Minggu, 30 September 2018

Hamil?!!

Dulu saya kira, nunggu jodoh itu sudah tingkat galau yang paling maha. Lha ya gimana, timeline sosmed isinya nyari jodoh, mana rantauwers pulak. Kan jadi pelik. Saya di mana, si doi ke mana. Kalau salah alamat gimana?

Ceramah ustadz melulu jodoh menjodoh, sampai ikut kajian aja motivasi utama ya karna jodoh. Ilmu dapat, cuci mata juga sikat. Pokoknya mah yang kelihatan sopan, ramah tapi kalem. Haisshh..

Obrolan wanita duapuluhan juga tuitu saja. Si anu udah merit lah. Si lugu udah nimang anak. Si kluwus, lusuh, hobi bikin rusuh dapet istri sholihah. Plus bumbu kekinian, "menikahlah karena agama, bukan cinta. Apalagi harta."

Etapii.. setelah ijab qobul dan sang pangeran kembali ke singgasana di ujung utara Jepang sana, promblema tidak juga hengkang.

Yes. Anak.


Saya tidak terlalu memusingkan perihal ini. Sedikasihnya. Nggak harus yang buru-buru karena kepalang usia. Apalagi iri sama tetangga. Yang anaknya udah dua. Padahal usia sama.

Anak bukan sepak bola, Cin. Diadu dan dilombakan hanya karna ego dan malu.

Tapi saya serius sebal. Karena gegara ini,  mual muntah yang saya alami jadi tanda tanya besar.

"Udah nikah, Mbak?" Dokter IGD menganamnesa.

"Sudah, Dok. Tapi jarak jauh. Udah lebih sebulan gak ketemu. Bukan. Gak mungkin."

Oke. Sampai sini sudah ngeh-kan arah ke mana?

Dan ya, meski akhirnya harus piknik di ruang rawat inap karena diagnosa sepele, saudara dan pembesuk tak bisa berhenti berkelakar, "alaahhh.. Nganten anyar.. Palingan positif. Udah cek belum?"

Mual muntah memang patokan morning sickness. Tapi tidak semua mual mengarah ke sana kan?

Keracunan, maag, hipoglikemi, hiperglikemi, bahkan typhus pun gejalanya mual, lho.

Dan pertanyaan, "Kalau jauh-jauhan gitu nanti gimana punya anak?"

Saya masih tidak habis pikir, apakah menikah selalu bertujuan utama untuk punya anak secepat-cepatnya dan dalam tempo sesingkat-singkatnya? Kalau perlu habis salaman, langsung 'isi'.

Bagaimana dengan saling memahami? Mengenal satu sama lain. Belajar mengelola emosi, sampai mengubah kata aku menjadi kita.

Padahal komitmen tak bisa ditukar dengan setangkai tulip dan janji meminang saat sudah cukup tabungan, nyatanya, usaha masih segitu-gitu aja.

Saya jadi paham. Kenapa modal nikah tak hanya sebatas haha hihi bersama. Karena setelahnya, bukan lagi tentang beli gamis model terbaru. Tapi gimana caranya tampil oke tapi tetep bisa nabung.

Bukan lagi nglayap sendirian ke bioskop, nyalon, di toko buku berjam-jam. Tapi gimana caranya bisa nemenin suami. Meski saat dia belajar khusyuk di sana, saya malah asik nonton film di rumah.

Kita tak pernah sempurna. Jelas. Bahkan menyamai kesempurnaan pun, rasanya tak pantas. Tapi membiarkan kehidupan berjalan sesuai zona waktu akan membuat hati tenang dengan segala kejutannya.

Kalau kata dr.Ema yang lagi hits dengan 'Kenapa nikah muda?'-nya, "saat sudah nikah, masalah ekonomi, anak, bersosial, perbedaan budaya antar keluarga, bahkan tentang pekerjaan kedua pasangan, lebih runyam daripada galaunya nungguin jodoh."

Jadi plis, jangan pengen nikah cuma biar ada yang masakin dan ngerapiin rumah. Atau pas nyuapin bisa nyuri nyium keningnya.

Owallah bro-sis, itu mah depan kamera doang. Tahan bapernya. Nggak tau kan gimana geroginya tiap ketemu mertua? Apalagi kalau tak sejalan dan ada perbedaan kasta.

Cinta itu anugrah. Maka jadilah pribadi yang luar biasa, dan berikan hatimu yang paling istimewa.

Saya toh terbukti negatif karena tamu bulanan menjenguk di hari kedua opname. Ffiuhh... lega. Kecaman terpatahkan.

Konon, mual dan diare karena kopi yang saya minum sehari sebelumnya. Ditambah sepotong kelelahan dan setangkup kehujanan. Haa... jian. Meriang kok ndadak jadi pasien.

Jodoh, menikah, punya anak, bahkan mati, telah tertulis di lawh mahfudz, lalu untuk apa meratapi nasib yang berjalan tak sesuai kehendak hati?

Berbahagia pada apapun yang terjadi membuat kita lebih bersyukur dengan segala rencana Ilahi.

*Violeta
Semarang, 18 November 2017. 5.32 pm

Sabtu, 29 September 2018

Sulitnya ke Jepang!

"Maaf, delay 2 jam bla bla bla...," petugas maskapai woro-woro. Uhhm, baiklah, mari kita bobok cantik di Bandara Ahmad Yani Semarang. Tentu setelah diberi satu botol air mineral dan roti O sebagai ganti rugi.

Jam 11 siang, suara mbak imut mengaung lagi, "Maaf, karena turbin pesawat bermasalah, maka ada pergantian pesawat. Akan diberangkatkan jam tujuh be bla bla bla.." hah!! Jam berapa tadi?!

Belum sempat saya mencerna kalimat, situasi sudah caos. Turis india berteriak protes. Ibu-ibu maju ke depan podium, mengambil alih mic, the power of emak keluar. Bapak-bapak mengacung-acung jari, muntah sumpah serapah.

Di belakang lebih parah lagi. 2 petugas dikeroyok massa yang minta pertanggungjawaban. Dari cancel, refund, hingga caci maki menggebrak meja. Saya masih celingukan, dari mahasiswa di sebelah, dengar kalau delay sampai jam 12.20 siang. Loh, mundur 1 jam kok sampai kisruh?

Di antara hiruk pikuk international waiting room mbak imut teriak, "TUJUH BELAS DUA PULUH! SETENGAH ENAM SORE!!"

