Minggu, 16 September 2018

Yang Tak Bisa Ditemui di Jepang

Banyak yang nyeletuk, kalau tinggal di negara sakura itu enak, bagus dan tentu saja, jadi primadona wisata dunia. Padahal tak begitu-begitu juga.
Simposium “Sharing Gender Issues in Asia” di Jepang, 27 September 2014, Pande Made Kutanegara, M.Si., Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM memaparkan tentang kehidupan Indonesia yang membuat peserta dan para ahli dunia tercengang.
Apa yang beliau jelaskan? "Tradisi rewang."
Tapi ternyata mereka sangat penasaran dan menjadi bahan diskusi tak terelakkan.
Di Jepang, semua serba instant, praktis dan minimalis. Alat-alat diciptakan. Tak hanya robot yang standby di tiap rumah sakit dan mall, tetapi juga peralatan yang sangat membantu pekerjaan rumah tangga. Lucu dan aneh-aneh.
Orang-orang di sana, lebih memilih mandiri. Melakukan apapun sendiri. Bahkan kata mas suami, mereka itu sungkan minta tolong. Kalau memang terpaksanya tidak bisa dilakukan sendiri ya memanggil ahlinya. Memperbaiki pipa bocor, gas kompor mati, atau kehabisan garam. Tidak akan ketuk-ketuk rumah tetangga.
Malahan, bila ada yang berisik, akan mengadu ke polisi. Jadilah pak polisi yang datang, menggedor pintu dan bilang, "tolong, jangan berisik, tetangga anda terganggu."
Malu! Masuk sensus pula. 'Mr.Bruno beralamat di Jalan Mars mengganggu ketenangan warga.' Padahal bisa jadi beliau sedang menangis histeris karena berduka sampai memukul-mukul meja.
Nah, tradisi rewang yang diusung Pak Pande jelas membuat orang Jepang melek.
Beliau bercerita, "Budaya rewang merupakan salah satu bentuk keterlibatan sosial. Sebagai bentuk bantuan, mereka bisa menyumbang tenaga, barang, bahkan uang.
*Yang Tak Bisa Ditemui di Jepang
Saat di Jepang kemarin, banyak yang nyeletuk, kalau tinggal di negara sakura itu enak, bagus, dan tentu saja, jadi primadona wisata dunia. Padahal tak begitu-begitu juga.
Simposium “Sharing Gender Issues in Asia” di Jepang, 27 September 2014, Pande Made Kutanegara, M.Si., Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM memaparkan tentang kehidupan Indonesia yang membuat peserta dan para ahli dunia tercengang.
Apa yang beliau jelaskan? "Tradisi rewang."
Menggelikan, bagi kita. Masa yang begituan dibawa ke meja international.
Tapi ternyata mereka sangat penasaran dan menjadi bahan diskusi tak terelakkan.
Di Jepang, semua serba instant, praktis dan minimalis. Alat-alat diciptakan. Tak hanya robot yang standby di tiap rumah sakit dan mall, tetapi juga peralatan yang sangat membantu pekerjaan rumah tangga. Lucu dan aneh-aneh.
Orang-orang di sana, lebih memilih mandiri. Melakukan apapun sendiri. Bahkan kata mas suami, mereka itu sungkan minta tolong. Kalau memang terpaksanya tidak bisa dilakukan sendiri ya memanggil ahlinya. Memperbaiki pipa bocor, gas kompor mati, atau kehabisan garam. Tidak akan ketuk-ketuk rumah tetangga.
Malahan, bila ada yang berisik, akan mengadu ke polisi. Jadilah pak polisi yang datang, menggedor pintu dan bilang, "tolong, jangan berisik, tetangga anda terganggu."
Malu! Masuk sensus pula. 'Mr.Bruno beralamat di Jalan Mars mengganggu ketenangan warga.' Padahal bisa jadi beliau sedang menangis histeris karena berduka sampai memukul-mukul meja.
Nah, tradisi rewang yang diusung Pak Pande jelas membuat orang Jepang melek.
Beliau bercerita, "Budaya rewang merupakan salah satu bentuk keterlibatan sosial. Sebagai bentuk bantuan, mereka bisa menyumbang tenaga, barang, bahkan uang.
Upaya saling tolong-menolong ini begitu kentara, dan menjadi salah satu kegiatan sosial yang sangat penting di pedesaan. Sepanjang upacara lingkaran hidup manusia mulai dari kelahiran, sunatan, pernikahan, hingga kematian, para tetangga, kerabat, dan teman akan datang membantu."
