Selasa, 14 Februari 2017

Sepiring Syukur dalam Nasi Bukhari

#Violet6
Aku menatap nanar makanan di hadapan. Setangkup nasi bukhari, cheese macaroni dan sepotong ayam kalkun panggang. Seporsi makanan yang mewah, bagiku. Rasa nasi bukhari yang penuh rempah khas timur tengah sesungguhnya tak nyaman di lidah. Aroma yang kuat dan tajam di tenggorokan. Dan keju bercampur nasi, tentu terasa asing bagi lidah pribumi.
Tapi setiap tak selera makan, aku melihat mama di sana. Senyumnya mengait biji-biji nasi bukhari yang keras, melembutkannya. Uap kasih sayangnya merasuk ke mata membuat tak kuasa menahan air mengalir di pipi, bahkan sebelum menyendoknya.
Usiaku 9 tahun kala itu. Mama mendudukkanku di depan tv.
"Tuh, lihat, orang-orang yang di jalan. Sulit makan. Ada yang makan sehari sekali, 2 hari sekali. Berhari-hari nahan lapar. Kamu apa-apa sudah ada. Tinggal makan. Begitu kok masih pilih-pilih. Pokoknya, apapun yang mama masak harus dimakan."
Seraya menyuapiku sepiring nasi dengan tumis daun pepaya. Pahit? Sangat! Tapi aku harus memakannya. Wejangan mama akan bertambah panjang jika aku tak mau membuka mulut dan menelannya.
"Bersyukur Vio. Bersyukur kita masih bisa makan. Meski aneh dan kamu baru pertama kali lihat. Meski tidak enak. Meski rasanya pahit. Agar kelak kamu tahu bahwa hidup tak selamanya manis dan menyenangkan"
Aku menatap getir wajah mama di balik mataku yang basah. Menahan pahit.
Keluarga kami sedang bermasalah. Ekonomi keluarga benar-benar di ujung tanduk. Meski mereka tak pernah menceritakannya. Aku tahu dari papa menjual pabrik yang selama ini menopang kehidupan kami. Dan tumis daun pepaya adalah makanan termewah hari itu.
Aku menyendok nasi bukhari bercampur keju yang mulai dingin. Memaksa gigi untuk mengunyah dan buru-buru menelannya. Agar tak ada waktu protes indra perasa.
Berada jauh dari rumah benar-benar membuatku tahu perihnya bertahan menjadi satu-satunya orang Indonesia. Sakitnya berjuang sendirian hingga sampai di tanah nabi. Pahitnya kenyataan bahwa aku tak dapat bertemu keluarga selama 2 tahun kedepan.
Tapi mama telah berhasil membuatku menyimpan bekal yang aku bawa seumur hidup; sebuah penerimaan.
Mama memaksaku untuk menerima suapan pahitnya tumis daun pepaya. Sama seperti Sang Pencipta memberikan kesulitan dan permasalahan hidup di dunia. Ia ingin kita dapat menerimanya. Menerima dengan penuh rasa syukur dan sabar, bahwa nikmatnya meliputi luasnya alam semesta.
Dan Allah SWT berfirman,
إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kemehakuasaan Allah) bagi setiap orang yang sangat sabar dan banyak bersyukur” (QS Luqmaan: 31)

*Violeta
Riyadh, Arab Saudi, 14 februari 2016, 04.44 am

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One Day One Post

Saya tak pernah benar-benar mengerti. Sebuah perkumpulan manusia dengan satu misi. Lucu jika kemudian ada yang bertahan dan tereliminasi. Bu...