Jumat, 17 Februari 2017

Melawan Ketakutan Meninggalkan Zona Nyaman

#Violet 18

“BERHENTI VIO!! Jangan bodoh!! Itu mustahil!”

Tubuhnya yang dua kali lebih besar berada tepat di depan motorku. Sedetik sebelum aku menyalakan mesin. Tangan kekarnya mencengkeram spion kiri. Matanya tajam menebas. 

“Tidak ada alasan untuk mundur.” kataku sarkas.

“GILLAA KAU!! Nggak tahu malu!!”

“Aku hanya ingin mencoba. Dan aku yakin kita mampu! Sampai kapan kita takut maju?” Aku balas menatapnya. Pupilnya membulat. Dadanya naik turun.

“Iya tapi bukan sekarang! Pokoknya tarik berkasnya!!”

“Enggak. Enggak bisa.” Aku mulai mengatur nafas. Melempar pandang ke gedung berlantai 4 yang baru saja aku tinggalkan. “Direktur tanda tangan acc proposalku. Para petinggi juga ambil bagian di acara ini. Siap nggak siap kita harus siap.”

“BODOH!! NYARI MATI KAMU!!!” Suaranya menggelegar. Cengkeraman tangannya semakin erat. Aku dapat mendengar gemeletak dari jemarinya. “Kita pasti kalah!”

“Aku nggak nyari pemenang. Yang penting kita punya keberanian. Jadi tahu sejauh mana kemampuan kita. Kalau berfikiran kalah sampai kapanpun tidak akan pernah melangkah! Kemampuan kita ya begini-begini terus. Tim ini harus berkembang! Dan aku yakin kita bisa!!” kalimatku tak kalah tegas. Kepalaku mulai panas.

“Aku benci sifat optimismu itu Vii!” Dia mendengus.

“Tim ini butuh kamu.” Cengkeramannya melonggar. Dia mundur selangkah.

“Sorry, aku ada jadwal dinas di Rumah Sakit.”

“Kamu bisa ijin. Nanti suratnya aku yang urus. Latihannya mulai Senin.”

“Enggak. Aku nggak mau jadi pecundang.”

“Ayolaahh.. Kali ini saja. Hei!! Mau kemana?”

“Pulang.” Katanya sambil berlalu. Meninggalkanku mematung di atas motor. Tempat parkir kampus senyap. Hanya riuh angin menggoyang dedaunan di sekitar lapangan. Menghantar matahari merambat ke peraduan.

Dua bulan kemudian, kami tampil di event nasional. Paduan Suara Gita Bakti Husada Poltekkes Kemenkes Semarang, untuk pertama kalinya dalam 10 tahun berdiri, mengikuti ajang perlombaan. Sebuah panggung yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Aku sendiri tidak tahu bagaimana kekuatan itu hadir begitu mengejutkan. Aku adalah seorang yang penakut. Aku teramat takut pada sebuah kesempatan. Takut gagal. Takut dicemooh. Dan takut malu.

“Enggak pak. Saya takut kalah.”

“Ya harus ada yang kalah agar ada yang jadi pemenang. Lagian toh bagaimana kita tahu kalah jika mencoba saja belum?” Kalimat Guru Bahasa Indonesia mengaung-ngaung di telinga. Permintaannya untuk mengirim naskah puisiku ke perlombaan SMA tingkat nasional aku tolak begitu saja. Benar-benar menjadi pengecut.

Bertahun-tahun terlewat dan aku menyesalinya. Ahh yaa.. Kau tahu itu. Penyesalan selalu datang di babak penutupan. Dan di kesempatan kali ini, aku tak mau mundur lagi.

Apakah aku tidak takut keluar negeri? Heii.. Aku sangat ketakutan! Beberapa hari menjelang keberangkatan bahkan tidak dapat terlelap. Pikiranku melompat-lompat dari takut tidak di terima, gagal beradaptasi hingga dideportasi. Membayangkan pengapnya penjara luar negeri. Dan maraknya penculikan, pemerkosaan hingga pembunuhan di media masa seantero negeri.

Tapi hampir satu tahun terlewat, nyatanya semua baik-baik saja. Lihat, betapa berprasangka buruk melemahkan tubuh kita. Betapa pikiran busuk yang justru sering merusak masa depan kita. Mengkerdilkannya. Membumihanguskan segalanya.

Teman, bukan sekali dua kali aku di anggap bodoh, idiot dan tidak tahu diri. Tapi bukan berarti kita harus berhenti. Setiap orang memiliki masanya sendiri-sendiri. Bisa jadi saat ini kita sedang berguling-guling di atas tanah. Tapi bukan hal yang tidak mungkin jika suatu hari nanti kita dapat merebah di tanah puncak Mahameru.

You can achieve the unachievable. Kamu dapat meraih apa yang tidak dapat diraih. Don’t look for the next opportunity. The one you have in hand is the opportunity. Jangan takut salah dan kalah. The person who doesn’t make mistakes is unlikely to make anything. Failure was a major contributor to its success.

Sertifikat ini aku dapatkan setahun lalu. Selama hampir 5 tahun terjerat ketakutan. Akhirnya, aku mencoba saran beliau. Puisi pertama di dalam hidup yang aku kirim ke perlombaan. Hasilnya... Bisa kau lihat sendiri.

No automatic alt text available.
Paduan Suara Gita Bakti Husada Poltekkes Kemenkes Semarang tahun 2011 yang aku pimpin memang tidak menjadi pemenang dalam event itu. Tapi dari situ, titik awal kita mampu mengikuti ajang perlombaan selanjutnya. Keberanian itu tumbuh dan berkembang pesat seiring berjalannya waktu. Dan panggung demi panggung mereka pijak untuk mengasah kemampuan diri. 

Pemenang bukanlah yang membawa pulang piala. Tapi yang telah berusaha optimal, berlatih maksimal, bertekat menampilkan yang terbaik serta menumbangkan ketakutan adalah pemenang sesungguhnya. 

Bukankah musuh sejati adalah diri sendiri?

Aku selalu ingat kalimat pamungkas dari Paul Arden ini.. “Try to do the things that you’re incapable of. Make your vision of where you want to be a reality. Nothing is impossible.”

Salam Spektakuler Paduan Suara Gita Bakti Husada.
Salam literasi Indonesia.

Dari si Bodoh yang tidak kunjung pintar.


*Violeta
Jeddah, Arab Saudi. 14 Juli 2016. 7.24 am

Jadi Perawat di Arab Saudi, Enak atau Tidak?


#Violet 17

Assalamualaikum Indonesia…

Bulan ini terasa mengesankan karna tepat tahun lalu menginjakkan kaki di negara ini, Arab Saudi. Saya bekerja sebagai Saudi Private Nurse di Jeddah. Baru 1,5 bulan berada disini. Karena sebelumnya 10 bulan di Riyadh. Karena pasien disana meninggal, maka perusahaan mengirim saya kesini.

Well. Beberapa di antara teman-teman sering kali menanyakan, enak nggak sih kerja di Arab Saudi?

Bagi saya, ini pertanyaan sulit. Atau justru terkesan retoris. Karna jika menjawab tidak, kalian akan menganggap negara ini kejam. Jika menjawab enak. Pada kenyataan, ada dukanya.

Awal datang kesini, saya tidak betah. Serius. Selama 2 bulan, menangis hampir setiap hari. Kenapa? Karena ditempatkan di satu rumah yang luckily, saya satu-satunya dari Indonesia. Jujur saja, saya sangat terpukul. Karna mau tidak mau harus berkomunikasi dalam Bahasa Inggris. Dengan kemampuan elementary school, saya sering kali ditertawakan. Bahkan dikucilkan.

Meski di Indonesia belajar Bahasa Inggris dari SD, tetapi jarang sekali mempraktikkan. Pembelajaran sebatas guru memberi materi, murid menangkap, ujian bisa mengerjakan. Dan, inilah saya hasil konkrit dari sistem itu. Lidah tidak terbiasa. Dari hati Ingin mengucapkan ‘bathroom’, tapi justru terdengar ‘bedroom’.

Salah satu teman dari Philippine marah ketika saya menceritakan tentang keindahan pantai di Pulau Palawan Philippine. Ternyata artikulasi saya bukan beach, tapi… you know what I mean lah. Dan itu fatal! Sumpah! Malu bukan main!

Dan kekurangan dalam berbahasa arab, sering membuat saya terpojok. Saya tidak pernah sekalipun, seumur hidup, mendapat pelajaran Bahasa Arab. Karena selalu berada di sekolah nasional. Maka pertanyaan membunuh setiap waktu terhunus, “Kamu kan islam, kok nggak bisa Bahasa Arab? Bukannya kitabmu itu berbahasa arab? Jangan-jangan kamu islam palsu!” mereka tertawa terbahak-bahak.