Kemarin, ngunduh mantu pernikahan Mas Erhash, saudara sepupu suami, yang juga kakak kelas kuliah, di desa Undaan Kidul, Kudus, membuat mata saya basah.
Image may contain: 1 person, sitting
Bulat matahari belum sempurna. Langit masih semburat jingga. Tapi di satu tempat, di bawah tenda yang baru sehari berdiri, ibu-ibu dari berbagai usia berkumpul jadi satu. Tak hanya pemudi macam saya, nenek-nenek sepuh dengan kebaya sederhana pun tak kalah ambil bagian, menjadi perewang.
Tak ada aturan tertulis, tapi mereka paham tupoksi masing-masing. Berbagi tanggung jawab di kompor, menghaluskan bumbu, mencincang sayur mayur, membuat lauk, mencuci piring, bahkan bagian menata berkat.
Semua sibuk. Fokus. Cepat, das des. Tanpa disuruh. Tanpa dipaksa. Dan tanpa bentakan, tentu saja. Aura seketika berubah menjadi ajang lihat sekeliling, apa yang bisa dilakukan, ndang dikerjakan.
Gurau membahana, canda menggelegar, menertawakan berkat yang numplek. Menggoda si itu yang duduknya lucu. Tapi tangan tak berhenti bergerak.
Istirahat serempak saat menunggu nasi selesai ditanak. Tapi tak ada yang beranjak. Justru perewangnya bertambah. Saya hitung. Semakin banyak.
Saya terharu, tentu. Yang begini sulit ditemui di Semarang, apalagi Jepang. Bukan. Bukan karena egosentris dan individualis yang semakin mengikis.
Di Semarang, yang rumahnya saling mepet, tidak ada tanah kosong yang cukup pas untuk membuat tungku kompor kayu, menggelar tikar, berkumpul 30an orang dalam satu waktu. Apalagi di pagi hari begitu, semua orang sibuk bersiap ke kantor buru-buru.
Mereka memilih jasa catering dan event organizer karena lebih efektif dan efisien. Tempat gawe bersih, tidak lelah dan tentu saja, tidak merepotkan tetangga.
Di Jepang, kalian akan menemukan shinkansen, kereta bawah tanah yang aerodynamic, TV raksasa di dinding luar gedung bertingkat yang waterproof, WC yang bisa bernyanyi, tapi coba tanyakan pada mereka, kenalkah pada tetangga samping kanan kiri?
Pahamkah silsilah keluarga tetangga itu? Apakah ada tradisi membantu jika tetangga samping sedang menghelat hajat? Atau minimal, membenarkan kabel TV tetangga yang konslet?
Modernitas akan terus bergerak, tak dapat dicegah. Tapi semoga, di saat nanti robot-robot menguasai pasar, Indonesia tak kehilangan jati diri. Begitu yang kemudian diusung Pak Pande di simposium, saya setuju. Sangat.
Menjaga ruh tetap menjadi tradisi. Membudaya, mengakar ke pondasi paling bawah. Bahwa hidup bermasyarakat tak sekedar berbasa-basi, tapi juga turut andil berpartisipasi.
Tradisi rewang ini membuat saya takjub sekaligus rindu. Kearifan lokal, guyup, rukun, dan nasihat memesona dari para sesepuh. Untuk selalu datang membantu. Meski hanya duduk ikut ngelucu. Tapi kalau tidak datang, malu.
Di antara ibu-ibu ini, saya menemukan rasa syukur yang meruah. Jauh dari ingar polusi politik yang saling olok. Sampah hedonisme dampak pergerakan saham dan limbah teknologi karena android melimpah.
Kita, boleh saja kagum pada negara lain yang lebih maju. Tapi yakinlah, Indonesia tak kalah bermutu.
Kita, bisa saja terpukau dengan canggihnya kota. Tapi yakinlah, tak kurang kebahagiaan mereka yang menetap di desa.
"Sebagai fana, kita tak pernah tahu berapa banyak lagi waktu tersisa untuk bersama. Jadi mari jalin segalanya sebaik dan seindah yang kita bisa." - Helvi Tiana Rosa, penulis novel Ketika Mas Gagah Pergi.
*Violeta
Undaan Kidul, Kabupaten Kudus. Jateng.
Selamat berbahagia untuk Mas Erhash Haqiqi Zulfikar dan istri. Langgeng hingga akhir hayat. Terima kasih atas kesempatan dan ilmunya. Sungkem.
Lain kali harus ikut ngirisin tahu juga mas Arsyad Syauqi. Heuheuu..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One Day One Post

Saya tak pernah benar-benar mengerti. Sebuah perkumpulan manusia dengan satu misi. Lucu jika kemudian ada yang bertahan dan tereliminasi. Bu...