Hahh!! Jadwal terbang jam 9 pagi bisa mundur 8 jam begitu! Istigfar.. istigfar..

Langsung menghubungi kelurga dan Mbak Dewi yang sudah janjian di Kuala Lumpur International Airport. Memintanya pulang saja.

Setelah suasana mendingin, saya minta kejelasan karena penerbangan selanjutnya berjarak 2,5 jam, karena toh di Malaysia hanya transit. Petugas meminta saya mengajukan surat delay di customer service. Kalau-kalau tertinggal pesawat. Mereka bisa memasukkan saya ke pesawat esoknya, gratis.

Dan ya, saya tak mau ribut. Bersyukur malah, kerusakan turbin terdeteksi di awal. Ga kebayang kalau kipasnya tiba-tiba mati saat melintas laut. Ambyaarr!!

Pula tak mau berada di ruang itu lebih lama. Setelah ke CS, saya pamit pulang. Oh ya, buat kalian yang mau meninggalkan bandara, lapor saja ke petugas. Mereka akan mencatat data diri, no hp dan nomer tiket. Kalau ada perubahan jadwal, akan dihubungi.

Lalu minta surat delay bagi connecting flight dan yang punya travel insurance. Saya juga check in tiket Malaysia - Jepang di Semarang, sayang untuk bagasi harus tetap keluar di Kuala Lumpur karena tidak booking connecting flight.

Nah, masalahnya, saya hanya punya waktu 1 jam untuk keluar imigrasi, antri bagasi, dan check in ulang. Saya belum pernah ke Malaysia, otomatis tak paham rutenya. Tapi mengingat dulu pernah ditahan imigrasi Jeddah 3 jam dan nyasar di Bandara Paris membuat kepala berkedut.

Dari petugas maskapai, menjelaskan dengan bijak dan lembut, bahwa, saya HARUS LARI KARENA KUALA LUMPUR AIRPORT BESAARR SEKALI!! Butuh setidaknya 30 menit untuk sampai di imigrasi. 30 menit untuk antri bagasi. Lalu 15 menit menuju check in counter di lantai tiga.

Pesan yang sangat mengharukan. Langsung lemass!! Pie nek aku kesandung trus gulung-gulung, check in udah ditutup, pesawat ke jepang udah lepas landass?!

Oke, baiklah, tarik napas (sambil mewek). Kalau seumpama telat, atau ditahan imigrasi, toh sudah punya boarding pass ke Jepang (saya aja tapi, kopernya belum).

Kemungkinan pertama, koper dibuang di Malaysia, saya terbang sendiri. Kedua, saya dan koper sama-sama dibuang di Malaysia. Ketiga, saya masuk di roda pesawat biar ga ketahuan ga punya tiket bagasi. Keempat, pulang dengan lapang dada trus nonton doraemon sampai mabok.

Sungguh pilihan yang sangat waras.

Di pesawat Semarang - Kuala Lumpur, buka Quran, baca yassin. Mengikhlaskan ditinggal pesawat ke Jepang ternyata tidak mudah. Tapi jika itu kehendak Pemilik Rencana, manusia bisa apa?

Semarang mulai hilang dari kejauhan, perlahan tertutup awan, diganti pekat tumpukan mendung di atas Laut Jawa. Pesawat berguncang. Saya sesegukan.

21.40 pesawat mendarat di KLIA 2. Jam 22.30 konter check in tutup. Waktu saya hanya 50 menit. Ya Robbiii!!! Tubuh bergetar hebat. Bagaimana kalau gagal?!

Pramugara syok saat tahu posisi saya. "Jauh! Tau ke bandara ni besar? Tak ade waktu!"

Uhh, baiklah, siapkan kuda-kuda, posisikan ransel 8 kilo di punggung dan tas selempang di pundak 2 kilo, lariiiii!!!

Gedungnya serius besar. Mirip Bandara Dubai, banyak tikungan, berkelok-kelok lorong, sayang tak ada waktu mandangin furniture, karpet warna-warni dan hiasan dinding. Kecuali papan arah menuju bagasi.

Lari, naik eskalator, lari, celingak celinguk, lari, turun eskalator, lari lagi, lihat pesawat take off, lari lagi, nangis, lari lagi, nangis lagi, lagi dan lagi. Kok gak nyampe nyampe siih!!!

Setelah napas satu dua, sampailah di gerbang imigrasi. Huahhh... jantung melorot ke perut. Sisa 30 menit!! Kyakkk!!

Imigrasi terlewati, dengan pesan si bapak yang aduhai, "Lain kali ambil connecting flight. Tak taulah dapat tak ko kejar pesawatnye. Menurut saye sih tak, lari saje. Besar kali tempat ni."

Hiks, optimis kali si bapak. Tak tau apa dari tadi juga lari sampe sakit kaki ni. Punggung nyut-nyut pulak, kaya gendong Upin Ipin. Nyeret koper 19 kilo. Pontang panting lihat tanda arah. Nyalip orang-orang lalu lalang. Sampai teriakin orang Jepang biar bukain lift-nya lagi.

Tapi syukurlah, bisa check in 15 menit sebelum ditutup. Engap. Lemas. Pasrah. Cuma duduk 10 menit di waiting room di gate P8 sebelum petugas ganteng teriak, "Boarding!! Boarding!!"

Mata saya basah, lagi. Hati mencelos. Alhamdulillah tak harus membuang koper, atau yang paling naas, menclok di roda pesawat.


Perjalanan itu jelas lebih berharga, dari pada naik pesawat pribadi. Karena di mulut tak lepas dengan dzikir, pikiran terkoneksi pada Yang Kuasa.

Banyak yang melihat keberuntungan. Melirik yang menyenangkan. Kalimat, "Enak banget sih di Jepang, Mbak!" Rasanya hanya akan tertahan di kerongkongan kalau tau perjalanan ke sini bertaruh mati.

Saya, bisa saja menggelandang di Malaysia, jadi TKW ilegal, ditangkap polisi karena tak ada ongkos. Saya, bisa saja dimakan hiu jika turbin pesawat ngambek di atas udara. Pulang tinggal nama.

Percayalah, semua ada prosesnya. Pun saat bertemu suami di gerbang kedatangan Bandara Chitose, Hokkaido. Langsung speechless.