Belum lagi persaingan antar negara. Pengetahuan keperawatan dihajar habis-habisan. Saya yang memang dasar pelupa, meraba-raba ketika pembahasan masuk ke masalah sirkulasi tubuh, anatomi hingga detail ke sel-sel. Diskusi itu biasa di gelar dokter dan perawat. Terakhir membaca anatomi sel tubuh manusia sepertinya 2 tahun lalu di kampus. Sekarang benar-benar mati kutu!!

Parahnya diskusi bukan lagi tentang you and I. Tapi merambah menjadi dari mana asalmu dan ilmu apa yang kamu bawa. It’s mean that negara saya dipertaruhkan! Itu di kepala teringat bendera merah putih dan para pahlawan yang telah gugur.

Sedihnya pula karna jauh dari orang tua. Klise banget kalau ini sih. Derita perantau. Apapun tergantung dengan paket internet, wifi dan sinyal. Saya tidak tahu apa jadinya jika belum ditemukan video call. Oh God! Video call ini menjadi penyelamat jarak.

Ketika mama opname di Rumah Sakit. Melihat ponakan pertama lahir masih berlumur darah (persis iklan di TV). Melayat Pakdhe yang meninggal, Itu kamera diletakkan sejengkal dengan wajah jenazah. Sampai ucapan selamat penikahan di malam terakhir sahabat melepas masa lajang. Semua lewat video call.

Dan pertanyaan paling menusuk, hingga membelah rusuk bukan lagi, ”kapan nikah?”. Tapi, “kapan pulang?” yakin, itu sakit sesakit-sakitnya. Karena of course, saya jadi ingat kontrak kerja yang masih lamaaa… So, please guys, tenang saja. Saya akan pulang pada waktunya.

Well. Sebenarnya itu berita mengenaskan. Jadi bagaimana sisi yang lain?

Happy-nya, disini bertemu orang-orang dari berbagai negara. Bahkan 6 bulan saya tidak bertemu orang Indonesia. Jadi pasti tidak berbicara dalam Bahasa Indonesia selain saat telfon dengan keluarga. Pertama kali bertemu dengan orang Indo. Lidah kaku! Bahkan lupa Bahasa Indonesianya mister. Serius. Mulut menolak untuk sekadar mengucapkan, “Bapak dari kota mana?”. Hingga bapak tersebut terkekeh bilang, “Nggak apa-apa. Awal saya kesini juga begitu. Lupa bahasa Indonesia.” saya meminta maaf berkali-kali.

Bagi saya, meninggalkan Indonesia tidak sekadar mencari ilmu. Tapi disinilah kepribadian dan mental saya di tempa. Bagaimana menaklukkan ketakutan dan berdamai dengan tantangan. Kompleksnya masalah membuat mau tidak mau harus bertahan dan berusaha lebih kuat lagi. Pula karna di negara ini islam pertama datang membawa cahaya. Maka bagi saya pribadi, keislaman diri menjadi lebih tertanam.

Beberapa kali terkena marah atasan karna shalat terlambat. Bahkan sampai di ingatkan dan diawasi di hari-hari selanjutnya. Maka alasan ‘sibuk bekerja hingga meninggalkan shalat’, tidak mempan disini. “Jika adzan terdengar, ambil wudhu, langsung shalat. Tinggalkan apapun yang sedang kamu kerjakan!!”

Teman-teman juga tidak berhenti mengingatkan puasa sunnah, membaca Quran, dan shalat dimana saja. Di emperan toko, di dalam supermarket hingga di tepi jalan raya yang berpasir. 


“Bukankah bekerja adalah aktivitas mengisi waktu sembari menunggu adzan?” dan pertanyaan, “kalau besok kamu mati gimana? Apa yang kamu bawa?” adalah pecut mereka ketika saya dirundung malas-malasan puasa sunah dan shalat tepat waktu.

Kesempatan menakjubkan adalah bisa umroh. Ke belahan bumi mana lagi kita akan menuju jika bukan ke tanah yang paling Ia berkahi?

Seorang saya yang bahkan tak punya uang untuk ke Makkah, justru diajak oleh keluarga pasien dan kesemuanya dibiayai beliau. Dari tiket pesawat PP Riyadh-Jeddah, hotel tepat di depan Masjidil Haram, hingga makan 3x sehari. Bahkan ketika mengucapkan terima kasih yang tak putus-putus, beliau dengan senyum tulus berkata, “ini semua dari Allah, lewat perantara saya.” saya menghambur dipelukannya.

Dan kado ulang tahun terindah di Bulan Juni lalu adalah, ajakan ke Madinah tepat di bulan suci Ramadhan. Sekali lagi, dengan cuma-cuma. Bahkan diberi uang tambahan untuk belanja di pertokoan sekitar Masjid Nabawi. Alhamdulillah… Alhamdulillah…

Jadi teman, saya tidak bisa menjawab utuh apakah bekerja disini enak atau tidak. Tapi kesemua yang saya alami membawa ke keduanya. Maka pilihan itu juga ada di tangan kalian. Saya berharap tulisan ini sedikit memberi pandangan. Karena berbeda orang, berbeda masalah, lain pula ceritanya. Salah satu teman dari Indonesia ada yang setiap bulan umroh. Tapi saya tahu, tantangannya juga lebih pelik. Karna hukum Allah disini jelas sekali. Apa yang kau semai, itu yang kau tuai.

Selepas shalat isya, seorang nenek meminta botol bekas minum saya untuk diisi air zam-zam. Sebenarnya saya juga butuh untuk di penginapan, tapi saya berikan saja. Esoknya, setelah shalat dhuhur di depan ka’bah. Di bawah terik matahari. Ada wanita yang tidak saya kenal membawakan segelas air zam-zam dingin. Tepat saat saya bergumam dalam hati, “haus.”


*Violeta
Jeddah, KSA. 2 Agustus 2016. 08.16 am

Problematika Pekerja Luar Negeri dan Tips Sebelum jadi TKI

#Violet 16

Meninggalkan Indonesia, tidak pernah muncul dalam pikiran sebelumnya. Kenyataannya, saya tidak menginjakkan kaki di bumi pertiwi selama 1 tahun, 1 bulan, 13 hari, 8 jam, 47 menit, sejak take off dari Bandara Soekarno Hatta, Jakarta.

Hari pertama berada di Jeddah, Kingdom of Saudi Arabia, menjadi hari terakhir bertemu orang Indonesia. Itu artinya, keseharian, bahasa, bahkan bersikap, semua berubah. Saya menjadi pribadi berbeda dalam sekali hentakan jarum jam.

Mimpi apa semalam, ketika bangun tidur sampai tidur lagi full berbicara dalam Bahasa Inggris? 

Oh God! Syok? Pasti. Tapi sensasinya luar biasa! Ketika berada di tempat yang tidak ada yang mengerti Bahasa Indonesia itu membuat kita merasa, I REALLY LOVE INDONESIA!!

Mengikuti alur budaya dan keseharian membuat lidah saya juga harus beradaptasi kilat. Jangan harap ada nasi goreng atau pecel untuk sarapan. Di meja hanya akan sedia roti tawar, samoli atau sejenis roti panjang, roti arab dengan berbagai jenis keju, selai cokelat dan kacang yang bisa dipilih sesuai selera. Oke fine, sebagai pendatang, saya memilih sarapan dengan Indo**e.

Nah ini juga, saya baru kali ini, sumpah baru kali ini, bertemu seseorang dari India yang addicted dengan roti. "Nggak kenyang kalau nggak makan roti." Padahal baru saja dia makan sepiring nasi Bukhari. Aihh... Roti... Tolong redaksi, itu roti diganti 'nasi' bisa? Sebagai orang Indonesia yang cinta tanah air, nasi tak bisa digantikan dengan berlembar-lembar roti gandum. Tolong. Please. Ada Indo**e?

Yahh.. Baiklah kalau memaksa. Sehari sekali bertemu nasi bolehlah. Gantinya, setiap hari makanan selalu menu Arab, Syria, Afrika atau Eropa. Dan itu membuat saya agak mual, dengan aroma kapulaga dan rempah khas negeri teluk atau nasi campur krim keju. Maka jangan heran jika saya bisa loncat-loncat kegirangan ketika menemukan sate, empal gentong, kari ayam dan soto di supermarket. Dalam bentuk Indo**e, tentu saja.

Heii... Ini karena aku cinta produk Indonesia. Benar-benar 'seleraku...'

Sejauh ini, alhamdulillah tidak ada masalah berarti. Kecuali mimisan saat cuaca panas ekstrim dan masuk angin saat puncak musim dingin. Hari ini cuaca mendung. Asyik untuk duduk di samping kolam renang atau berjemur di sepanjang Laut Merah. Suhu bersahabat. Angin berkelebat.

Keluar negeri bukan semata-mata 'ingin', kawan. Tidak. Jangan. Saya sarankan, sebaiknya teman-teman menggenggam alasan erat kenapa memilih keluar negeri. Alasan itulah yang akan menguatkan ketika setiap hari berhadapan dengan orang-orang dari berbagai negara lengkap dengan watak dan attitude-nya. Baiklah. Tidak semua seramah orang Indonesia dan tidak semua orang Indonesia ramah di negeri orang. Ini rumusnya.

