Jumat, 17 Februari 2017

Tenang, Perawat bukan Teroris


Image may contain: 1 person, standing and outdoor
#Violet 15

"Saya dilarang orang tua untuk bekerja di Arab Saudi, mbak." Saya menarik napas dalam-dalam. Menyimak setiap kalimatnya. Ada kekecewaan melekat di setiap uraian.

"Kan Arab Saudi negara konflik. Lagi perang disana. Apalagi soal ISIS."

Kali ini saya hempas napas sekuatnya. Sampai sejauh ini, Indonesia masih saja dijejali informasi yang begitu-begitu saja. Tidak berubah. Selalu memberitakan masalah. Tidak pada siapa dan dimana konflik itu bermula.

Subjektivitas media dalam meramu dan mencerna informasi hingga berbuah suatu tindakan tidak pernah lepas dari kesaksian atau tafsiran. Bermula dari perasaan atau pikiran manusia, melahirkan sikap memihak terhadap pendapat pribadi atau golongan tertentu. Dalam berkehidupan, mengungkapkan fakta membutuhkan interpretasi dan interpretasi melibatkan subjek.

Maka menilai dan menjaga agar tidak mengandung subjektivistik menjadi penting. Agar tidak terjadi kesewenang-wenangan subjek dan membawa konsekuensi terhadap objek yang seharusnya dilihat dari segala sudut pandang berbeda.

Selama ini kita temui banyaknya subjektivikasi, entah dalam narasi di dunia kepenulisan atau berkehidupan. Menjadi sebuah pilihan yang harus diambil atau ditegakkan keakuratannya. Menulis sendiri menjadi saksi atas ketidakberdayaan diri dalam mengamati sebuah kebenaran. Tulisan-tulisan yang lebih sering tercipta dari pendapat diri atau golongan hingga melepaskan esensi dari makna keterangan yang mengekor dibelakangnya. Saya, atau bahkan kita semua menjadi sangat sensitif dengan keberadaan subjek. Kemahsyuran masalah, bukan pada sebab akibat masalah tersebut terjadi.

Seperti makna teroris yang sering kita dapatkan di media-media televisi, cetak, bahkan online. Teroris menjadi sebuah ikon, brand bahkan cap basah yang disematkan pada Islam. Negara Islam yang cinta damai justru menjadi tempat bertempur yang tak pernah ada habisnya. Teriakan takbir menggema di bawah reruntuhan kota, headline news di berita internasional, bahkan topik hangat di konferensi antar negara. Pemandangan yang lucu ketika mereka berlomba memojokkan suatu golongan yang sebenarnya adalah salah satu tubuh mereka sendiri.

Teroris, kian hari kian gencar menyerang tempat-tempat yang jauh dari medan perang. Tidak hanya menggunakan bom-bom dan rudal, tetapi juga menyusup ke area hukum, politik hingga sosial. Kekhawatiran ditangkap dan diseret ke penjara saat berada di salah satu bandara internasional di Perancis membuat banyak wanita terpaksa membuka kerudung. Bahkan tidak tanggung-tanggung terusir dari pantai dan dipaksa melepas kerudung serta baju panjangnya saat itu juga. Mereka curiga, dibalik baju panjang itu, ada bom yang disembunyikan. Jadi siapa yang mengucilkan dan dikucilkan?

Di Turki, situasi tak lebih baik dari rumah tetangga. Bom beruntun yang menyerang kota membuat banyak negara menarik para mahasiswa peraih beasiswa yang sedang menuntut ilmu disana. Bahkan universitas ternama harus mengungsikan mahasiswanya untuk belajar di negara-negara yang telah disepakati. Eropa dan Amerika Serikat menjadi tempat pelarian dari segala tragedi. Ketakutan terjadinya kehancuran seperti kondisi di Jalur Gaza membuat mereka mengambil sikap siap siaga. Jadi siapa yang mengusir dan terusir?

Telah nampak bagaimana dunia memandang teroris tak hanya sekadar pemicu ledakan, pembuat onar dan yang nampak jelas, orang-orang berpakaian hitam-hitam, bercadar, dengan jenggot dan celana diatas mata kaki menjadi sumber dari bergejolaknya kondisi saling serang. Tuduhan demi tuduhan kepada negara islam dan orang islam semakin mengerucutkan kepemahaman akan kondisi yang sebenarnya. Padahal, di negara islam itulah banyak korban berjatuhan.

Bukan hal baru lagi ketika harus membuat informasi seimbang. Menampilkan subjektivitas dan keterangan yang objektif. Mengangkat sudut pandang pada kebenaran mutlak sesuai kenyataan. Termasuk informasi tersembunyi. Tidak memihak dan tidak terikat. Pula harus sesuai dengan peristiwa yang terjadi dan dapat dipertanggungjawabkan.

Kini, si anak tersebut menerima keputusan orang tua. Tetap berada di rumah dengan perlindungan keluarga. Padahal saya yakin dia mampu mendapatkan lebih dari apa yang dia capai sekarang. Melanjutkan bekerja di salah satu rumah sakit di Indonesia menjadi pilihan satu-satunya agar tidak menjadi anak durhaka.

Lihat bagaimana dampak media dengan pemberitaan subjektif merong-rong masa. Mengkerdilkan nyali. Membunuh mimpi. Padahal, jika saja restu orang tua dikantongi, bukan hal mustahil ia dapat haji dan menghajikan orang tua di usia dini. Bersujud di depan Ka'bah dan menziarahi makam Nabi Muhammad SAW menjadi titik balik pengingat tugas manusia di alam dunia.

Sayang sekali bukan, jika sampai sekarang pun masih ada yang beranggapan bahwa Islam itu teroris dan teroris itu Islam. Tidak hanya korban nyawa tetapi juga hilangnya kesempatan maju para generasi penerus bangsa.

Mari baca lagi. Mari belajar lagi.



*Violeta
Jeddah, KSA. 7 November 2016. 11.10 pm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One Day One Post

Saya tak pernah benar-benar mengerti. Sebuah perkumpulan manusia dengan satu misi. Lucu jika kemudian ada yang bertahan dan tereliminasi. Bu...