Terima kasih pada Pemilik Semesta, mengizinkan kami bersua. Keluarga yang tidak henti berdoa atas perjalanan menegangkan saya. Suami yang menunggu berjam-jam di bandara, nyaris hopeless kalau saya kena random check dan di deportasi karena tak kunjung keluar.

Dan Airasia yang memberikan pengalaman warbiyazah. Bagaimanapun, saya salut dengan profesionalitas dan tanggung jawab pada penumpang. Paket Mcdonald's untuk ganti rugi saya santap di langit Osaka.

Jepang, mari kita rayakan. Sulitnya terbayarkan.

Ternyata, berdiri dengan tangan digenggam suami di bawah guyuran salju itu kebahagiaan yang tak terlukiskan, dingin, tapi hangat. Seperti didekap milyaran malaikat mungil bersayap putih. Menggetarkan.

Long distance marriage selalu indah saat kita tahu, home is where the heart is.

Karena tak ada yang salah dengan perpisahan, saat masing-masing dari kita percaya, akan selalu ada waktu untuk bertemu. Meski tidak mudah, meski penuh rintang. Tapi bersama, semua terasa istimewa.

*Violeta
Sapporo, Jepang, 22 Januari 2018. 10.30 am. Diantara salju, dan cintaMu.

Kamis, 27 September 2018

Jepang dan Budaya Malunya

Di SMAN 2 Semarang saat saya sekolah dulu, ada club bergengsi. Lupa namanya, tapi ekstrakulikuler ini berisi orang-orang pecinta apapun yang berasal dari Negara Jepang. Saban bulan ada saja kegiatan. Dari nonton bareng anime sampai menggelar event costplay. Biasanya, bergilir tiap sekolah di Semarang.

Sekali waktu saya datang, karena memang diajak. Bukannya excited seperti yang lain, saya malah bengong. Kok ya mereka mau berdandan, ngecat rambut sampai beli kostum ratusan ribu cuma buat foto-foto?

Acaranya loh rame di lapangan sekolah yang sudah disulap sedemikian rupa. Seperti karnaval tapi ala-ala anime. All-out, badan dicat putih, bawa pedang panjang besar, yang ternyata buat sendiri dari kardus. Ada yang jadi monster, putri, macam-macam. Sepertinya sekarang masih ada kan ya?

Saat sudah di Jepang, saya tak hanya bengong, tapi beneran syok.


Tidak hanya di jalanan, di depan toko, tapi juga di TV. Itu orang-orang berdandan layaknya anime. Dari acara anak-anak sampai berita harian. Dari perkenalan sampai promo. Padahal animenya juga baru akan rilis tahun depan.

Sekarang, anak-anak Jepang sedang dijejali dengan ‘Anpan-man’. Superhero yang berasal dari roti Anpan (bacanya: angpang). Jadi, di mana-mana ya isinya ini. Dari supermarket, souvenir, sampai bantal. Alasannya jelas, agar anak-anak lebih akrab makan roti. Jenius, kan?  

Nah, budaya inilah yang membuat saya kadang ngangguk-ngangguk lemah. Cara mereka menyajikan kebaikan menjadi sangat akrab dengan pendekatan persusif yang personal. Seperti, kita banget!!

Di kereta misalnya, ga ada loh yang mengobrol. Semua diam, sepi, dan senyap. Bahkan suara dering telepon saja tak ada. Saya dan mamas, kalau lagi naik kereta ya gitu. Langsung diem-dieman. Paling ngasih kode dengan tangan, kalau kita turun di stasiun depan.

Nah kalau ada telepon gimana? Jarang sih ada yang teleponan sampai ngakak. Mereka salalu memojok di sudut stasiun. Mepet tembok. Menjauhi kerumunan. Ngobrol bisik-bisik. Alasannya: malu!

Jalanan selalu bersih. Tidak ada sampah meski tidak ada tong sampah, dan tentu saja tidak ada tulisan:“Yang Membuang Sampah Di sini Orang Gila.” Alasannya: malu!

Setelah makan di food court, harus dan wajib menggembalikan piring dengan nampannya ke tempat membeli makanan. Plus melap sampai bersih meja yang telah dipakai. Jadilah, tidak ada petugas kebersihan karena semua bertanggungjawab dengan makanan masing-masing. Bahkan kalau ada makanan tercecer di bawah meja, mereka akan memungut itu, dan dilap. Alasannya: malu!

Malu, malu, dan malu!

Ini yang jelas membuat saya malu-maluin.

Kok bisa kalau costplay saja semua ditransformasi. Pokoknya harus mirip banget sama karakternya. Tapi uhh, tempatnya berserakan sampah. Botol-botol kosong diletakkan semaunya. Bahkan tumpahannya pun yasudah, dibiarkan becek. Si anu, malah ngobrol teriak-teriak.

Ya mungkin itu dulu, saat saya datang. Bisa jadi sekarang sudah tertib. sudah bersih dan santun meski dengan kostum monster.

Jadi rasanya kalau ada yang bilang, ingin umroh, mesti kan sikap kaya udah umroh. Yang agamis. Latihan berbaju tertutup, berkata halus dan sopan. Banyak-banyak mengucap shalawat.

Nah, ya sama, sebenarnya, jika kita ingin mendatangi suatu negara, atau menyukai negara tersebut, tak cuma bilang, “ingin ahh ke Jepang.” Tapi buang sampah aja masih seenaknya. Nyebrang jalan masih liar. Mainan klakson kaya jalan punya neneknya. Di jepang, saya jarang sekali mendengar klakson.

Mereka, diajarkan sedari kecil untuk tidak mengganggu. Selalu menghormati pengguna jalan yang lain. Berharap dapat melayani meski pada orang asing. Berusaha membuat orang yang akan menggunakan meja bekas kita makan akan nyaman. Hingga agar penumpang kereta dapat tidur setelah lelah bekerja membuat mereka malu untuk melanggar budaya.

Iya, budaya. Bukan lagi peraturan. Karena ketika kebiasaan telah membudaya, maka tak perlu lagi ada peraturan.

Kan tidak ada peraturan daerah yang tertulis juga to kalau tidak boleh menyembelih sapi di Kudus? Tapi ya bertahan berabad-abad, tuh.

Maka tak harus menjadi warga negara orang dulu untuk mengaplikasikan kebaikan. Kita hanya harus dapat mengambil nilai positif dan menerapkannya sekarang. Berasal dari yang paling sederhana: diri sendiri.