Jangan sampai, setelah di luar negeri, justru kelimpungan dengan 'keadaan yang berbeda'. Berharap semua enak? Lah, emang negaranya punya situ? Lalu marah-marah, memaki-maki dan menjelek-jelekkan PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia). Bahkan sampai bawa-bawa presiden RI beserta jajarannya. Katanya, "tidak becus mengurus TKI."

Padahal, kita-kita juga yang heboh minta segera diterbangkan. Visa dibuatkan. Proses dilancarkan. Tinggal ongkang-ongkang kaki menunggu jadwal penerbangan. Setelah sampai di negeri orang, minta cepat dipulangkan. Remisi kontrak. Pulang dadakan. Katanya, tak sesuai 'janji manis' Bupati. Lah, sekarang Bupati yang dibawa-bawa.

Jadi teman, tolong, tolong dengan sangat. Punyai dulu tekat dan alasan kuat kenapa memilih keluar negeri. Pastikan kontrak dan perjanjian yang tertulis sesuai dengan kesepakatan. Carilah informasi selengkap-lengkapnya. Datangi kantornya, temui direkturnya jika tidak mendapat kejelasan yang pas dari pihak agency. Bukan karena kata si A, B, C. Lalu asal tanda tangan. Ikut-ikutan. Mau enaknya. Menolak sulitnya.

Apalagi lintas benua. Tidak bisa pulang semaunya. Homesick yang menggila. Pula jaringan internet absurd. Sekarang saja kami tidak bisa telepon ke Indonesia karena jaringan internet Saudi disegel. Jadi saya harus mengirim pesan dahulu, lalu keluarga Indonesia yang menelpon saya.

So guys, saya tidak melarang teman-teman untuk mengepak sayap lebih lebar. Ambillah kesempatan yang ada. Bukalah pintu-pintu kemungkinan yang tersedia. Bisa jadi itulah jalan rezeki kita.

Dibalik sulit, berat dan kejamnya rumah tetangga, saya menggapai mimpi-mimpi saya disini. Salah satunya: naik unta bunga-bunga di Tanah Arafah. Saya naik saat malam. Fotonya gelap.

Jadi, bagaimana dengan kalian? Sudah dapat alasan terkuat hijrah keluar negeri?

Untuk teman-teman yang sedang berada di negeri orang: stay positive, stay fighting, stay brave, stay ambitious, stay focus and stay strong. The mentality is everything.

Aset paling besar adalah iman. Komunikasi paling hebat adalah doa. Semoga Allah melindungi kita dimanapun berada, dan semoga segera bertemu kembali dengan keluarga.

Salam hangat dari Saudi Private Nurse.



*Violeta
Jeddah, KSA. 13 Oktober 2016. 1.46 am

Tenang, Perawat bukan Teroris


Image may contain: 1 person, standing and outdoor
#Violet 15

"Saya dilarang orang tua untuk bekerja di Arab Saudi, mbak." Saya menarik napas dalam-dalam. Menyimak setiap kalimatnya. Ada kekecewaan melekat di setiap uraian.

"Kan Arab Saudi negara konflik. Lagi perang disana. Apalagi soal ISIS."

Kali ini saya hempas napas sekuatnya. Sampai sejauh ini, Indonesia masih saja dijejali informasi yang begitu-begitu saja. Tidak berubah. Selalu memberitakan masalah. Tidak pada siapa dan dimana konflik itu bermula.

Subjektivitas media dalam meramu dan mencerna informasi hingga berbuah suatu tindakan tidak pernah lepas dari kesaksian atau tafsiran. Bermula dari perasaan atau pikiran manusia, melahirkan sikap memihak terhadap pendapat pribadi atau golongan tertentu. Dalam berkehidupan, mengungkapkan fakta membutuhkan interpretasi dan interpretasi melibatkan subjek.

Maka menilai dan menjaga agar tidak mengandung subjektivistik menjadi penting. Agar tidak terjadi kesewenang-wenangan subjek dan membawa konsekuensi terhadap objek yang seharusnya dilihat dari segala sudut pandang berbeda.

Selama ini kita temui banyaknya subjektivikasi, entah dalam narasi di dunia kepenulisan atau berkehidupan. Menjadi sebuah pilihan yang harus diambil atau ditegakkan keakuratannya. Menulis sendiri menjadi saksi atas ketidakberdayaan diri dalam mengamati sebuah kebenaran. Tulisan-tulisan yang lebih sering tercipta dari pendapat diri atau golongan hingga melepaskan esensi dari makna keterangan yang mengekor dibelakangnya. Saya, atau bahkan kita semua menjadi sangat sensitif dengan keberadaan subjek. Kemahsyuran masalah, bukan pada sebab akibat masalah tersebut terjadi.

Seperti makna teroris yang sering kita dapatkan di media-media televisi, cetak, bahkan online. Teroris menjadi sebuah ikon, brand bahkan cap basah yang disematkan pada Islam. Negara Islam yang cinta damai justru menjadi tempat bertempur yang tak pernah ada habisnya. Teriakan takbir menggema di bawah reruntuhan kota, headline news di berita internasional, bahkan topik hangat di konferensi antar negara. Pemandangan yang lucu ketika mereka berlomba memojokkan suatu golongan yang sebenarnya adalah salah satu tubuh mereka sendiri.

Teroris, kian hari kian gencar menyerang tempat-tempat yang jauh dari medan perang. Tidak hanya menggunakan bom-bom dan rudal, tetapi juga menyusup ke area hukum, politik hingga sosial. Kekhawatiran ditangkap dan diseret ke penjara saat berada di salah satu bandara internasional di Perancis membuat banyak wanita terpaksa membuka kerudung. Bahkan tidak tanggung-tanggung terusir dari pantai dan dipaksa melepas kerudung serta baju panjangnya saat itu juga. Mereka curiga, dibalik baju panjang itu, ada bom yang disembunyikan. Jadi siapa yang mengucilkan dan dikucilkan?

Di Turki, situasi tak lebih baik dari rumah tetangga. Bom beruntun yang menyerang kota membuat banyak negara menarik para mahasiswa peraih beasiswa yang sedang menuntut ilmu disana. Bahkan universitas ternama harus mengungsikan mahasiswanya untuk belajar di negara-negara yang telah disepakati. Eropa dan Amerika Serikat menjadi tempat pelarian dari segala tragedi. Ketakutan terjadinya kehancuran seperti kondisi di Jalur Gaza membuat mereka mengambil sikap siap siaga. Jadi siapa yang mengusir dan terusir?

Telah nampak bagaimana dunia memandang teroris tak hanya sekadar pemicu ledakan, pembuat onar dan yang nampak jelas, orang-orang berpakaian hitam-hitam, bercadar, dengan jenggot dan celana diatas mata kaki menjadi sumber dari bergejolaknya kondisi saling serang. Tuduhan demi tuduhan kepada negara islam dan orang islam semakin mengerucutkan kepemahaman akan kondisi yang sebenarnya. Padahal, di negara islam itulah banyak korban berjatuhan.

Bukan hal baru lagi ketika harus membuat informasi seimbang. Menampilkan subjektivitas dan keterangan yang objektif. Mengangkat sudut pandang pada kebenaran mutlak sesuai kenyataan. Termasuk informasi tersembunyi. Tidak memihak dan tidak terikat. Pula harus sesuai dengan peristiwa yang terjadi dan dapat dipertanggungjawabkan.

Kini, si anak tersebut menerima keputusan orang tua. Tetap berada di rumah dengan perlindungan keluarga. Padahal saya yakin dia mampu mendapatkan lebih dari apa yang dia capai sekarang. Melanjutkan bekerja di salah satu rumah sakit di Indonesia menjadi pilihan satu-satunya agar tidak menjadi anak durhaka.

Lihat bagaimana dampak media dengan pemberitaan subjektif merong-rong masa. Mengkerdilkan nyali. Membunuh mimpi. Padahal, jika saja restu orang tua dikantongi, bukan hal mustahil ia dapat haji dan menghajikan orang tua di usia dini. Bersujud di depan Ka'bah dan menziarahi makam Nabi Muhammad SAW menjadi titik balik pengingat tugas manusia di alam dunia.

Sayang sekali bukan, jika sampai sekarang pun masih ada yang beranggapan bahwa Islam itu teroris dan teroris itu Islam. Tidak hanya korban nyawa tetapi juga hilangnya kesempatan maju para generasi penerus bangsa.

Mari baca lagi. Mari belajar lagi.



