Selasa, 14 Februari 2017

Perawat Suguhkan Hati, Jantungnya Diminta Juga

#Violet2

Hari senin lalu, saya mengunjungi Rumah Sakit Suleman Fakeeh di Jeddah. Bangunan besar dengan fasilitas optimal. Menyandang profesi perawat ketika memasuki tempat baru ternyata sangat mengganggu. Setidaknya, kita tahu cara menilai pelayanan hingga remeh temeh di mana letak tong sampah. Atau minimal membatin lantainya selicin apa agar pasien tidak mudah tergelincir.
Penilaian ini pula yang membuat saya tersentak ketika menunggu antrian di ruang tunggu. Wanita paruh baya di samping mulai berteriak dan mengomeli perawat dengan bahasa arab yang sulit saya terjemahkan. Saya hanya menangkap aroma kekesalan karena tak kunjung dipanggil. Padahal, ya memang belum gilirannya. Tapi menuduh antriannya diserobot.
Belum lagi perawat penjaga pintu OPD. Banyak yang berusaha nyelonong masuk tanpa permisi. Si perawat sudah baik menanyakan keperluan. Ya namanya manusia, kemauannya kadang tak terkendali. Maka perempuan-perempuan ini siap adu argumen lemah lembut dengan laki-laki badan besar dan kekar. Harus sesuai prosedur, kan?
Saya mengamati dari kursi tepat di depan meja security. Menahan geli. Entahlah, sejak sejam yang lalu petugas itu tak menampakkan keeksistensiannya. Maka tentu saja, luapan emosi butuh pelampung, lagi-lagi, perawat yang jadi mangkok-mangkok penampung.
Ternyata, tidak di Indonesia, tidak di Arab Saudi. Hanya beda belahan bumi. Mirip saudara tiri.
Memangnya ada apa dengan perawat, kok sampai begini?
Ya kali memang nasibnya.
Heii, ilmu kita bayar pakai uang. Bahkan harus lunas administrasi puluhan juta sebelum tahu kelasnya di sebelah mana. Sayang sekali tidak kenal kata menghutang. Harus cash di depan, atau tak usah mimpi berekor S.kep di belakang nama.
Katanya, dokter adalah otak rumah sakit, perawat adalah jantungnya. Tapi kejadiannya, sudah disuguhkan hati, jantungnya diminta juga. Diberi senyuman, dikira ada maunya. Disapa ramah, dibilang genit ampun-ampunan. Giliran diketusin, katanya tak pantas jadi perawat.
Pernah kejadian di Riyadh, perawat dapat peringatan karena tersenyum kepada pasien. Dibilang, sok keganjenan. Malah ada yang dapat sentakan saat pengkajian dengan pasien laki-laki. Katanya, haram, bukan muhrim. Lah, perawatnya wanita semua, apa mau dikaji dengan sopir? Dijamin lelaki tulen.
Haruskah kami transplantasi jantung agar mampu membuat kalian berdenyut hidup? Siapa yang hidup kalau begitu? Jantung pasien atau perawatnya? Ahh, butuh pendonor jantung yang banyak kalau begitu.
Pintu OPD terbuka lagi, sepasang suami istri keluar dengan air muka yang hangat dan tenang. Mungkin berita dari dokter mampu melunturkan kekhawatirannya, dan senyum terima kasih si perawat, menggugah jiwa.
Terkadang saya tak mampu lagi berkata, jika ditanya, “kenapa memilih jadi perawat?”
Bukan tak sanggup menjelaskan duduk perkara, tapi siap-siap saja digelontorkan gelombang tawa dan sinis tidak percaya. Karena jawabannya hanya 2 kata, “panggilan jiwa.”
Tak perlu pula lah saya ceritakan tentang kegalauan hingga shalat istiqarah dan mimpi ghaib itu. Toh nyatanya, saya sudah membagi kebahagiaan dengan kalian. Menyaksikan megahnya Masjidil Haram dan menawannya ukiran di langit-langit Masjid Nabawi.
Semua berasal dari mimpi konyol menjadi perawat yang katanya sudah tak memberi pengharapan lagi. Kerja bertaruh nyawa dengan embel-embel gaji entah apa kabarnya.
Kawan, mimpi itu untuk diperjuangkan. Sayang sekali jika pilihan hanya sekedar pilihan. A dream doesn’t become reality through magic, it takes sweat, determination and hard work.
Perawat penjaga pintu OPD dan yang kena semprot pasien itu tentu telah melewati masa sulit dibanding menenangkan ledakan emosi. Bergulat dengan operasi, menyelamatkan bayi-bayi, hingga mengantar kematian menjadi jalan yang tak semua orang mampu mengambilnya.
Jadi jangan berhenti berusaha hanya karena kalimat sarkas menelasak telinga. Biarkan mereka berkata, kita tetap berkarya. Perawat bisa karena kita yakin profesi ini luar biasa.
Kuatkan kaki kita. Tengok langit yang selalu berganti cahaya. Tak ada yang mustahil jika kita mau percaya.
“You can’t change your destiny. But you can create your own destiny.”
Kalau masih tidak percaya unik dan asyiknya tantangan di dunia keperawatan, mungkin sekali-kali bolehlah mencoba berkuliah di sana. Cukup ikuti kelas Asuhan Keperawatan, anatomi fisiologi dan biochemistry.
Atau mau mencoba menjahit jenazah sendirian tanpa teman tengah malam? Rasanya ingin lari, tapi tugas harus ditunaikan. Ini serius pernah saya alami.
Karena ada yang bilang, kalau belum tahu ‘nyatanya’, jangan menilai dari ‘katanya’.
Lalu katakan pada adik, kakak, ponakan, atau cucu-cucumu nanti, jangan mau jadi perawat. Kalau perlu hapus saja dari daftar cita-cita. Agar penerus tak sama dengan kita. Putuskan mata rantainya. Biar saja, profesi ini langka. Entah nanti apa jadinya.

*Violeta
Jeddah, KSA. 10 Februari 2017. 2.41 pm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One Day One Post

Saya tak pernah benar-benar mengerti. Sebuah perkumpulan manusia dengan satu misi. Lucu jika kemudian ada yang bertahan dan tereliminasi. Bu...