Saat belanja sendirian di supermarket, ada nenek-nenek menabrak troli saya, karena memang saat itu pengunjung padat sekali. Cuma nyenggol sedikit, ga sampai berguling tuh troli, tapi si nenek bilang, “Gomennasai,” (maaf) sampai 2 kali. Sambil bungkuk sempurna, 2-3 detik. Membuat tubuh pendeknya makin pendek seperti rukuk tepat di depan saya.

Tubuh saya kaku. Raut wajahnya yang penuh penyesalan membuat saya malu. Ahh, betapa banyak yang harus saya pelajari dari negara ini.

*Violeta
5 Maret 2018

Wedding Airlines

Saat bekerja di Arab Saudi, saya sudah mengirim CV ke beberapa lembaga, termasuk Malaysia, Australia, dan Amerika. Beberapa mewajibkan pelatihan menyetaraan ilmu dan bahasa. Beberapa langsung diterima karena pengalaman kerja. Rencana lainnya, kuliah, tentu saja.

Tapi ternyata ada hal yang mengharuskan meninggalkan semua berkas dan email-email itu. Sampai sekarang email dari USA masih sering masuk. Dari seminar hingga hiring.

Saya hanya mampu menarik napas panjang. Lebih dalam. Sampai menusuk tiap gelembung paru. Saat tawaran menambah kontrak kerja, perpanjangan visa Schengen dan gaji 2 kali lipat, datang.

Sebagai seorang yang terlahir di keluarga biasa, berada di Eropa adalah impian terakhir. Sudah didapat. Benar-benar digenggaman. Yang saya lakukan? Resign.

Ketika orang-orang bersuka cita di depan menara Eiffel, saya meredam ngilu di dada. Saat turis-turis berebut mengambil foto lukisan Monalisa, mata saya nanar bergemuruh lara.

Memilih antara karier dan pernikahan ternyata tak semudah teriakan mereka tentang manfaat menikah muda. Ada yang harus dilepaskan. Bukan tentang lajang, lebih dari itu. Saya belum siap.

Seatbelt kursi pesawat Emirates jurusan Saudi-Dubai-Jakarta sudah dikencangka. Tak ada yang menggembirakan meski pesawat 2 lantai itu memberi kenyamanan ekstra dengan TV layar jernih, bantal, selimut, dan kudapan istimewa. Bagi saya, burung besi itu seperti Dementor yang menghisap rasa bahagia dengan buas dan tanpa ampun. Membawanya pergi. Jauh. Menyisakan ampas yang akan dicabut paksa.

Setahun berlalu, kepulangan ke Indonesia seminggu lalu memberi ‘rasa’ yang sama. Retakan di luka lama. Sengaja hanya membawa seperlunya. Tak ada baju. Tanpa buku. Karena yakin, nanti pasti kembali lagi ke ‘rumah’.

Sejak mamas selalu ada meringankan beban di pundak. Menghapus air mata. Mengubahnya menjadi derai tawa. Sejak itu saya tahu, ‘rumah’ adalah tentangnya.

Pesawat jurusan Chitose-Kuala Lumpur mulai lepas landas, melipat roda, menembus kapas putih mengambang. Melalui jendela oval, saya menerawang jauh, melintasi Troposfer, berkelana di Stratosfer, hingga mamatung di Eksosfer.

Aahh, saya jatuhkan punggung di sandaran kursi. Pernikahan sejatinya seperti pesawat ini, Sayang. Mencoba mengelus diri sendiri.

Mencari jodoh adalah saat mencari tiket. Maskapai mana yang cocok, waktunya pas, dan kelas sesuai kantong. Masa menemukan dan ditemukan

Lamaran adalah saat membeli tiket. Sudah merasa klik, tapi belum pasti terbang atau tidak. Ditukar, di-pending atau lanjut.

Akad adalah ketika ada persetujuan kedua belah pihak, proses check in. Tiket boarding pass sudah benar-benar di tangan. Sah dimiliki atas nama sendiri.

Selanjutnya, pernikahan itu tentang menaiki pesawat. Yang bergetar saat akan memulai perjalanan. Menghunus barisan awan dengan kekuatan penuh, membuat siapapun yang baru mengalami pertama kali bergidik ngeri. Berpegangan erat di sisi kursi. Tapi jika sudah terbiasa, santai saja mau makan, minum dan mengobrol santai. Tanpa peduli, daratan tak tampak lagi.

Belum tercapainya mimpi-mimpi saya dulu menjadi trigger tak terelakkan di awal pernikahan. Julangan Eiffel yang justru terasa bengis. Dan panggung pengantin seperti monster yang siap menerkam.

Tapi, tunggu, pasangan itu bukan tentang penumpang, kan?

Suami istri itu, seperti pilot dan co-pilot, Sayang. Saya menepuk-nepuk bahu sendiri.

Saling melengkapi. Membantu. Mengisi. Bersinergi membawa ‘Wedding Airlines’ terbang menuju tujuan. Tak bisa salah satu. Harus berdua. Harus. Bagaimanapun, suami-istri adalah partner sepanjang usia.

Sekarang saya mengerti bahwa, kita tak bisa menjadikan kemauan sendiri menjadi dasar mutlak untuk melakukan sesuatu. Ada hal-hal yang memang harus dibicarakan berdua. Didiskusikan. Jika ada yang harus disingkirkan. Bukan berarti tak baik, hanya saja, belum tepat waktunya dilakukan.

“A great marriage is not when a ‘perfect couple’ comes together. It is when imperfect couple learns to enjoy the differences.”

Ada banyak perbedaan, pasti. Tapi dari sana kami belajar menyelami pribadi masing-masing. Bukan pasangan sempurna, jelas, tapi karena itu berusaha untuk tak menyakiti. Akan selalu ada masalah menghampiri, seperti turbulensi yang datang tak tahu diri, tapi dengan saling percaya, apapun dapat dilalaui. Tak selalu bisa bersama, tapi bukankah itu yang membuat setiap pertemuan menjadi istimewa?

Menanti dia dengan jantung berdegup kencang di depan pintu kedatangan penumpang?

Pernikahan bukan tentang maskapai apa yang kita naiki, Sayang. Sebesar apa kabin dan baling-balingnya. Bukan pula tentang empuk kursi dan hangat selimutnya. Tapi tentang selalu mendukung, mendoakan, dan jatuh cinta berkali-kali pada orang yang sama.  