*Violeta
Jeddah, KSA. 7 November 2016. 11.10 pm

Unta Raksasa di Perjalanan ke Laut Merah

#Violet 14

Perjalanan ke Laut Merah kali itu ditemani dengan video call mama yang menggebu-gebu menceritakan kehebohan 411. Saya hanya manggut-manggut sambil menatap pohon pakis di sepanjang jalan. Ahh, saya belum bisa membedakan mana pohon pakis mana pohon kurma. Sesekali nyeletuk, “Iyah, tadi lihat video live streamingnya di Facebook.” ini bukan topik berat sebenarnya. Maksudnya, kenapa harus diperdebatkan?

Mama adalah seorang mualaf. Sebagian keluarga kami adalah non-islam. Bahkan om saya adalah Romo. Dan sejauh ini tak pernah ada masalah berarti. Benar-benar tidak ada masalah menyoal agama. Kami saling berkunjung saat natal dan Idul Fitri. Maka topik kali ini tentu membuat telinga mama berkobar. Gereja yang dibakar. Masjid yang dibom. Entah apa mau mereka. Keluarga kami selalu mengambil sisi positifnya. Tidak pernah ada bedanya.



Saat suara mama mulai meninggi di ujung telepon sana, saya mengarahkan kamera ke jalanan, “Ma, itu ada patung bentuk unta raksasa!” mama exited dan beralih ke ‘per-unta-an’. Amaaannn… Walau ujung-ujungnya menyeret saya lagi ke topik awal. Hingga diskusi membongkar makna kata ‘pakai’. Ahh sudahlah. Hayati lelah ma…

“Tenang ma, pemerintah yang mengurus. Ikuti saja proses peradilannya.” Kali ini benar-benar menyudahi perkara negara. Ya, ya, sebelum telepon beralih ke papa dan pembahasan bisa menyangkut ke masalah perang dunia pertama dan orde baru. Saya harus searching dulu jika tema ini terbongkar. “Negara mana aja ya yang masuk negara blok barat?” dan saya siap-siap menerima pertempuran jika menjawab: Nggak tahu, lupa, hmp.. apa ya?

“Masa nggak tau? Kamu internetan buka apa aja? Di google kan banyak. Bacalah itu. Papa ini lagi nonton youtube.” Papa… kita bahas kancil nyuri ketimun saja yuk. -efek orang tua lebih update dari anaknya-

Meski berbeda negara dan waktu matahari terbit, mama dan papa selalu saja punya bahan untuk diulas setiap hari via video call. Bahkan membahas Sugar glider milik adik yang melarikan diri dari penjara mungil di ruang tamu bisa sampai berhari-hari. Ahh ya, sampai sekarang kami masih membuka lowongan untuk penghuni baru. Kalian ada yang tahu?

Hal-hal seperti inilah yang membuat perantau seperti saya, KGSB (Kadang Galau Sering Baper), menjernihkan pikiran. Mengingatkan bahwa saya tak pernah sendirian. Ada orang-orang nun jauh di seberang benua sana menantikan kabar. Memantau kesehatan lahir batin dari kejauhan. Menunggu kelakar dalam bercerita panasnya gurun pasir dan kebiasaan penduduk Arab Saudi yang ‘unik’. Bahkan ketika mengatakan ingin segera kembali, mereka yang pertama bilang, “Sabar, jalani saja dulu. Semoga berkah.” Padahal, mereka-mereka ini yang dulu ngotot melarang saya meninggalkan Indonesia.

Jadi kawan, sayang sekali jika sebuah jarak fisik menjauhkan hati. Ada banyak cara agar tetap dapat merasakan kehadiran mereka di sekitar kita. Jika pulsa habis dan tidak ada wifi gratis, berdoa saja di dalam hati, komunikasi itu akan sampai ke pemilik hati. Ini serius, saya pernah mencoba. Ketika aplikasi telepon keluar negeri di segel oleh Pemerintah Saudi. Saya hanya berdoa. Iya, hanya mengucap doa agar orang tua ingat dengan saya, semenit kemudian, hp berdering, “Assalamualaikum, lagi apa? Kok mama tiba-tiba pengen telpon kamu ya? Padahal ini lagi masak loh.”

Nah kan. Tidak ada yang bisa memasung ikatan perasaan. Karena terkadang, orang yang berada ratusan kilometer bisa membuat kita merasa lebih baik daripada orang yang ada di sebelah kita.

Jadi, sudah siap merantau?



*Violeta
Jeddah, KSA. 18 November 2016. 05.08 am.

Kamis, 16 Februari 2017

Perawat Membedah Kepala Berani, Tapi Takut Keluar Negeri?

#Violet 13

Selama 1,5 tahun berada di Arab Saudi, mengira hanya saya yang menjadi perawat private, ternyata di luar sana banyak juga yang senasib begini. Tersebar di kota-kota Arab Saudi. Sayangnya, belum banyak yang show up ke media atau terang-terangan menceritakan pengalamannya. Jadi sudah tentu informasi tentang private homecare di Arab Saudi itu langka.

Jika mencari di google, kebanyakan tentang lowongan kerja. Tapi cerita suka dukanya, duhh, limited bahkan tidak ada. Saya sendiri mencari informasi dari si A dan si B lalu disalurkan ke si C.

Padahal, penyakit semakin beragam dan tingkatannya menurun. Usia 30an tahun saja sudah banyak yang mengidap diabetes, jantung dan kanker. Bagi mereka yang tak ingin dirawat di rumah sakit selama berbulan-bulan, menghabiskan puluhan hingga ratusan juta karena harus sewa kamar, perawat homecare solusinya!

Sayangnya, jenis lowongan ini jarang sekali dilirik pasar. Perawat inginnya bekerja di rumah sakit mentereng dengan posisi gemilang. Mungkin itu sebab surat lamaran ke RS besar menumpuk tak terkira. Kata teman yang bekerja di RS terkemuka, tidak semua surat lamaran kerja terbaca. Karena bisa jadi loker hanya 20 perawat, tapi yang masuk hampir 800 map lamaran kerja.

“Mana ada waktu kita baca CV satu-satu, Vii?” katanya getir.

“Terus nasib sisanya gimana?”

“Kemarin aku baru bakar 300an map lamaran perawat. Duhh, rasanya ngeri. Tapi mau gimana lagi?” Dia menggigit bibir. Antara bersalah dan tak ada pilihan.

Ngeri! Iya, ngeri, jadi rasional sekali jika hampir 20an surat lamaran yang saya kirim ke RS besar tak ada satu pun yang berujung panggilan. Berjamaah hilang tanpa jejak.

Ketika di kampus, kami juga tak memiliki banyak pandangan. Bayangkan, hampir 1 angkatan mengejar posisi di RS yang sama. Padahal kursinya tak seberapa. Teman menjadi lawan, berlomba habis-habisan.

Bahkan ada yang diam-diam menghanyutkan. Diam saja kalau RS A ada lowongan, tahu-tahunya sudah diterima. Cengengesan saat ditodong, “kok nggak ngabarin sih kalau di sana ada bukaan?” Yang lain, merengut kecolongan.

Sedih sih, tapi ya gimana. Mungkin memang nasibnya. Kalau orang jawa bilangnya ‘bejo-bejonan’.

Ada pula yang rela menganggur berbulan-bulan. Demi diterima di RS terkenal. Tak apalah ongkang-ongkang dulu, yang penting nanti bisa kerja di RS internasional dekat rumah.

Ini serius, ketika saya mengirim lamaran ke Bandung, saya coba mengajak teman-teman untuk melamar di sana. Tapi jawabannya hampir sama, “JAUH!” Duh, padahal masih di Pulau Jawa juga.

Jadi sekarang kalau saya ajak hijrah keluar negeri, jawabannya lebih dramatis, “GILA LO, VII!! ITU JAUUHHHH BIANGGEETTT,” sambil teriak heboh kaya mau diajak ke akhirat. Padahal ya masih di bumi yang sama.

Ajakan saya sebenarnya bukan tanpa alasan. Tidak mungkin saya menawari mereka yang sudah memiliki posisi mapan. Justru tak tega dengan sejawat yang keluhkan gaji segini, perlakuan begitu. Tidak sesuai dan sering terdzolimi, katanya. Waktu diajak kerja sambil umroh gratis plus bisa haji, alasannya bejibun ribuan.

Saya harus bantu bagaimana lagi?

Mendoakan agar segera diberi jalan keluar?

Baiklah, akan saya ceritakan 2 kisah yang beberapa hari ini mengganggu pikiran. Ini kisah sahabat sendiri. Nyata. Bukan bualan. Apalagi hoax.

2 orang ini nitip doa jodoh. Minta dibacakan saat umroh. Karena keduanya sama-sama single dan sudah berumur matang. Akhirnya saya bacakan, dengan niat, doa dan di tempat yang sama. Dibaca berulang-ulang.

Awal bulan ini, 1 sahabat mengabarkan jika bulan depan akan menikah. Saya kaget! Secepat itu? Iya, dia juga kaget. Tapi kemudian bercerita segala prosesnya. Dari mendekati orang tua, proses ta’aruf, lamaran, hingga persiapan-persiapan detail seperti membaca buku-buku seputar pernikahan dan kiat-kiat menjadi keluarga yang samawa.

