Selasa, 14 Februari 2017

Melayar Rindu di Laut Merah


#Violet5

Dalam seminggu, sudah tiga kali kami melepas matahari di Laut Merah. Hari ini pasien saya bersikukuh ingin duduk lagi di atas pasirnya. Maka bersiaplah kami. 

Setelah adzan ashar berkumandang nyaring di depan rumah, tiga mobil keluar bagasi. Seluruh keluarga memenuhi kursi di BMW dan Pajero Sport. Saya dan Kadija cukup santai di sedan mini keluaran tahun 80-an.

Musim dingin di Arab Saudi menjadi yang dinantikan sepanjang tahun. Kemarau panjang meranggas di atas suhu 50 derajat celcius tentu tak sehat untuk ubun-ubun kepala. Tubuh bisa terbakar jika berlama di luar ruangan. Apalagi berjemur di pantai.

Bulan November ini mulai bersahabat. Meski hujan belum juga datang menyapa Jeddah. Terik matahari masih menantang. Suhu di luar bisa mencapai 30 derajat celcius. Mirip dengan Jakarta. Tanpa macet dan banjirnya tentu saja.

Kadija dan Ahmad, sopir kami, sibuk bercanda. Bahasa Arab mereka yang lancar meski pendatang membuat saya bertekuk lutut. Sesekali menimpali, “How about Maroko? ‘Har’ also?” Begitulah ketika ikut ‘nimbrung’. Bahasa Arab dan Bahasa Inggris campur. Har artinya panas dalam Bahasa Arab.

Maroko sedang dingin. Hujan sepanjang hari. Begitu yang saya simpulkan dari cerita Kadija mengular panjang dalam Bahasa Arab yang hanya 20% masuk otak saya. Ahmad menambah dengan cerita ‘Sudan’-nya sesekali.

Saya? Semakin tak paham dengan arah perbincangan mereka, memilih membuang pandang ke jalanan yang gersang. Perumahan dengan warna serupa di sepanjang jalan. Cokelat pasir gurun. Terkadang putih gading, beberapa merah bata. Ada peraturan pemerintah yang menekan penduduknya untuk tidak mengecat rumah dengan warna kesukaan. Mengikuti sunah rosul katanya.

Bibir pantai mulai terlihat. Kecipak air di sepanjang jalan sebelah kiri. Ya, mobil kami menyusur pantai yang dipenuhi lautan manusia. Ternyata banyak pula yang berkeinginan sama dengan pasien saya.

Ombak di Laut Merah tidak tinggi. Pasalnya karena berada di cekungan teluk barat Arab Saudi yang menjorok ke dalam. Airnya tenang. Lebih mirip danau.

Ah ya, sebelum datang kemari, saya selalu berpikir jika Laut Merah itu bercampur darah, atau berpasir merah seperti pantai pink di Pulau Komodo. Apa kalian juga? Ternyata tidak loh. Warna pasir di sini persis pada umumnya. Kecoklatan layaknya gurun pasir dengan oase di tengahnya.

Mobil melambat. Jalanan padat karena mobil parkir sembarangan membuat saya mampu memperhatikan orang-orang bermain di dalam air hangatnya. Pendatang dari berbagai negara. Pula karena Arab Saudi menjadi destinasi tujuan ibadah muslim terbesar di dunia.

Anak-anak yang menaiki ban bundar, wanita-wanita berjubah hitam abaya dan bercadar duduk-duduk santai di bawah payung. Menikmati pantai tanpa menanggalkan baju. Laki-laki dengan kaus oblong, atau tub, pakaian terusan putih seperti gaun khusus pria.

Di seberang, ada sekelompok yang shalat ashar di bawah pohon pakis. Di sini, tidak semua tempat tersedia masjid. Tapi tidak menjadi alasan untuk meninggalkan shalat. Mereka shalat di pinggir jalan bahkan tepi pantai sekalipun. Sayangnya, ini bukan tujuan kami.

Mobil melaju kencang melewati tugu unta dan juga rumah Putra Mahkota dari Raja Salman, Pangeran Muqrin Bin Abdul Aziz yang di tembok beton dan penjagaan ketat. Kondisi jalan menjadi amat lengang saat berada di area perumahan elite Bin Laden.

Kami berhenti, memasuki salah satu bangunannya. Villa besar dengan pantai pribadi. Setelah menurunkan barang-barang, membawanya berjalan menyeberang kolam renang, jalanan paving mulai menurun ke arah pantai.

Mobil kami pertama datang. Pantai berbatas tembok ini sepi. Tak ada suara apapun selain gemuruh air. Hanya ada saya dan Kadija sekarang. Menikmati tenangnya lautan yang dulu dibelah dengan sebuah tongkat. Mukjizat Nabi Musa yang tertera di dalam kitab suci.



Saya menarik napas sedalam-dalamnya. Membiarkan wangi air merasuk memenuhi kepala. Membayangkan Raja Fir’aun tenggelam bersama seluruh pasukannya.

Konon, di dasar lautan sana, terdapat tulang belulang yang berserakan lengkap dengan kereta kudanya. Untuk sebuah pantai saja, banyak yang mampu kita kenang. Benar, masa lalu adalah guru terbaik sepanjang masa.

“Heii, Nurse! What are you doing?” Kadija memecah lamunan.

Saya biarkan kaki dijilati ombak, lalu berteriak lantang, “WANNA GO HOME!” Kami serentak tertawa.

“Kita bisa pergi ke mana saja, tapi rumah hanya ada satu, bersama keluarga.” Kadija merentangkan tangannya. Bersiap menerima pelukan. Perjalanan hidup selalu membawa sejuta kejutan. Menyuguhkan tawa atau tangis dalam sekali sajian.

Terkadang kita terlalu jauh terlena ketika rasa itu memenuhi puncak. Merengkuh kemayaan. Berdalih bosan, penat, dan beribu resah menjengkelkan lainnya. Lalu ingin berlari kembali ke titik awal keberangkatan. Padahal, kaki kita telah jauh melalang buana. Terlalu jauh malah.

Semilir angin menyapu abaya hitam saya. Membuatnya berkelebat serupa kenangan-kenangan itu. Mengingat jatuh bangun dan lebam di seluruh tubuh. Meluruskan niat dan tujuan awal kenapa alasan merantau tak lagi semudah dulu.

"Pada akhirnya, keluarga, menjadi alasan kami, para TKI untuk bertahan, berjuang atau menyerah pada keadaan." Suara lirih itu berdesah di organ dalam bernama hati.

Ahh, Indonesia, 16 bulan tak bertemu. Ijinkan saya melayarkan segenggam rindu. Juga setumpuk doa untuk para TKI yang tetap berjuang di dalam gelombang ketidakpastian di negeri orang .


*Violeta
Jeddah, KSA, 10 Desember 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One Day One Post

Saya tak pernah benar-benar mengerti. Sebuah perkumpulan manusia dengan satu misi. Lucu jika kemudian ada yang bertahan dan tereliminasi. Bu...