Terima kasih atas rangkaian bunga yang dibawa saat pulang kerja. Atas pengertian bahwa terkadang emosi wanita tak bisa ditawan lama-lama. Paham bahwa menulis seperti ini tak semudah mengucurkan isi teko dalam gelas porselen bertulis nama kita.

Jika dengan bercerita padamu berhasil mengurai peliknya pikiran, untuk apa kertas kosong yang justru membuat kata terjerat di titik buntu?

Ahh, ya, ini pula yang menjadi alasan kenapa undangan, pelaminan, dan pernak-perniknya bernuansa pesawat. Biar ingat kalau nikah itu tidak sekedar menikmati pemandangan, tetapi juga bersiap-siap kalau tetiba oleng dan awan gelap menghadap. Tapi, tenang, akan ada banyak harapan, lebih dari sekedar kemungkinan.

“Marriage is for life, not just the wedding day.”

*Marintha Violeta
27 September 2018

Rabu, 26 September 2018

Perawat Membedah Kepala Berani, Tapi Takut Keluar Negeri?

Selama 1,5 tahun berada di Arab Saudi, mengira hanya saya yang menjadi perawat private, ternyata di luar sana banyak juga yang senasib begini. Tersebar di kota-kota Arab Saudi. Sayangnya, belum banyak yang show up ke media atau terang-terangan menceritakan pengalamannya. Jadi sudah tentu informasi tentang private homecare di Arab Saudi itu langka.

Jika mencari di google, kebanyakan tentang lowongan kerja. Tapi cerita suka dukanya, duhh, limited bahkan tidak ada. Saya sendiri mencari informasi dari si A dan si B lalu disalurkan ke si C.

Padahal, penyakit semakin beragam dan tingkatannya menurun. Usia 30an tahun saja sudah banyak yang mengidap diabetes, jantung dan kanker. Bagi mereka yang tak ingin dirawat di rumah sakit selama berbulan-bulan, menghabiskan puluhan hingga ratusan juta karena harus sewa kamar, perawat homecare solusinya!

Sayangnya, jenis lowongan ini jarang sekali dilirik pasar. Perawat inginnya bekerja di rumah sakit mentereng dengan posisi gemilang. Mungkin itu sebab surat lamaran ke RS besar menumpuk tak terkira. Kata teman yang bekerja di RS terkemuka, tidak semua surat lamaran kerja terbaca. Karena bisa jadi loker hanya 20 perawat, tapi yang masuk hampir 800 map lamaran kerja.

“Mana ada waktu kita baca CV satu-satu, Vii?” katanya getir.

“Terus nasib sisanya gimana?”

“Kemarin aku baru bakar 300an map lamaran perawat. Duhh, rasanya ngeri. Tapi mau gimana lagi?” Dia menggigit bibir. Antara bersalah dan tak ada pilihan.

Ngeri! Iya, ngeri, jadi rasional sekali jika hampir 20an surat lamaran yang saya kirim ke RS besar tak ada satu pun yang berujung panggilan. Berjamaah hilang tanpa jejak.

Ketika di kampus, kami juga tak memiliki banyak pandangan. Bayangkan, hampir 1 angkatan mengejar posisi di RS yang sama. Padahal kursinya tak seberapa. Teman menjadi lawan, berlomba habis-habisan.

Bahkan ada yang diam-diam menghanyutkan. Diam saja kalau RS A ada lowongan, tahu-tahunya sudah diterima. Cengengesan saat ditodong, “kok nggak ngabarin sih kalau di sana ada bukaan?” Yang lain, merengut kecolongan.

Sedih sih, tapi ya gimana. Mungkin memang nasibnya. Kalau orang jawa bilangnya ‘bejo-bejonan’.

Ada pula yang rela menganggur berbulan-bulan. Demi diterima di RS terkenal. Tak apalah ongkang-ongkang dulu, yang penting nanti bisa kerja di RS internasional dekat rumah.

Ini serius, ketika saya mengirim lamaran ke Bandung, saya coba mengajak teman-teman untuk melamar di sana. Tapi jawabannya hampir sama, “JAUH!” Duh, padahal masih di Pulau Jawa juga.

Jadi sekarang kalau saya ajak hijrah keluar negeri, jawabannya lebih dramatis, “GILA LO, VII!! ITU JAUUHHHH BIANGGEETTT,” sambil teriak heboh kaya mau diajak ke akhirat. Padahal ya masih di bumi yang sama.

Ajakan saya sebenarnya bukan tanpa alasan. Tidak mungkin saya menawari mereka yang sudah memiliki posisi mapan. Justru tak tega dengan sejawat yang keluhkan gaji segini, perlakuan begitu. Tidak sesuai dan sering terdzolimi, katanya. Waktu diajak kerja sambil umroh gratis plus bisa haji, alasannya bejibun ribuan.

Saya harus bantu bagaimana lagi?

Mendoakan agar segera diberi jalan keluar?

Baiklah, akan saya ceritakan 2 kisah yang beberapa hari ini mengganggu pikiran. Ini kisah sahabat sendiri. Nyata. Bukan bualan. Apalagi hoax.

2 orang ini nitip doa jodoh. Minta dibacakan saat umroh. Karena keduanya sama-sama single dan sudah berumur matang. Akhirnya saya bacakan, dengan niat, doa dan di tempat yang sama. Dibaca berulang-ulang.

Awal bulan ini, 1 sahabat mengabarkan jika bulan depan akan menikah. Saya kaget! Secepat itu? Iya, dia juga kaget. Tapi kemudian bercerita segala prosesnya. Dari mendekati orang tua, proses ta’aruf, lamaran, hingga persiapan-persiapan detail seperti membaca buku-buku seputar pernikahan dan kiat-kiat menjadi keluarga yang samawa.

Sahabat satunya. Benar-benar tak ada kabar. Jangankan pernikahan, dekat dengan siapa saja tak ada. Setelah saya tanya, ternyata tak pernah ke mana-mana. Jangankan memperbaiki diri, bersosialisasi saja tak mau, apalagi membuat CV taaruf atau bertemu kyai minta dikenalkan. Ya bagaimana mau ketemu jodohnya?

Saya selalu percaya kekuatan doa, tapi tanpa usaha, doa kita hanya tertimbun di awan-awan, entah kapan dijatuhkan. Usaha itu bentuk dari ikhtiar. Melakukan upaya seoptimal mungkin. Benar-benar sampai mentok mepet tembok. Setelah itu baru tawakal.

“Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Jumu’ah: 10)

Jadi teman, cobalah untuk membuka pintu selebar-lebarnya. Keluarlah mencari kesempatan. Ambil peluang yang memang tersaji di depan mata. Genggam resiko dengan keyakinan untuk maju, tumbuh besar dan mendekat pada kuasa Allah. Tanah kita bercocoktanam itu seluas muka bumi. Jika rezeki belum kelihatan hilalnya di sana, bisa jadi tertumpuk di sini.

Beranilah mengekspresikan diri di mana pun dan kapan pun. Let other people chase you by doing something phenomenal! Jangan sampai ketakutan justru mengkerdilkan kemampuan diri. Membedah kepala dan mengeluarkan otak manusia saja berani, masa keluar negeri tidak bernyali?

Jika Arab Saudi dirasa terlalu jauh, bisa pilih Singapura yang sedang menanti ekspansi perawat-perawat pemberani.

Semoga kita tidak menjadi manusia instan yang mau mudahnya saja. Tapi menjadi manusia intan yang sukses karena berproses. Bertahan dari dahsyatnya pembakaran perut bumi. Lalu keluar menjadi pribadi yang bersinar terang.

‘Irak bin Malik radhiyallohu ‘anhu pergi dan berdiri di depan pintu masjid ketika selesai shalat Jum’at, memanjatkan do’a, “Ya Allah, saya telah memenuhi panggilan-Mu, menunaikan kewajiban-Mu dan bertebaran (untuk mencari karunia-Mu), sebagaimana yang Engkau perintahkan kepadaku, maka limpahkanlah karunia-Mu kepadaku karena Engkau-lah sebaik-baik Pemberi rizki.” Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.

*Violeta
Jeddah, KSA. 16 Februari 2017. 09.05 pm

Selasa, 25 September 2018

Keajaiban Doa di Ujung Nyawa

Usianya 11 tahun, tertidur lelap di ranjang ruang ICU. Dokter mendiagnosa hidupnya tidak lama. Beberapa bulan, atau hanya hitungan hari. Pasangan muda itu membawanya ke beberapa rumah sakit ternama di sekitar Jakarta dan Jawa Barat.
Tak ada perbaikan hingga berbulan-bulan. Bahkan penyakit pastinya tidak diketahui. Tiba-tiba organ dalamnya tak berfungsi baik. Sakit yang sudah menjalar ke mana-mana. Jantung, paru, ginjal, hati: buruk. Sangat buruk! Hingga memutuskan dirujuk ke rumah sakit kami atas permintaan keluarga. Setelah berpindah belasan rumah sakit, tentunya.
Beberapa kali saya mendapat kesempatan menjaga anak ini. Hal yang membuat tak mampu menahan haru ketika ibunya, dengan kerudung lebar dan senyum melengkung, meminta ijin membimbing anaknya shalat.


Setelah bertayamum, saya bantu menutup tubuhnya dengan selimut. Termasuk menutup rambutnya dengan syal, terkadang selimut tipis.
"Nak, kita shalat maghrib dan isya, ya," kata sang ibu sambil duduk di samping tempat tidur anak itu. Seperti yang biasa ia lakukan. Jam besuk siang untuk shalat subuh dan dhuhur. Sedang jam besuk sore untuk shalat ashar, maghrib dan isya.
Saya keluar ruangan. Memerhatikan dari bilik jendela. Tak mampu menahan air di kelopak. Lihatlah, belalai napas dan juntaian selang-selang itu menjadi saksi. 8 infus itu tak lepas memandangi. Mesin-mesin yang berbunyi itu turut pula mengakui. Di dalam tidur lelapnya, tubuh mungil itu sedang shalat. Setiap napas yang di dorong mesin, ia bergumam. Menyebut namaNya. Melantunkan doa tanpa suara.
"Saya tidak ingin menangis di depannya, Suster. Saya yakin dia kuat. Allah sedang mendekapnya," sahut pemilik wajah teduh itu ketika saya katakan, "Ibu tabah sekali."
Bayangkan, berbulan-bulan buah hatinya berjuang melawan sakit yang entah bermula dari mana. Hanya tergeletak lemah tak berdaya. Wajah pucat dengan mata tertutup rapat. Hingga berminggu-minggu kemudian. Rutinitas itu selalu dilakukan. Shalat bersama ibu. Ayah membaca Al-Qur'an setelahnya. Bahkan kami memberi waktu membimbing shalat di luar jam besuk jika si ibu tak sempat karena mengurus penjenguk yang ramai.
Dan, hal mustahil itu datang. Vonis puluhan dokter terpatahkan. Gadis itu menggerakkan jemarinya. Membuka mata bulatnya. Berbinar-binar. Bercahaya. Selang napas di mulut dilepas. Senyumnya seketika merekah. Selayak mawar segar di pagi yang cerah.
Semuanya membaik. Benar-benar semuanya! Hasil laboratorium, foto rontgen paru dan CT scan kepala memberikan hasil yang mengejutkan. Saat kami memberi tahu keluarga, ibu itu memeluk saya dengan derai air mata. Tangis pertama di depan putrinya. Sang ayah memeluk dokter dengan ratap syukur tak terhingga. Kebahagiaan buncah saat itu juga. Gadis itu berangsur-angsur pulih dan sehat seperti semula. Tapi, bagaimana bisa?
Kejadian ini terjadi 2 tahun yang lalu. Tapi masih mampu merasakan energi doa itu. Ketika masalah tak henti menerjang setiap hari, membanting ke inti bumi, saya hanya menutup mata. Membayangkan seorang ibu menuntun shalat gadis kecilnya. Dan sepersekian detik kemudian, tungku semangat terbakar. Allah bersama kita. Kita yang percaya akan kuasaNya. Menyembuhkan saja mampu, apalagi menyelesaikan segala masalah manusia? Ketika membuka mata, tak terasa, air menganak sungai di pipi.

#odopbatch_6
#tantangan3
#fiksi

Nonton Bule Mancing di Spanyol

Mancing, adalah ujian keimanan. Bagaimana tidak, jika sepanjang menunggui umpan dicaplok ikan, saking lamanya, saya malah mengumpati cacing yang kloget-kloget di keranjang. Apes bener nasibmu to, Cing Cacing! Sampai cetol aja ga minat.