Sahabat satunya. Benar-benar tak ada kabar. Jangankan pernikahan, dekat dengan siapa saja tak ada. Setelah saya tanya, ternyata tak pernah ke mana-mana. Jangankan memperbaiki diri, bersosialisasi saja tak mau, apalagi membuat CV taaruf atau bertemu kyai minta dikenalkan. Ya bagaimana mau ketemu jodohnya?

Saya selalu percaya kekuatan doa, tapi tanpa usaha, doa kita hanya tertimbun di awan-awan, entah kapan dijatuhkan. Usaha itu bentuk dari ikhtiar. Melakukan upaya seoptimal mungkin. Benar-benar sampai mentok mepet tembok. Setelah itu baru tawakal.

“Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Jumu’ah: 10)

Jadi teman, cobalah untuk membuka pintu selebar-lebarnya. Keluarlah mencari kesempatan. Ambil peluang yang memang tersaji di depan mata. Genggam resiko dengan keyakinan untuk maju, tumbuh besar dan mendekat pada kuasa Allah. Tanah kita bercocoktanam itu seluas muka bumi. Jika rezeki belum kelihatan hilalnya di sana, bisa jadi tertumpuk di sini.

Beranilah mengekspresikan diri di mana pun dan kapan pun. Let other people chase you by doing something phenomenal! Jangan sampai ketakutan justru mengkerdilkan kemampuan diri. Membedah kepala dan mengeluarkan otak manusia saja berani, masa keluar negeri tidak bernyali?

Jika Arab Saudi dirasa terlalu jauh, bisa pilih Singapura yang sedang menanti ekspansi perawat-perawat pemberani.

Semoga kita tidak menjadi manusia instan yang mau mudahnya saja. Tapi menjadi manusia intan yang sukses karena berproses. Bertahan dari dahsyatnya pembakaran perut bumi. Lalu keluar menjadi pribadi yang bersinar terang.

‘Irak bin Malik radhiyallohu ‘anhu pergi dan berdiri di depan pintu masjid ketika selesai shalat Jum’at, memanjatkan do’a, “Ya Allah, saya telah memenuhi panggilan-Mu, menunaikan kewajiban-Mu dan bertebaran (untuk mencari karunia-Mu), sebagaimana yang Engkau perintahkan kepadaku, maka limpahkanlah karunia-Mu kepadaku karena Engkau-lah sebaik-baik Pemberi rizki.” Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.

*Violeta
Jeddah, KSA. 16 Februari 2017. 09.05 pm

Selasa, 14 Februari 2017

'Perawat' Go International, Kenapa Tidak?



#Violet12


Beberapa saat lalu ada teman yang mengomeli saya. Katanya, tulisan-tulisan saya diskriminatif dan memaksa perawat untuk rame-rame keluar negeri. Meninggalkan Indonesia yang sedang butuh banyak tenaga kesehatan. Loh. Saya tidak memaksa kok. Saya hanya mengajak. Jika tidak berkenan ya silakan.

Persis sama ketika menemukan PJTKI ke Timur Tengah dalam acara International Job Fair di Bandung. Si penjaga stand tidak memaksa saya untuk berhenti. Tapi tulisan besar ‘Lowongan Perawat ke Arab Saudi’ yang menggiring kaki masuk dan mengobrol hingga mengisi formulir.

Sama ketika tulisan ‘Pendaftaran Perawat ke Jepang’ yang menarik tubuh mendekat. Meski berdesakan, setumpuk lembaran tata cara mendaftar hingga contact person penjaga pun saya dapatkan.

Mereka tidak memaksa. Tapi pilihanlah yang membuat pikiran saya berbenah.

Apa bekerja di negeri sendiri tidak enak?

Tergantung bagaimana menyikapi. Disamping bekerja di rumah sakit internasional dan home care, beberapa kali juga saya menjadi mantri keliling. Meski hanya sekitaran kos. Lumayan, sekali suntik dapat sebungkus kerupuk, kadang gorengan atau segepok pisang. Tak jarang hanya mengantongi ucapan terima kasih.

Padahal strip cek gula darah itu harus dibeli dengan uang. Belum lagi jika hasilnya abnormal. Jadilah konsultasi satu jam lebih. Dijelaskan sampai mulut berbusa-busa agar si tetangga paham.

Saya yang berada di tengah Kota Bandung saja begitu. Bagaimana nasib perawat di pedalaman?

Di tahun 2016 yang katanya semua serba canggih. Masih ada tuh perawat digaji 50.000 perbulan. Itu untuk beli bensin ke tempat kerja saja kurang, apalagi untuk makan, bayar listrik, tabungan nikah. Dapat dari mana?

Salah tempat kerjanya tuh! Tidak kasih UMR! Eits, tunggu dulu. Itu kan maunya pemerintah. UMR itu dapat dari mana memangnya? Rumah sakit di pedalaman sepi. Bukan tidak ada yang sakit. Tapi masyarakatnya tidak mau ke rumah sakit karena jauh.

Saya pernah merawat perawat yang mengalami patah tulang. Kecelakaan ketika perjalanan pulang dari rumah pasien. Di pedalaman Banten memang masih berbentuk hutan-hutan. Maka dari pihak puskesmas mengirim perawat untuk masuk ke desa-desa terpencil dengan jalanan berbatu. Sayangnya saat itu apes. Jalanan licin dan ia terjungkal.

Antibiotik seharga 1juta tiga kali sehari selama 7 hari harus diberikan dengan rasa nyeri di dada saya. Gajinya hanya 500ribu perbulan. Dengan jaminan kesehatan yang tak seberapa. Apa pantas saya pasang tarif visite ke rumahnya plus nyuntik dan konsultasi kesehatan sekeluarga?

Ia bukan satu-satunya yang harus menimbang-nimbang ulang. Mencari jalan lain dalam himpitan ekonomi menjadi hal pasti untuk dapat bertahan. Selain rasa ‘ikhlas mengabdi’. Perawat juga manusia yang harus bertahan hidup. Bukan untuk sekedar merawat orang lain. Tetapi tanggungan merawat diri sendiri, keluarga dan orang tua di usia senja.

Lantas apa keluar negeri itu mudah?

Sulit!

Saya tidak ingin berbohong agar teman-teman terhasut keluar negeri. Tidak. Akan saya gelar segamblang-gamblangnya.

Banyak dari kita yang bermula dari hutang untuk mengawali langkah kaki. Mengikuti pelatihan yang tidak gratis. Mengurus berkas. Bolak-balik ke PJTKI di Jakarta. Bahkan ada teman yang terjebak berbulan-bulan di ibukota karena tak ada uang untuk kembali ke Medan. Bertahan dengan selembar uang 10.000 untuk makan seharian.

Belum pula belajar Bahasa Inggris dan Arab. Berlatih soal-soal keperawatan setiap hari. Tidak ada acara untuk hura-hura atau keliling TMII. Selain tak ada waktu, kita memang berusaha irit seirit-iritnya. Ditambah waktu keberangkatan yang entah kapan. Hingga rengekan orang tua yang tak rela melepas kami yang akan berada bertahun-tahun di tanah orang. Tanpa uang bulanan dan keluhan. Apa itu mudah?

Tapi bukankah untuk keluar dari zona nyaman harus melawan arus dulu? Membelah putaran rotasi yang begitu kuatnya. Kami harus melawan kekhawatiran, ketakutan, kecemasan bahkan mendekap kegagalan. Menjadikannya kawan agar kami dapat tidur tenang. Berharap esok sudah berada di tanah seberang dengan perasaan lega.

Teman, sekali lagi saya tidak memaksa perawat untuk keluar negeri. Tapi jika jalan ini bisa menjadi alternatif untuk mengembangkan diri, membahagiakan keluarga dan membanggakan orang tua, kenapa tidak? Toh pekerjaan ini halal bin toyyiban.

Kita tidak mencuri. Digaji karena kita bekerja. Mendapat relasi dari perawat-perawat seluruh dunia. Kapan lagi bisa selfie dengan perawat cerdas dari Philippines dan dokter ganteng asal Turki? Syukur-syukur ketemu jodohnya di sini.

Menentukan pilihan itu penting. Sama pentingnya dengan melewati proses dengan hati lapang. Jika ingin tetap bertahan di tanah sendiri, semoga rasa syukur memenuhi lubuk hati. Membuat lelah jadi lillah. Banyak pula perawat sukses di Indonesia. Tapi jika dengan hijrah membuat kehidupan menjadi lebih baik, apa itu salah?

Rasa bahagia benar-benar buncah. Ketika timeline media sosial dipenuhi foto teman-teman berada di depan ka’bah. Kalimat “kapan umroh lagi” dan “hajian yuk” menjadi obrolan lumrah. Padahal usia mereka masih 22 tahun tapi mengunjungi ka’bah sudah hal yang biasa. Perawat loh itu. Bukan TKW asal atau penyelundup.

