Jumat, 17 Februari 2017

Melawan Ketakutan Meninggalkan Zona Nyaman

#Violet 18

“BERHENTI VIO!! Jangan bodoh!! Itu mustahil!”

Tubuhnya yang dua kali lebih besar berada tepat di depan motorku. Sedetik sebelum aku menyalakan mesin. Tangan kekarnya mencengkeram spion kiri. Matanya tajam menebas. 

“Tidak ada alasan untuk mundur.” kataku sarkas.

“GILLAA KAU!! Nggak tahu malu!!”

“Aku hanya ingin mencoba. Dan aku yakin kita mampu! Sampai kapan kita takut maju?” Aku balas menatapnya. Pupilnya membulat. Dadanya naik turun.

“Iya tapi bukan sekarang! Pokoknya tarik berkasnya!!”

“Enggak. Enggak bisa.” Aku mulai mengatur nafas. Melempar pandang ke gedung berlantai 4 yang baru saja aku tinggalkan. “Direktur tanda tangan acc proposalku. Para petinggi juga ambil bagian di acara ini. Siap nggak siap kita harus siap.”

“BODOH!! NYARI MATI KAMU!!!” Suaranya menggelegar. Cengkeraman tangannya semakin erat. Aku dapat mendengar gemeletak dari jemarinya. “Kita pasti kalah!”

“Aku nggak nyari pemenang. Yang penting kita punya keberanian. Jadi tahu sejauh mana kemampuan kita. Kalau berfikiran kalah sampai kapanpun tidak akan pernah melangkah! Kemampuan kita ya begini-begini terus. Tim ini harus berkembang! Dan aku yakin kita bisa!!” kalimatku tak kalah tegas. Kepalaku mulai panas.

“Aku benci sifat optimismu itu Vii!” Dia mendengus.

“Tim ini butuh kamu.” Cengkeramannya melonggar. Dia mundur selangkah.

“Sorry, aku ada jadwal dinas di Rumah Sakit.”

“Kamu bisa ijin. Nanti suratnya aku yang urus. Latihannya mulai Senin.”

“Enggak. Aku nggak mau jadi pecundang.”

“Ayolaahh.. Kali ini saja. Hei!! Mau kemana?”

“Pulang.” Katanya sambil berlalu. Meninggalkanku mematung di atas motor. Tempat parkir kampus senyap. Hanya riuh angin menggoyang dedaunan di sekitar lapangan. Menghantar matahari merambat ke peraduan.

Dua bulan kemudian, kami tampil di event nasional. Paduan Suara Gita Bakti Husada Poltekkes Kemenkes Semarang, untuk pertama kalinya dalam 10 tahun berdiri, mengikuti ajang perlombaan. Sebuah panggung yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Aku sendiri tidak tahu bagaimana kekuatan itu hadir begitu mengejutkan. Aku adalah seorang yang penakut. Aku teramat takut pada sebuah kesempatan. Takut gagal. Takut dicemooh. Dan takut malu.

“Enggak pak. Saya takut kalah.”

“Ya harus ada yang kalah agar ada yang jadi pemenang. Lagian toh bagaimana kita tahu kalah jika mencoba saja belum?” Kalimat Guru Bahasa Indonesia mengaung-ngaung di telinga. Permintaannya untuk mengirim naskah puisiku ke perlombaan SMA tingkat nasional aku tolak begitu saja. Benar-benar menjadi pengecut.

Bertahun-tahun terlewat dan aku menyesalinya. Ahh yaa.. Kau tahu itu. Penyesalan selalu datang di babak penutupan. Dan di kesempatan kali ini, aku tak mau mundur lagi.

Apakah aku tidak takut keluar negeri? Heii.. Aku sangat ketakutan! Beberapa hari menjelang keberangkatan bahkan tidak dapat terlelap. Pikiranku melompat-lompat dari takut tidak di terima, gagal beradaptasi hingga dideportasi. Membayangkan pengapnya penjara luar negeri. Dan maraknya penculikan, pemerkosaan hingga pembunuhan di media masa seantero negeri.

Tapi hampir satu tahun terlewat, nyatanya semua baik-baik saja. Lihat, betapa berprasangka buruk melemahkan tubuh kita. Betapa pikiran busuk yang justru sering merusak masa depan kita. Mengkerdilkannya. Membumihanguskan segalanya.

Teman, bukan sekali dua kali aku di anggap bodoh, idiot dan tidak tahu diri. Tapi bukan berarti kita harus berhenti. Setiap orang memiliki masanya sendiri-sendiri. Bisa jadi saat ini kita sedang berguling-guling di atas tanah. Tapi bukan hal yang tidak mungkin jika suatu hari nanti kita dapat merebah di tanah puncak Mahameru.

You can achieve the unachievable. Kamu dapat meraih apa yang tidak dapat diraih. Don’t look for the next opportunity. The one you have in hand is the opportunity. Jangan takut salah dan kalah. The person who doesn’t make mistakes is unlikely to make anything. Failure was a major contributor to its success.

Sertifikat ini aku dapatkan setahun lalu. Selama hampir 5 tahun terjerat ketakutan. Akhirnya, aku mencoba saran beliau. Puisi pertama di dalam hidup yang aku kirim ke perlombaan. Hasilnya... Bisa kau lihat sendiri.

No automatic alt text available.
Paduan Suara Gita Bakti Husada Poltekkes Kemenkes Semarang tahun 2011 yang aku pimpin memang tidak menjadi pemenang dalam event itu. Tapi dari situ, titik awal kita mampu mengikuti ajang perlombaan selanjutnya. Keberanian itu tumbuh dan berkembang pesat seiring berjalannya waktu. Dan panggung demi panggung mereka pijak untuk mengasah kemampuan diri. 

Pemenang bukanlah yang membawa pulang piala. Tapi yang telah berusaha optimal, berlatih maksimal, bertekat menampilkan yang terbaik serta menumbangkan ketakutan adalah pemenang sesungguhnya. 

Bukankah musuh sejati adalah diri sendiri?

Aku selalu ingat kalimat pamungkas dari Paul Arden ini.. “Try to do the things that you’re incapable of. Make your vision of where you want to be a reality. Nothing is impossible.”

Salam Spektakuler Paduan Suara Gita Bakti Husada.
Salam literasi Indonesia.

Dari si Bodoh yang tidak kunjung pintar.


*Violeta
Jeddah, Arab Saudi. 14 Juli 2016. 7.24 am

1 komentar:

  1. Kak cita cita aku pingin kerja disana. Boleh minta kontak? Ingin sedikit di motivasi.

    BalasHapus

One Day One Post

Saya tak pernah benar-benar mengerti. Sebuah perkumpulan manusia dengan satu misi. Lucu jika kemudian ada yang bertahan dan tereliminasi. Bu...