Tapi kali ini beda, saat olahraga napas di tepi Pantano Nuevo del Angel, atau Danau Baru Malaikat di kawasan Andalusia, perbukitan Marbella, Spanyol. Jalan-jalan sambil nyari jajan. Ya kali ada tukang cilok manggrok. Malah teralihkan oleh dua bule yang lagi mancing. Tapi ndak sembarang mancing, Bos. Lha pie to. Ada 6 joran yang dilepas dan dikoncer, ditancap ke tanah. Seperti mancing kakap putih di Indonesia. Nah, si empunya malah tiduran di barak. Asoy dengan bantal motif semarak.

   
Saya dan 3 teman dari Philippine jelas terkagum-kagum dengan ketampa... Bukan. Tapi dengan cara mereka mancing.

Lha kok enak. Dulu saya nungguin adek mancing sambil jongkok di pinggiran kolam. Jadi bancaan nyamuk. Dirundung amis dan kepiluan mendalam. Karena sendal baru kinyis-kinyis kecebur kolam. Betapa Tuhan begitu besar menimpakan cobaan pada si Nevada bunga-bunga yang dibeli diskonan.

Padahal cuma nungguin. Ahh, ya bagaimana, saya terlalu imoedz dan swit untuk melempar umpan. Apalagi menyiksa cacing tak berdosa. Tak tega. Pedih melihatnya. Nyeri menyaksikan pembantaian paling kejam, menusuk tubuh kurus, panjang, merah dan kenyal menggemaskan di kail. Lalu melemparkannya dengan penuh ambisi. Berharap ada yang menelan bulat-bulat. Sungguh terlalu!

Apakah ini namanya berkorban untuk mendapat yang lebih besar? Jadi ingat kerelaan mempreteli barbie sambil guling-guling di lantai demi boneka Teddy setinggi kulkas.

Yang menjengkelkan, 3 jam jongkok sampai kesemutan dan kegajahan, blas ga dapat apa-apa. Padahal itu di kolam pancing yang dikelola, lho. Kolam berwarna hijau zamrud tapi tidak bisa dijual di toko perhiasan, dikelilingi pondokan bambu dan jalan kayu. Katanya, banyak gurami, lah, jangankan bayik gurami, ponakannya saja blas ga kelihatan wujudnya.

Saya jadi curiga, ada konspirasi dibalik kolam yang tidak terlihat dasarnya. Bisa jadi isinya batu. Karena terobsesi mengecek kedalamannya, 'air beriak, tanda tak dalam'. Atau biar si penjaga bilang, "Ikannya beli saja, mau dibakarkan juga bisa." Benar-benar merusak kode etik permancingan nusa bangsa tanah air beta.

Balik lagi ke si bule berkacamata. Setengah jam berfoto ria dengan bebek-bebek gemulai, salah satu pancing disambar. Alat pancing bergoyang. Dua bule tarik menarik dengan si sisik yang masih berusaha lari. Kecipak air semakin besar di tengah danau. Tarik. Ulur. Tarik. Ulur. Cantik. Sambil mengibas rambut Syahrini.

Saya yang nonton ikut histeris heboh. 3 teman sudah berlari mendekat. Berharap dapat memberi suntikan semangat di tengah pertarungan hebat. Angin berhembus. Daun-daun beterbangan. Alam menyambut dramatis. Kritis!

5 menit kemudian. Byaakk!!! Ikan besar keluar. Menggelepar. Wuiihhh.. Gede brooo....

Setelah asyik difoto dan ditimbang. Gile, beratnya ada kali 10 kilo. Saya baru ngeh, danau nyempil dibalik villa dihuni makhluk sebohay itu. Kami bertepuk tangan penuh kemenangan. Seperti PSSI yang berhasil masuk Piala Dunia.

Karena hanya saya yang menggunakan kerudung di situ, malulah ya kalau minta foto bareng. Jadilah si akangnya saja yang saya foto. Sebagai bentuk penghargaan atas perjuangannya mancing sambil bobok-bobok ganteng.


Saya tanya itu ikan apa dan mau diapakan, tapi ternyata si akang bule tidak fasih Bahasa Inggris. Luar biasanya, saya nol setengah dalam bahasa Spanyol. Padahal kan lumayan kalau dibakar di situ. Saya bisa ikut icip-icip ikan danau dari negara yang lagi demam Despacito. Selidik punya selidik tapi tidak mendelik, itu ikan karper (Cyprinus caprio) atau ikan mas penghuni air tawar.

Lalu, eh lalu, si akang bule malah turun ke danau. Saya nunjuk-nunjuk ke air. Dianya ngangguk. Ladalah.. Ikannya dilepas!!

Uuuhhh... Saya yang lihat dari daratan kok ya malah ada rasa yang tak terdefinisi menyeruak di relung dada. Sesak. Engap. Gantian, emosi saya yang terpancing. Menggelepar di atas kehampaan dan kehilangan yang pragmantis.

Saya memang tidak begitu naksir mancing. Naksirnya, kamu. Tapi nonton Mancing Mania di TV jadi hiburan tersendiri. Mengisi waktu selow remaja putri anti pegang yang amis-amis. Sebuah penyelamat generasi barbie dengan mengenalkan pada tantangan mancing di tengah badai atau di sungai aliran deras. Sederas gombalanmu yang ujung-ujungnya jadian sama sahabat.

Meskipun bego dalam Tata Negara Permancingan, sama begonya saat nonton 1 bola yang direbutin 24 orang. Dikejar, setelah dapat, ditendang lagi. Sama stupid-nya nonton badminton yang menunggu shuttlecock datang, setelah dekat, di-smash lagi sekuat tenaga. Juga sama gilanya nonton catur yang cuma duduk tapi kegemetaran. Ya, gitu-gitu, tetep saja ga kapok nonton dan jadi pemandu sorak.

“Give me B! Give me O! Give me Y!” sambil menghentak-hentak pom-pom.

Ternyata hidup semenyedihkan itu. Sesuatu yang sudah dicari dengan penuh pergolakan batin, waktu dan rindu, akhirnya dilepas agar dia bahagia dengan pilihannya. Ahh, harusnya saya menekuri nasib Nevada bunga-bunga. Hidup itu amis, Nev!