Jika tidak berminat ke negeri teluk, bisa ke Taiwan, Japan atau Kanada yang gembar-gembor memberi gaji belasan hingga puluhan juta dengan fasilitas nomor wahid.

Uang memang tidak dibawa mati. Tapi untuk melamar si dia, tidak cukup dengan segepok janji. Minimal untuk pesangon penghulu dan senyum sumringah dari calon mertua di atas pelaminan nanti. Apalagi yang sudah menyandang predikat haji muda, calon mertua mana yang tidak lumer hatinya?

It’s never too late to start all over. Believe in ourselves, work hard and go for success.

“Sometimes, we are so attached to our life that we turn down a wonderful opportunity simply because we don’t know what to do with it.” - Paulo Coelho

We always focus on what we can do without taking any risks. No one asks ourselves : “Could I do something different?”

Allah will not change the condition of a people until they change what is in themselves (Surah Ar-Rad, verse 11)


Violeta
Jeddah, KSA, 3 Januari 2017. 4.24 pm

Hidup ini, Tak Perlu Jadi Juara!



#Violet11
Prestasi? Boro-boro berprestasi, dapat mendali. Saya justru nakal sekali. Benar-benar nakal! Kalian pasti tidak akan menyangka jika saya benar-benar nakal.
Kenakalan saya memang sudah mendarahdaging sejak kecil. Mama tanya dengan galaknya, "kenapa kamu pukul Dito sampai berdarah?"
"Dia narik-narik rok temenku mah. Ria nangis ketakutan. Jadi aku jotos mukanya. Biar kapok!"
Bukannya marah, mama justru tertawa. Begitu cerita mama ketika TK. Saya sendiri lupa bagaimana kejadian yang menghebohkan sekolah itu.
Saya suka usil bermain di kantor guru. Tiba-tiba tiduran di sofa atau mengacak-acak kotak obat. Hingga guru mengelus dada dan mengirim saya mengikuti pelatihan dokter kecil saat SD. Jadilah dokter kecil yang setiap upacara siap siaga di belakang barisan. Sok gaya mengurus teman pingsan. Padahal saya juga tukang pingsan.
Saya juga sering bertanya banyak hal pada guru hingga membuat mereka jengah. Dari pertanyaan sepele, "kenapa harus ada hujan?", Hingga, "kenapa aku sering kebelet pipis waktu hujan?"
Pertanyaan aneh untuk seukuran SD kelas 3. Tapi guru tak dapat menjawab. Karna jawaban itu ada di pelajaran Biologi mengenai mekanisme tubuh terhadap temperatur ruang di kelas 2 SMP.
Bisa jadi, karna pertanyaan nakal itu, saat kelas 5 SD, sekolah mengirim saya mengikuti lomba IPA antar Sekolah Dasar tingkat kota. Tapi kalah! Ditertawakan teman-teman.
Saat SMP, tak kalah nakal. Sering menyembunyikan novel teenlit di tas sekolah. Saya bisa membaca kapan saja. Saat jam istirahat, pelajaran dan pulang sekolah. Duduk di koridor kelas, berjam-jam, lupa pulang.
Karna hobi membaca inilah terkena 'penyakit'. Tahan duduk atau berdiri berjam-jam jika sudah tenggelam dalam buku. Saat di rumah, bisa meringkuk lebih dari 6 jam nonstop. Tanpa bergerak sedikit pun. Bahkan saat mama memanggil dalam jarak kurang dari 1 meter. Saya tak dapat mendengar. Seperti anak autis yang hilang dari dunia nyata.
Bukan sekali dua kali. Tapi berkali-kali. Hingga lupa makan, lupa mandi bahkan bisa semalam suntuk, lupa tidur. Hingga mama geram, dan menyita buku-buku saya. Dilarang membaca satu minggu.
Tapi setelahnya, saya justru semakin tergila-gila dengan dunia kepenulisan. Hingga telah menulis beberapa cerita pendek yang biasa upload di Blog, Facebook dan Wattpad.
Saya juga pernah bolos les bahasa inggris. Pergi ke Gor Tri Lomba Juang Semarang bersama teman-teman, menonton program 'Ceriwis' yang saat itu road show ke kota-kota.vSayangnya satpam sekolah melaporkan kenakalan saya ke papa.
Habis sudah, saya didiamkan papa sepanjang perjalanan pulang. Takut sekali. Tapi sampai di rumah, mama justru berkata, "lain kali kalau mau main bilang ya, jadi ga bikin khawatir papa. Indra Bekti ganteng ga?" Ekhh!!
Dan di tahun yang sama pula. Papa memarahi wali kelas saat penerimaan raport. "Bapak coba cek lagi. Anak saya ga pernah belajar di rumah. Sering main. Nakal sekali. Tidak mungkin dapat peringkat 3! Bapak pasti salah!"
Saat SMA kenakalan semakin menjadi. Saya mengikuti bimbingan belajar. Jika teman-teman mengikuti sesuai program, sesuai peraturan. Seminggu 3 atau 4 kali pertemuan dengan durasi satu setengah jam per pelajaran. Saya tidak.
Saya mengikuti beberapa kelas. Setelah selesai kelas saya, kelas A, pelajaran matematika, akan masuk ke kelas B pelajaran akuntansi, padahal saya IPA. Setelahnya akan menyelundup menjadi anggota kelas C pelajaran Bahasa Inggris. Jika beruntung akan masuk kembali ke kelas D pelajaran geografi.
Tentu saja duduk paling belakang, dekat pintu atau mepet tembok agar tak menyorot perhatian. Masuk setiap hari, dari pagi hingga malam, meski tidak ada jadwal kelas saya. Tentu saja, menjadi 'penyelundup'.
Kenapa? Karna saya suka. Saya suka berdiskusi. Terkadang guru yang sama akan memberikan materi berbeda. Berdiskusi hal berbeda di setiap kelas berbeda mengikuti keaktifan siswa.
Mungkin, karna itu pula, saya lolos test SNMPTN di Diponegoro University dan jalur umum di Politeknik Kesehatan Kemenkes Semarang dalam waktu bersamaan. Padaha tertidur saat mengerjakan soal-soal uji tulis. Ruangan yang dingin dan sunyi berhasil membuat saya mengantuk hebat. Benar-benar nakal!
Kenakalan ini tak berhenti disitu.
Saat kuliah, semakin nakal. Saya sering terlambat masuk kelas. Tiba-tiba datang menenteng tumpukan map. Tapi tak ada dosen yang marah. Karna selalu mengatakan, "maaf Bu, terlambat, baru saja dari kantor Direktur. Membahas kegiatan mahasiswa terbaru."
Sebagai anak perempuan, saya justru jarang di rumah. Ada saja kegiatan. Entah di kampus atau ke luar kota.
Dari kegiatan BEM (badan eksekutif tertinggi di kampus), Forkompi (Forum Komunikasi Mahasiswa Poltekkes se-Indonesia), FKMPI (Forum Komunikasi Mahasiswa Politeknik Indonesia), sesekali rapat ILMIKI (Ikatan Lembaga Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia), menjadi salah satu mentor di NEC (Nursing English Club), atau mengurus UKM Paduan Suara Gita Bakti Husada yang saya pimpin. Membuat 'kelayapan' setiap hari.
Berangkat pagi, pulang dini hari. Meski seringnya tidak pulang. Menyusup ke asrama adik kelas. Atau tidur di koridor kampus. Sampai penjaga bilang, "kuncinya dibawa mbak Vio saja, sekalian jagain kampus." Astaga!
Saya juga pernah diusir oleh Kaprodi (Kepala Program Studi). "Mbak Vio ada apa setiap hari di kampus?"
"Mengurus PPS (OSPEK), Pak."
"Inikan liburan, pulang sana, nonton tv di rumah."
"Nanti juga saya pulang, Pak."
"Pas jam kuliah sering ijin, dikasih libur malah di kampus. Bawa tasnya, pulang sekarang!"
"Tapi ini demi nasib 1500 mahasiswa baru, Pak. Ospek serentak di 5 kota (Semarang, Blora, Magelang, Purwokerto dan Pekalongan)"
"Saya bilang pulang, PULANG!! Awas kalau saya lihat mbak di kampus lagi waktu liburan!"
"I-iya, Pak."
Apakah pulang? Tentu tidak. Saya bersembunyi di masjid. Karna pegang prinsip, pantang mundur sebelum dapat tanda tangan ACC Direktur! Heran juga, saya sebegitu kekeuhnya, padahal Presiden BEM, juga bukan! Nakalnya naudzubillah!
Saat teman-teman fokus ke tugas akhir KTI. Saya justru sok-sokan mengikuti kontes pemilihan Denok dan Kenang (Putra Putri Semarang). Latihan berlenggak-lenggok di catwalk saban sore di tempat kursus model. Revisian menumpuk? Lupakan! Nakalnya ampun-ampunan! Padahal, menang juga kagak!
Setelah lulus, dengan nilai cumlaude tapi tak mendapat penghargaan apapun, bukannya mendaftar jadi PNS, seperti teman-teman kebanyakan, saya justru berkeinginan keluar negeri. Menembus batas kewajaran. Berawal dari bekerja di RS International, membuka langkah untuk benar-benar go international. Maka, disinilah saya sekarang, di luar negeri. Nakal bukan main!
Yang saya ingin bagi adalah, lakukanlah apapun yang ingin kalian lakukan. Ikutilah kegiatan apapun yang kalian suka. Belajarlah dari mana saja. Berhenti menghabiskan waktu memilih-milih mana yang baik mana yang salah.
Lakukan saja. Jika salah, perbaiki sambil jalan. Sungguh, tak pernah ada yang sia-sia meski itu sebuah kegagalan. Pelari yang handal melatih kaki-kakinya untuk terus berlari meski jatuh, terpeleset, terluka hingga patah sekalipun (lihatlah video pelari berkaki besi).
Saya memang nakal, sangat nakal. Tidak pernah mendapat mendali apapun atas apa yang saya lakukan. Tapi saya telah berusaha bertanding dengan kenakalan tersebut. Hingga nakal tidak menyeret saya ke sesuatu yang merugikan. Tapi justru kenakalan, kekalahan, keterpurukan, cemoohan membawa saya melangkah melesat jauh. Jauh merobek kelemahan-kelemahan saya.
Seperti kata Pak Syaifoel Hardy II di bukunya Diaspora Nursing Indonesia,
"Hidup ini, tak perlu jadi juara! Yang penting, kita hari ini lebih baik dari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini.
Biarlah orang lain lebih pintar atau lebih kaya, lebih tampan, lebih cantik, lebih terampil, lebih cekatan dan sejuta kelebihan lainnya. Biarkan mereka menjadi juara dan muncul di surat kabar serta layar kaca. Jangan sakit hati!
Jangan tonton prestasi mereka! Tontonlah prestasi anda sendiri! Jadilah juara bagi diri sendiri yang mengalahkan pertandingan-pertandingan anda sendiri pada hari-hari lalu. Saksikanlah, anda bakal memenangkan pertandingan-pertandingan di hari esok. Tidak dengan siapa-siapa. Namun bertanding dengan diri sendiri. Itulah prestasi!"
Saya memang nakal. Tapi saya bahagia. Karna telah berhasil melawan kelemahan diri sendiri. Hingga mengubah ambisi menjadi tak sekadar mimpi. Membayar kekalahan dengan sejuta cerita pengalaman, yang dapat saya bagi pada anak cucu nanti.
Salam sayang,
Dari si anak nakal.
Riyadh, Arab Saudi, 19 Januari 2016, 01.31 KSA

