Selasa, 14 Februari 2017

'Perawat' Go International, Kenapa Tidak?



#Violet12


Beberapa saat lalu ada teman yang mengomeli saya. Katanya, tulisan-tulisan saya diskriminatif dan memaksa perawat untuk rame-rame keluar negeri. Meninggalkan Indonesia yang sedang butuh banyak tenaga kesehatan. Loh. Saya tidak memaksa kok. Saya hanya mengajak. Jika tidak berkenan ya silakan.

Persis sama ketika menemukan PJTKI ke Timur Tengah dalam acara International Job Fair di Bandung. Si penjaga stand tidak memaksa saya untuk berhenti. Tapi tulisan besar ‘Lowongan Perawat ke Arab Saudi’ yang menggiring kaki masuk dan mengobrol hingga mengisi formulir.

Sama ketika tulisan ‘Pendaftaran Perawat ke Jepang’ yang menarik tubuh mendekat. Meski berdesakan, setumpuk lembaran tata cara mendaftar hingga contact person penjaga pun saya dapatkan.

Mereka tidak memaksa. Tapi pilihanlah yang membuat pikiran saya berbenah.

Apa bekerja di negeri sendiri tidak enak?

Tergantung bagaimana menyikapi. Disamping bekerja di rumah sakit internasional dan home care, beberapa kali juga saya menjadi mantri keliling. Meski hanya sekitaran kos. Lumayan, sekali suntik dapat sebungkus kerupuk, kadang gorengan atau segepok pisang. Tak jarang hanya mengantongi ucapan terima kasih.

Padahal strip cek gula darah itu harus dibeli dengan uang. Belum lagi jika hasilnya abnormal. Jadilah konsultasi satu jam lebih. Dijelaskan sampai mulut berbusa-busa agar si tetangga paham.

Saya yang berada di tengah Kota Bandung saja begitu. Bagaimana nasib perawat di pedalaman?

Di tahun 2016 yang katanya semua serba canggih. Masih ada tuh perawat digaji 50.000 perbulan. Itu untuk beli bensin ke tempat kerja saja kurang, apalagi untuk makan, bayar listrik, tabungan nikah. Dapat dari mana?

Salah tempat kerjanya tuh! Tidak kasih UMR! Eits, tunggu dulu. Itu kan maunya pemerintah. UMR itu dapat dari mana memangnya? Rumah sakit di pedalaman sepi. Bukan tidak ada yang sakit. Tapi masyarakatnya tidak mau ke rumah sakit karena jauh.

Saya pernah merawat perawat yang mengalami patah tulang. Kecelakaan ketika perjalanan pulang dari rumah pasien. Di pedalaman Banten memang masih berbentuk hutan-hutan. Maka dari pihak puskesmas mengirim perawat untuk masuk ke desa-desa terpencil dengan jalanan berbatu. Sayangnya saat itu apes. Jalanan licin dan ia terjungkal.

Antibiotik seharga 1juta tiga kali sehari selama 7 hari harus diberikan dengan rasa nyeri di dada saya. Gajinya hanya 500ribu perbulan. Dengan jaminan kesehatan yang tak seberapa. Apa pantas saya pasang tarif visite ke rumahnya plus nyuntik dan konsultasi kesehatan sekeluarga?

Ia bukan satu-satunya yang harus menimbang-nimbang ulang. Mencari jalan lain dalam himpitan ekonomi menjadi hal pasti untuk dapat bertahan. Selain rasa ‘ikhlas mengabdi’. Perawat juga manusia yang harus bertahan hidup. Bukan untuk sekedar merawat orang lain. Tetapi tanggungan merawat diri sendiri, keluarga dan orang tua di usia senja.

Lantas apa keluar negeri itu mudah?

Sulit!

Saya tidak ingin berbohong agar teman-teman terhasut keluar negeri. Tidak. Akan saya gelar segamblang-gamblangnya.

Banyak dari kita yang bermula dari hutang untuk mengawali langkah kaki. Mengikuti pelatihan yang tidak gratis. Mengurus berkas. Bolak-balik ke PJTKI di Jakarta. Bahkan ada teman yang terjebak berbulan-bulan di ibukota karena tak ada uang untuk kembali ke Medan. Bertahan dengan selembar uang 10.000 untuk makan seharian.

Belum pula belajar Bahasa Inggris dan Arab. Berlatih soal-soal keperawatan setiap hari. Tidak ada acara untuk hura-hura atau keliling TMII. Selain tak ada waktu, kita memang berusaha irit seirit-iritnya. Ditambah waktu keberangkatan yang entah kapan. Hingga rengekan orang tua yang tak rela melepas kami yang akan berada bertahun-tahun di tanah orang. Tanpa uang bulanan dan keluhan. Apa itu mudah?

Tapi bukankah untuk keluar dari zona nyaman harus melawan arus dulu? Membelah putaran rotasi yang begitu kuatnya. Kami harus melawan kekhawatiran, ketakutan, kecemasan bahkan mendekap kegagalan. Menjadikannya kawan agar kami dapat tidur tenang. Berharap esok sudah berada di tanah seberang dengan perasaan lega.

Teman, sekali lagi saya tidak memaksa perawat untuk keluar negeri. Tapi jika jalan ini bisa menjadi alternatif untuk mengembangkan diri, membahagiakan keluarga dan membanggakan orang tua, kenapa tidak? Toh pekerjaan ini halal bin toyyiban.

Kita tidak mencuri. Digaji karena kita bekerja. Mendapat relasi dari perawat-perawat seluruh dunia. Kapan lagi bisa selfie dengan perawat cerdas dari Philippines dan dokter ganteng asal Turki? Syukur-syukur ketemu jodohnya di sini.

Menentukan pilihan itu penting. Sama pentingnya dengan melewati proses dengan hati lapang. Jika ingin tetap bertahan di tanah sendiri, semoga rasa syukur memenuhi lubuk hati. Membuat lelah jadi lillah. Banyak pula perawat sukses di Indonesia. Tapi jika dengan hijrah membuat kehidupan menjadi lebih baik, apa itu salah?

Rasa bahagia benar-benar buncah. Ketika timeline media sosial dipenuhi foto teman-teman berada di depan ka’bah. Kalimat “kapan umroh lagi” dan “hajian yuk” menjadi obrolan lumrah. Padahal usia mereka masih 22 tahun tapi mengunjungi ka’bah sudah hal yang biasa. Perawat loh itu. Bukan TKW asal atau penyelundup.

Jika tidak berminat ke negeri teluk, bisa ke Taiwan, Japan atau Kanada yang gembar-gembor memberi gaji belasan hingga puluhan juta dengan fasilitas nomor wahid.

Uang memang tidak dibawa mati. Tapi untuk melamar si dia, tidak cukup dengan segepok janji. Minimal untuk pesangon penghulu dan senyum sumringah dari calon mertua di atas pelaminan nanti. Apalagi yang sudah menyandang predikat haji muda, calon mertua mana yang tidak lumer hatinya?

It’s never too late to start all over. Believe in ourselves, work hard and go for success.

“Sometimes, we are so attached to our life that we turn down a wonderful opportunity simply because we don’t know what to do with it.” - Paulo Coelho

We always focus on what we can do without taking any risks. No one asks ourselves : “Could I do something different?”

Allah will not change the condition of a people until they change what is in themselves (Surah Ar-Rad, verse 11)


Violeta
Jeddah, KSA, 3 Januari 2017. 4.24 pm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One Day One Post

Saya tak pernah benar-benar mengerti. Sebuah perkumpulan manusia dengan satu misi. Lucu jika kemudian ada yang bertahan dan tereliminasi. Bu...