Jumat, 17 Februari 2017

Unta Raksasa di Perjalanan ke Laut Merah

#Violet 14

Perjalanan ke Laut Merah kali itu ditemani dengan video call mama yang menggebu-gebu menceritakan kehebohan 411. Saya hanya manggut-manggut sambil menatap pohon pakis di sepanjang jalan. Ahh, saya belum bisa membedakan mana pohon pakis mana pohon kurma. Sesekali nyeletuk, “Iyah, tadi lihat video live streamingnya di Facebook.” ini bukan topik berat sebenarnya. Maksudnya, kenapa harus diperdebatkan?

Mama adalah seorang mualaf. Sebagian keluarga kami adalah non-islam. Bahkan om saya adalah Romo. Dan sejauh ini tak pernah ada masalah berarti. Benar-benar tidak ada masalah menyoal agama. Kami saling berkunjung saat natal dan Idul Fitri. Maka topik kali ini tentu membuat telinga mama berkobar. Gereja yang dibakar. Masjid yang dibom. Entah apa mau mereka. Keluarga kami selalu mengambil sisi positifnya. Tidak pernah ada bedanya.



Saat suara mama mulai meninggi di ujung telepon sana, saya mengarahkan kamera ke jalanan, “Ma, itu ada patung bentuk unta raksasa!” mama exited dan beralih ke ‘per-unta-an’. Amaaannn… Walau ujung-ujungnya menyeret saya lagi ke topik awal. Hingga diskusi membongkar makna kata ‘pakai’. Ahh sudahlah. Hayati lelah ma…

“Tenang ma, pemerintah yang mengurus. Ikuti saja proses peradilannya.” Kali ini benar-benar menyudahi perkara negara. Ya, ya, sebelum telepon beralih ke papa dan pembahasan bisa menyangkut ke masalah perang dunia pertama dan orde baru. Saya harus searching dulu jika tema ini terbongkar. “Negara mana aja ya yang masuk negara blok barat?” dan saya siap-siap menerima pertempuran jika menjawab: Nggak tahu, lupa, hmp.. apa ya?

“Masa nggak tau? Kamu internetan buka apa aja? Di google kan banyak. Bacalah itu. Papa ini lagi nonton youtube.” Papa… kita bahas kancil nyuri ketimun saja yuk. -efek orang tua lebih update dari anaknya-

Meski berbeda negara dan waktu matahari terbit, mama dan papa selalu saja punya bahan untuk diulas setiap hari via video call. Bahkan membahas Sugar glider milik adik yang melarikan diri dari penjara mungil di ruang tamu bisa sampai berhari-hari. Ahh ya, sampai sekarang kami masih membuka lowongan untuk penghuni baru. Kalian ada yang tahu?

Hal-hal seperti inilah yang membuat perantau seperti saya, KGSB (Kadang Galau Sering Baper), menjernihkan pikiran. Mengingatkan bahwa saya tak pernah sendirian. Ada orang-orang nun jauh di seberang benua sana menantikan kabar. Memantau kesehatan lahir batin dari kejauhan. Menunggu kelakar dalam bercerita panasnya gurun pasir dan kebiasaan penduduk Arab Saudi yang ‘unik’. Bahkan ketika mengatakan ingin segera kembali, mereka yang pertama bilang, “Sabar, jalani saja dulu. Semoga berkah.” Padahal, mereka-mereka ini yang dulu ngotot melarang saya meninggalkan Indonesia.

Jadi kawan, sayang sekali jika sebuah jarak fisik menjauhkan hati. Ada banyak cara agar tetap dapat merasakan kehadiran mereka di sekitar kita. Jika pulsa habis dan tidak ada wifi gratis, berdoa saja di dalam hati, komunikasi itu akan sampai ke pemilik hati. Ini serius, saya pernah mencoba. Ketika aplikasi telepon keluar negeri di segel oleh Pemerintah Saudi. Saya hanya berdoa. Iya, hanya mengucap doa agar orang tua ingat dengan saya, semenit kemudian, hp berdering, “Assalamualaikum, lagi apa? Kok mama tiba-tiba pengen telpon kamu ya? Padahal ini lagi masak loh.”

Nah kan. Tidak ada yang bisa memasung ikatan perasaan. Karena terkadang, orang yang berada ratusan kilometer bisa membuat kita merasa lebih baik daripada orang yang ada di sebelah kita.

Jadi, sudah siap merantau?



*Violeta
Jeddah, KSA. 18 November 2016. 05.08 am.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One Day One Post

Saya tak pernah benar-benar mengerti. Sebuah perkumpulan manusia dengan satu misi. Lucu jika kemudian ada yang bertahan dan tereliminasi. Bu...