Organisasi Perawat Indonesia di Arab Saudi, Ada Nggak sih?



#Violet10

Minggu lalu ada yang berbeda di negara teluk. Tepat tanggal 20 Januari 2017, di Mekkah, digelar perhelatan akbar (Haishah). Pertemuan sederhana yang hangat lebih tepatnya. Dihadiri perawat-perawat Indonesia dari berbagai kota di Arab Saudi.
Konon katanya, ini acara kumpul-kumpul pertama dalam abad ini. Eits. Kalau ini kemungkinan benar. Dengan agenda umroh bersama dengan KBRI, acara kumpul santai dengan suguhan roti gulung ini menorehkan sejarah tersendiri di dunia keperawatan Indonesia di Arab Saudi.
Wait, kenapa bahasa saya jadi melangit begini.
Jadi intinya, bertempat di hotel yang jaraknya sepelemparan batu dengan Masjidil Haram, acara ramah tamah berjalan lancar. Dibuka oleh bapak Yuli, selaku ketua Dewan Pengurus Luar Negeri (DPLN) Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) cabang Arab Saudi, yang telah dilantik tanggal 4 November 2016, pemaparan program kerja oleh tiap divisi hingga terkuaknya permasalahan yang ada di Arab Saudi.
Terkuak? Oke. Saya baru tahu ada perawat Indonesia yang sudah mengabdikan diri di Arab Saudi sejak tahun 1992. Itu tepat saat saya masih mungil berlumuran darah. Pertama kali suara saya menggelegar di Rumah Sakit negeri di Semarang, si ibu ini, sudah berjibaku dengan area keperawatan di tanah orang.
Ada pula yang sudah membawa seluruh keluarganya berhijrah. Menikah. Bahkan melahirkan dan membesarkan anak-anaknya di Arab Saudi.
“Sayang kalau sudah berada di sini terus pulang. Mau kerja apa kalau di tanah sendiri?”
Cukup menarik sebenarnya. Karena dulu datang dengan naungan Ministry of Health. Di mana penghasilan dan fasilitasnya tidak main-main. bertahun berselang, banyak dari perawat Indonesia ini menjadi kepala ruang bahkan duduk di birokrasi Rumah Sakit.

Sekarang, jalur yang dibuka hanya Ministry of Social. Ahh, semoga tetap sama-sama sejahteranya.
Saya jadi teringat beberapa minggu lalu, ada seorang perawat dari Sulawesi menghubungi saya. Bertanya tentang proses keluar negeri. Sejujurkan sebagai anak negeri kami ingin tinggal dan besar dengan ibu pertiwi. Tapi berdasar ceritanya, kita semua harus menimbang ulang lagi.
“Saya hanya digaji 100ribu perbulan mbak. Semoga dengan hijrah nanti, saya mampu berpenghasilan lebih. Untuk anak dan keluarga saya.”
Realita ini selalu tak mampu ditampik.
Dibalik begitu pelik dan kejamnya, ada banyak harapan dan doa yang ditorehkan. Maka jangan heran, jika setiap tahun, semakin banyak perawat yang berbondong-bondong mengadu nasib di negeri orang.
Katanya, “tak apalah jadi asissten nurse, asal anak-anak mampu sekolah dan berkehidupan layak. Apalagi bisa haji tanpa mengantri puluhan tahun. Saya sudah sangat bersyukur.”
Begini ini tugas-tugas organisasi yang bukan hanya menampung aspirasi, tetapi bahu-membahu membantu. Mengusung satu visi dengan PPNI pusat di Indonesia. Perawat-perawat di Arab Saudi juga harus mampu berdikari. Tak ada lagi merengek-rengek minta diperhatikan. Tapi kita yang harus sadar diri untuk memberi perhatian pada sesama profesi. Kalau bukan kita, siapa lagi?

Pertemuan kedua dilaksanakan di Hotel Al-Haram Madinah. Setelah berziarah di makam Nabi Muhammad SAW, para perawat ini masih semangat mengikuti pertemuan. Ditemani secangkir kopi panas dan tahu isi di atas meja, keakraban yang ‘Indonesia banget’ tercipta. Hingga 2 jam berdiskusi pun tak terasa. Ahh, rasanya tak ingin berakhir saja.
DPLN PPNI cabang Arab Saudi menjadi tumpuan banyak orang. Tidak hanya bagi perawat Indonesia, tetapi juga seluruh jajaran pemerintahan di Arab Saudi. Bagaimana pun juga, sebuah profesionalisme harus dijalankan dengan cara profesional.
Permasalahan seperti kontrak kerja, gaji bahkan prinsipil seperti pencarian jodoh insyaallah bisa teratasi. Tidak mudah memang, seperti menyeleksi wanita untuk calon istri. Tapi jika didasari dengan hati bekerja untuk negeri, tak ada yang tidak mungkin, kan?
Saya melangkahkan kaki keluar Masjid Nabawi setelah shalat dhuhur. Sebagai ajang perpisahan, doa untuk kebaikan organisasi ini semoga naik keatas langit. Menembus gemawan. Menyibak angan-angan. Akan selalu ada harapan, bagi mereka yang tak mudah putus asa. Untuk menghadapi tantangan, bukan menyalahkan keadaan.
Semoga jejak awal ini tidak mudah hilang disapu gelombang pasang. Organisasi yang membuat perawat Indonesia di Arab Saudi bernapas lega. Keajaiban itu ada, bagi mereka yang percaya. Semoga.

