Minggu, 09 September 2018

Pindah Negara, Lagi?

Sesuai perjanjian, setelah menikah, akan mbuntut ke mana suami pergi. Dia ke pasar, saya yang heboh. Dia ke pantai, saya yang girang. Dia ke bulan, saya ke Matahari, lagi banyak diskon, Jeung.

Berat sebenarnya, memilih antara karier dan keluarga. Tapi kita tidak bisa terus-terusan berdiri pada satu fase. Akan ada keadaan tertentu yang memaksa untuk bergerak, memilih, meninggalkan dan memulai babak baru.

Termasuk, resign, menikah dan pindah negara.

Sebagai wanita biasa, punya keinginan untuk lebih memberdaya, kerja, belanja dengan gaji sendiri dan hangout bareng teman, yang meskipun cuma makan mie ayam, tetap saja membahagiakan.

Tapi ternyata, tak bisa, harus bergerak. Harus.

Maka memutuskan untuk melepas huru hara masa lalu, menyadarkan bahwa ternyata, pernikahan tak seperti yang mereka kira.

Jika kalian mengikuti foto-foto yang di-tag mamas ke akun saya ini, lalu mengatakan kita nampak bahagia, serasi, dan apalah-apalah. Percayalah, itu hanya sedetik dari 3600 detik dalam sehari yang sebenarnya kami lalui. 

Contohnya ya, pindahan.

Alhamdulillah kami sudah pindah di apartment baru yang lebih dekat masjid. Jadi tiap jumat, saya bisa ikut mamas jumatan.

Lumayan, di sana bertemu pendatang berbagai negara yang selepas shalat akan ngerumpi ramai tentang cuaca, diskon, baju nikah, sampai obrolan receh tentang fashion ala Jepang tapi masih ada aroma negara masing-masing.

Tapi hey, itu setelah saya dan mamas, selama berbulan-bulan debat, adu kualifikasi, dapur yang harus tersembunyi, toilet begini, pemandangan harus begitu, keamanan teruji, harga masuk akal berakhir ngambek, ga mau bahas, tapi lalu besoknya dibahas lagi, lalu ngambek lagi. Gitu aja terus siklusnya.

Sampai akhirnya mentok dengan banyaknya pemilik apartment yang menolak dihuni warga negara asing. Menyisakan 2 tempat, dan inilah salah satunya.

Seperti mencari rumah, pasangan juga adalah prises mencari yang sebenarnya tak bisa langsung klik. Banyak kualifikasi, inginnya begini, harus begitu. Tapi ternyata, Allah lebih mengerti, hingga akhirnya, saya bertemu si dia kini.

Mungkin kami tak selalu sempurna. Bukan pasangan romantis yang harus berlutut dengan segenggam bunga, baru saya mencintainya. Ohh, kagaklah. Itu kan di film. 

Nyatanya, menemukan dia di depan rumah sepulang kerja dengan senyuman, cukup membuat saya ingin selalu memeluknya. Atau ketika dia tertidur di pangkuan, memperhatikan gurat lelah di wajahnya, cukup membuat saya tak ingin jauh darinya.

Ahh... Saya tak peduli lagi akan tinggal di negara mana, rumah seperti apa, asal bersamanya, saya sudah merasa utuh dan bahagia.

*Marintha Violeta
Sapporo, 9 September 2018



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One Day One Post

Saya tak pernah benar-benar mengerti. Sebuah perkumpulan manusia dengan satu misi. Lucu jika kemudian ada yang bertahan dan tereliminasi. Bu...