*Marbella, Spain

Minggu, 23 September 2018

Segumpal Kapas di Saku Sekar

#Part2

Usianya baru 14 tahun akhir bulan depan, dengan sanggul mangle sisir disusuk di kepalanya yang kecil. Kembang goyang bergerak-gerak. Untaian melati menjulur di dada kanan. Kebaya putih pinjaman dan kain depat dilepe membalut tubuh kurus itu. Beberapa kali menarik napas panjang karena stagen terlalu kencang melilit perutnya.

Sekar terduduk lemas. Jika saja riasan dihapus, akan nampak mata cokelat layu bekas menangis semalaman. Bibir pucat. Tulang pipi menonjol karena beberapa hari tak mau makan. Bahkan pagi ini perias memaksanya meneguk segelas teh manis agar tak pingsan saat dipajang nanti.

Abah dan ibu mempersiapkan semua keperluan hari yang harusnya istimewa ini. Tapi tidak dengan Sekar. Memilih mengurung diri berhari-hari di kamar. Seperti mayat hidup sekarang. Matanya menerawang entah kemana. Tak dapat pula berbicara banyak karena tenaganya habis untuk mengumpulkan serpihan hati yang berserakan di bawah kasur. Tertumpuk-tumpuk dengan gumpalan kapas bantal.

Ibu masuk kamar tepat saat musik di luar menggaung memekakkan telinga. Duduk disampingnya. Mengusap-usap punggung Sekar tanpa kata. Pidato-pidato para pemuka desa. Doa-doa dan harapan dirapalkan. Tapi tidak di hati Sekar. Ia sedang memeluk nisan emak dan bapaknya, meraung-raung di sana.

Satu bulir air mengalir di pipi yang merona bedak merah ketika mendengar kata ‘sah’ dari pengeras suara yang dipinjam dari mushola kampung.

Orang-orang ramai menonton Sekar keluar rumah. Menemui Jaka yang mengenakan jas takwa putih berpadu bendo dan kujang di belakang pinggang. Sekar menyeret kaki. Sendal selopnya terlalu besar.

Semua sumringah. Berbaris satu-satu mengucap selamat. Tapi tidak di hati Sekar. Ia sedang sibuk menabur bunga di makam emak. Mencabuti rumputnya. Merapikan tanah-tanah yang melongsor di sekitar nisan.

Matahari beringsut turun. Wayang golek mulai beraksi dengan kisah-kisah jenakanya. Gamelan ditabuh menambah ramai suasana. Anak-anak berebut duduk di depan. Bapak-bapak tak mau ketinggalan.

Jaka dan Sekar diantar masuk ke rumah. Selesai sudah drama yang menyesakkan dada. Hati Sekar mati rasa. Tak mengerti benar apa yang sebenarnya terjadi. Kalut dengan semua keramaian di luar kehendaknya. Tubuhnya di sini, tapi hatinya terlelap di antara gundukan tanah tempat emak dan bapak tidur panjang.

Abah menyibak tirai kamar Sekar. “Keluar dari rumahku sekarang,” kata abah pelan, tapi tajam. Tepat sasaran menghantam denyut nadi Sekar yang sedang melepas satu persatu kembang goyang.

Sekar memekik. Kembang goyangnya terpelanting di lantai. Matanya membulat. Tidak percaya dengan apa yang ia dengar.

“Tugasku sudah selesai. Tak sudi aku punya anak kurang ajar seperti kamu, Sekar! Cuiiih!”

“Ta-pi, ta-pi… A-baahhh…” Pandangannya bergantian dari abah, ibu, abah, ibu. Mencoba mencari pembenaran dibalik kalimat itu. Ibu berdiri di belakang abah. Menunduk tak bergerak. Meremas-remas tangannya yang basah.

Abah menarik lengan Sekar keluar kamar. Menyeretnya ke arah dapur. Jantungnya bergemuruh memburu. Air matanya tumpah di atas riasan yang belum sempat dibersihkan. Orang-orang menatap kebingungan. Tepat di muka pintu belakang, Jaka berdiri mematung. Wajahnya pucat pasi.

“Pergi sekarang! Kamu bukan anakku lagi!” Tak sempat Sekar mengiba, pintu dibanting tertutup. Riuh wayang golek terdengar jelas dari depan rumah. Mengisahkan Putri Kerajaan Sunda permaisuri Hayam Wuruk yang berakhir bunuh diri setelah Perang Bubat.

“Sudah tidak ada yang bisa diperjuangkan lagi, Las.” Sekar menyandar di dinding bercat lembayung. Serbet kotak-kotak bertengger di pundaknya. “Jaka tidak seperti yang aku kira. Aku salah. Pernikahan yang salah. Karena dari awal memang sudah salah.”

“Pasti ada jalan lain,” ujar Lastri seraya menyapu kamar yang luasnya hampir setengah lapangan futsal.

“Kami ke rumah Jaka. Tinggal dengan orang tuanya. Aku melakukan semuanya demi dia. Buruh cuci, keliling menjual keripik dan mencari rumput untuk sapi tetangga. Tapi uangnya justru dia habiskan untuk main judi dan perempuan. Padahal dia tahu aku sedang hamil Nur.”

Lastri menggiring butiran pasir dan segumpal kapas masuk pengki. “Ada banyak rencana Tuhan yang tidak pernah kita tahu. Di balik kebencian kepada hidup. Kita jadi tahu rasanya nerimo. Menerima kenyataan.”

“Menerima apa? Perempuan itu dibawa ke rumah, Las. Dikenalkan sebagai teman kerjanya. Dia itu cuma supir truk. Mana ada teman perempuan di pabrik. Awalnya aku percaya. Sampai malam itu mereka tidur di kamarku, Las.”

Air menggenang di sudut matanya yang dipenuhi garis-garis halus. Bertahun-tahun dia menyimpan luka itu sendirian. Semua kesakitan yang membuat Sekar harus berlari dengan sisa tenaga yang ia punya.

“3 bulan setelah cerai, aku ke sini. Membersihkan penyakit masa lalu tidak semudah menyapu lantai.” Sekar menghempaskan napas. Membuang sesak di dada. “Perabotan sudah bersih. Jadi berangkat, kan? Sebelum majikan datang.”

“Umroh? Jadi. Tunggu, sedikit lagi selesai.”

#selesai
#TantanganODOP2
#onedayonepost
#odopbatch6
#fiksiTKI

One Day One Post

Saya tak pernah benar-benar mengerti. Sebuah perkumpulan manusia dengan satu misi. Lucu jika kemudian ada yang bertahan dan tereliminasi. Bu...