsekuensi. Meski sekadar perbaiki jendela, debunya memenuhi ruang juga. Apalagi jika atap harus diganti, apa sudah siap mengungsi?

Kak, tak harus jadi perawat jika tidak kuat. Cukuplah menjaga profesi ini tetap suci. Seperti penggalan lagu PPNI ini. Bisa nyanyinya gak, Kak?

….
Bangkitlah perawat seluruh Indonesia
Dalam mengemban citra profesi
Menjunjung tinggi kode etik perawatan
Laksanakan panggilan tugas mulia
….

*Violeta
Jeddah, KSA. 4 April 2017. 6.19 am

One Day One Post

Saya tak pernah benar-benar mengerti. Sebuah perkumpulan manusia dengan satu misi. Lucu jika kemudian ada yang bertahan dan tereliminasi. Bu...