*Violeta
Jeddah, KSA. 27 Januari 2017. 4.49 pm

Suka Duka Perawat Indonesia di Arab Saudi (Bagian 2)

#Violet9
Si arab tulen, badan tinggi besar berkulit gelap, membawa kami ke kantornya dengan mobil. Wow.. aku kira timur tengah itu full padang pasir. Ternyata, hijau banget. Taman sepanjang jalan ditata sedemikian rupa. Cantik sekali. Kami mampir di resto kecil untuk sarapan kebab dan jus. Lalu berlanjut foto (2 hari ga mandi tiba-tiba di minta foto! Muka saya saudara-saudara. Kacau bin balau!) di studio foto sederhana. Lalu ke klinik terdekat untuk medical check up. Ini syarat untuk membuat iqamah (KTP Arab Saudi).
Singkat cerita, kami sampai di rumah singgah. Kami di sodorkan 3 liter susu sapi murni. Harus habis. Katanya, wajah kami seperti orang kelaparan. Yaellahh!!
Okeh tubuh saya memang mungil di banding orang timur tengah yang tinggi, besar dan berisi. Tapi bukan berarti kurang gizi ya. Menurut index massa tubuh, aku ideal kok! (Membela diri maksudnya, haha)
Dari rumah itu, kami berpisah, diantar ke tujuan masing-masing. Sedihnya, hingga sekarang aku tak pernah bertemu mereka lagi. Aku sendirian di antar ke rumah pasien homecare. Di antar sopir dari India. Ramah dan sopan. Benar-benar menyenangkan ngobrol dengan yang satu ini. Dia mahir berbahasa inggris. Selamatlah saya.
Setelah sampai di Apartment salah seorang petinggi perusahaan Bin Laden itu, aku tidak menemukan pasien yang dimaksud.
"You will take care my grandfather. He is staying in Riyadh now. Insyaallah 3 days again, we'll go there." Begitu katanya dengan suara dalam. Aku shock! Sempat heart attack! Naudzubillah. No no.. lalu ngebatin, "Riyadh itu sebelah mana ya?" Ketahuan, nilai geografinya buruk rupa. Setelah buka Google maps, ternyata 900 km dari Jeddah ke arah timur. Yah, semakin jauh dari Mekkah. Hixhix..
Akhirnya di Airport Jeddah (Airport lagi, lagi lagi airport, males banget bertemu petugasnya, huhuu). Dan benar saja, baru di skrining tas. Pertanyaan itu datang.
"Do you bring a knife?" Aku melotot. "No." 
Dia ngotot, "Yes, you bring!" Astagfirullah, ngapain aku bawa-bawa pisau? Dia me-skrining lagi tas punggung hitam yang akan aku bawa ke kabin.
"Open!" Teriaknya. Astagfirullah. Malunyaa.. itu bandara international coy. Semua orang langsung menatap saya curiga. Ada apa dengan cinta, eh, ada apa dengan saya!
Aku sendirian. Pendatang. Tak bisa mengelak. Maka kuturuti saja maunya. Ya Allah. Apa ada orang jahat yang menyusupkan pisau di tas butut ini? Aku mulai gemetaran.
Dia mengeluarkan paksa semua isi tas di meja pemeriksaan. Dari boneka (ini penting!), dokumen, syal, dompet, semuanyaaa... pengen menangis, menatanya saja sudah setengah mati. Sekarang di acak-acak.
And you know what? Pisau menyebalkan yang dituduh petugas itu adalah... SISIR!! Yes, sisir! Sisir saya saudara-saudara, dikira pisau!
Akhirnya, petugas tersebut meminta maaf dan membantu memasukan kembali ke dalam tas. Tapi susunannya porak-poranda! Dan dan.. boneka saya hilang! Aku celingukan. Eh ternyata, ada anak kecil yang membawanya kabur. Waa.. maka terjadilah adegan tarik menarik boneka patrick di tengah kerumunan antara anak usia 5 tahun vs saya, usia 7 th plus plus. Astagfirullah, malunya sampai pengen masuk ke roda pesawat!
Sampailah di Riyadh yang istimewa. Dipertemukan dengan pasien saya berusia 96 tahun yang hanya bisa Bahasa Arab. Congratulation vio!! #Matilah saiyaa!
Okeh, jadi fix aku tinggal di rumah yang alhamdulillah, besarnya sekampung. 3 lantai keatas dan bawah tanah. Ada lift dan 3 tangga menuju ke atas. Kolam renang besaarrr di belakang dan taman keren di samping yang kebanyakan tanamannya import dari Indonesia! Dari lidah buaya, kencur, melati hingga pohon kamboja.
Maka dimulailah semua cerita keseharianku, Violeta dari Indonesia.
Di rumah ini ada 8 penghuni asli dan 10 tambahan dari berbagai negara. Abdullah, koki baik hati dari Philippines. Ahmad, penanggungjawab dapur dari Cairo, Mesir yang masyaallah, sudah 26 tahun bekerja disini. Jago banget bawa nampan. Ternyata eh ternyata, dulu 10 tahun bekerja di restoran di Roma. Bbeuhh, mantep nyak! 3 orang dari Euthopia, Sara, Kadija dan Sovia yang usil jahil tapi baik binggo. Sering ngasih cabe. Disini ga ada sambal bro. Jadi kita ngunyah cabe hijau besar gelondongan! (Ga ada cabe rawit disini)
Dari Philippines ada Lin yang jago buat kue and Imelda yang selalu semangat kalau ketemu mesin jahit. Driver baik hati Salim dari India yang siap sedia mengantarku kapanpun kemanapun, Amir dari Mesir, dan Bonsi dari Thailand. Yang tugas ngepel sehari 4 kali ada Alawi dan Don dari Nepal. Yang kalau butuh apa-apa juga tinggal calling mereka. Bahkan mereka dengan senang hati pergi ke toko cuma buat beliin sebatang pasta gigi buatku.
Pula Shama, dosen perawat RN (Registered Nursing) dari India yang, ya ampuunn.. baik dan pinter banget. Ternyata ada dosen sebaik itu disana. Kita jadi partner, (astaga! partner gue dosen RN mamen!!) yang menjaga baba (panggilan buat pasien saya) 24 jam. Yes, 24 jam. Tapi karna baba tidur 15 jam sehari, jadilah kita juga tidur 15 jam sehari. Haha. Kagaklah.. kita tidur secukupnya. Alhamdulillah 15 jam cukup. #cetar!
Tugasku ringan, hanya menyuapi baba, memandikan, menemani menonton tv, mengantar ke hospital 2x seminggu untuk hemodialysis, mendorong kursi rodanya ke mall, atau ke restoran. Selebihnya menemani ngobrol dalam bahasa arab yang kadang aku masih loading lama kalau Baba ngamuk teriak-teriak. Alzheimer's benar-benar mengobrak-abrik pikirannya. Emosi tidak stabil. Bahkan ia tak mampu mengingat namaku. Dalam sehari, aku bisa memperkenalkan diri puluhan kali,
"Min anti?" - siapa kamu?
"Ana Vio, ya Baba" -saya vio, ya baba
"Vio min?" -vio siapa?
"Mamaridah" -perawat
"Toyyib, fii e?" -baik, ada apa?
Begitulah percakapan yang diulang puluhan kali setiap hari. Karna Baba lupa dalam sepersekian detik.
Tugas menjaga baba dilakukan 3 orang. Yap! 3 orang menjaga 1 pasien. Ringan pake buanget kan? Berat badanku sampai melonjak 4 kilo gegara jarang gerak. Mentok duduk berjam-jam sambil makan es krim Baskin Robbins atau 15 jam tidur! (Ebusett! Itu kerja apa ngerjain?!)
Aku datang tanpa bisa bahasa arab, Alhamdulillah hari ini genap 5 bulan terlewat. Sedikit-sedikit mulai terbiasa. Karna mau tak mau, bahasa sehari-sehari adalah Bahasa Inggris dan Bahasa Arab.
So guys, buat teman-teman yang berniat keluar negeri, persiapkanlah dengan matang semuanya. Dari dokumen dan mental. Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi di depan. Aku juga ga tahu kalau akhirnya sendirian di rumah ini. Satu-satunya dari Indonesia.
Awal datang, sering menangis waktu shalat. Takut. Khawatir dipulangkan karna sering melakukan kesalahan. Tapi waktu membuat aku tegar. Life must go on! Yap. Aku harus berdiri tegak, mandiri dan kuat. Aku tidak bisa bergantung pada siapapun, kecuali Allah. Toh aku datang kesini juga tidak dengan instan. Perjalanan panjang dan menyakitkan membawaku jauh melebihi apa yang aku impikan.
Jangan pernah takut bermimpi kawan. Jangan pernah menyerah pada keadaan. Dan jangan pernah takut sendirian. Allah selalu bersama hambanya yang selalu mengingat Ia. Dimanapun, kapanpun.
Sendirian bukan berarti kita tak memiliki siapa-siapa. Tapi itu berarti, Allah mengijinkan kita untuk bertemu dengan keluarga baru. Disini saya memiliki keluarga yang luar biasa. Bahkan aku sangat terharu saat salah seorang anak dari pasienku berucap, "I am your mother here. If you need something, please tell me."
Dan saat masa percobaan 2 bulan terlewati, Ia berkata dengan mata berbinar, "are you happy, Violet? Because I hope you will stay here in a long time."
Ia memelukku, setelah aku menjawab, "I am glad, madam. I found my new family here. And you are like my mother. Thank you for your love."

*Violeta
Riyadh, Saudi Arabia, 28 Januari 2016, 01.29 waktu KSA

One Day One Post

Saya tak pernah benar-benar mengerti. Sebuah perkumpulan manusia dengan satu misi. Lucu jika kemudian ada yang bertahan dan tereliminasi. Bu...