Jumat, 07 September 2018

Gempa Sapporo Tadi Pagi

Saya belum bisa tidur sejak gempa pertama mengguncang Sapporo jam 3.07 dini hari tadi.
Semua bergerak. Barang-barang di dapur berjatuhan. Jendela berderak-derak. Pintu goyang. Sayup-sayup terdengar teriak orang-orang dari luar. Nyaris ada 60 detik gempa berlangsung.
Saya dan Mamas cuma diem di kasur. Saling pegangan. Masih shock. Loading. Ada apa ini.
Gempa berhenti. Saya langsung ngerengek minta shalat. Sambil nangis. Gemeteran. Pas berdiri, mau ambil wudhu. Gempa lagi. Ya Allah!!
Mamas langsung nyalain TV. Saya nyalain lampu, buka semua jendela, pintu, ngunci gas kompor. Di luar sirene pemadam kebakaran, ambulan mengoak-ngoak di jalanan.
Di TV, nyaris semua media menyiarkan gempa yang barusan terjadi. 6.7 sr. Pusat di Tomakomai, Hokkaido. Jarak beberapa kota dari Sapporo.
Tiba-tiba, gempa lagi!! TV goyang. Kita berdua duduk di sofa. Sambil pegangan. Shalawatan. Kalau saya sih nangis. Inget gempa Lombok. Allah.... Allah....
Di TV langsung keluar, gempa 5.3 sr.
Lalu, pet! Listrik padam!
Kita buka internet. Grup FB warga Indonesia yang tinggal di Sapporo saling kirim kabar dan antisipasi gempa susulan. Beberapa ada yang sudah keluar rumah. Lainnya bertahan menunggu kabar.
Gempa yang terakhir membuat saya shock berat. Karena rumah kita di lantai 1 apartment, dari 4 lantai yang ada, kalau ambruk, kami yang pertama kena.
Akhirnya, jam 3.30, biar lebih tenang, kami keluar.
Listrik emergency apartment menyala di sepanjang koridor. Terdengar keributan dari beberapa kamar, saya yakin mereka semua terjaga.
Pintu otomatis utama apartment hanya bisa dibuka kuncinya dari dalam. Karena listrik padam, mesin pemindai tidak berfungsi. Saat keluar, sengaja dibiarkan tidak dikunci. Agar kami bisa masuk lagi.

Di luar gelap gulita. Listrik dilumpuhkan. Bulan sabit menyambut tepat menggantung di ubun-ubun. Bintang bertebaran. Jelas, lampu kota padam total hingga langit nampak indah sekarang.
Beberapa orang sudah di luar, saling meneriaki tetangga, "Daijobu? Daijobu?" - Ga apa? Ga apa, kan? Dengan sorot lampu gawai yang seperti melayang-layang dalam kegelapan.
Beberapa yang lain saling telpon kerabat. Kami sibuk mencari info. Download aplikasi pemantau gempa. Bertukar informasi seadanya.
Pukul 4 pagi, tepat ketika seorang polisi, dengan sepeda dan 3 senternya menghampiri kami, bertanya keadaan dan apakah butuh bantuan. Setelah berpesan hati-hati dan terus waspada, ia kembali patroli menyusur setiap blok-blok yang nyaris tanpa cahaya.
Baru masuk rumah, jam 4.11, baru akan ambil wudhu untuk shalat subuh, tanah bergoyang lagi.
TENG!! TENG!! TENG!! Alarm gempa dari HP mamas memekak!
Tidak terlalu kuat, tapi cukup membuat jantung saya berdesir naik turun. Astagfirullah... Astagfirullah..
4.8 sr, berpusat di Chitose. Itu 1 jam dari tempat saya berada sekarang.
Kami buru-buru shalat, sujud syukur karena masih diberi perlindungan.
Saya tidur menggunakan baju lengkap dengan jilbab dan jaket. Mamas juga memakai celana jeans dan sweater. Mendekatkan barang-barang yang sekiranya bisa cepat dibawa lari lompat ke jendela jika gempa besar terjadi lagi. Ya, jendela kami buka lebar untuk jalur evakuasi dadakan.
Saya tak bisa memejam mata. Gempa-gempa kecil terus berlangsung. Helikopter terbang rendah mengelilingi langit yang mulai terang. Sirene ambulan, pemadam kebakaran, polisi terus mengoak-mengoak mencari korban dan yang butuh bantuan.
Saya menangis tiap pintu mulai berderak dan angin dingin menerobos jejaring jendela. Korden bergoyang dan dinding bergetar. Mamas sudah terlelap. Tentu dia harus jaga stamina untuk bekerja pagi ini.
Tak sanggup pikiran beristirahat. Kalau semakin menguat, saya akan membangunkan mamas untuk cari pertolongan.
Cek di HP, pusat gempa di Shitzunai, beberapa kali, di kisaran 4,3 dan 4,6 sr.
Jam 6 pagi, bangun bersiap-siap buat sarapan. Tanah masih goyang-goyang. Gempa kecil. Lebih stabil. Saya mulai terbiasa. Atau, dipaksa biasa.
Tapi kemudian jam 6.11, badan mendadak limbung. Mamas teriak dari kamar, "DEAR! GEMPA!"
Spontan lempar mangkuk yang sedang saya cuci, matikan api untuk rebus air, dan lari ke kamar. Jongkok di tepi kasur. Di rumah tidak ada meja yang kolongnya cukup untuk kami berlindung.
5.4 sr, berpusat di Tomakomai, Hokkaido. Lagi.
Sekarang saya ikut mamas ke rumah sakit. Duduk di taman. Entahlah, setelah gempa yang terus terjadi, saya trauma berada di dalam gedung.
Tak terhitung jumlah gempanya, mungkin belasan, atau 20an, termasuk yang kecil-kecil. Dalam rentang waktu 3 jam. Sejak jam 3 pagi.
Barusan ke seven eleven nyari sarapan, tapi ternyata orang-orang sudah menyerbu untuk menimbun persediaan makanan di situasi genting. Banyak stock kosong. Antrian panjang.
Mungkin karena seicomart, lawson dan beberapa minimarket tutup. Sekolah diliburkan. Videonya saya sertakan.
Saat menulis ini, listrik masih padam, lampu lalu lintas tidak menyala, kereta lumpuh, ambulan lalu lalang, helikopter terus memantau dari udara. Semua bersiaga.
Termasuk rumah sakit mamas yang tidak bisa dimasuki sembarang orang. Karena digunakan sebagai tempat evakuasi korban.
Alhamdulillah kami baik-baik saja. Semoga tak ada korban jiwa. Dilaporkan ada korban luka, bangunan roboh dan jalanan rusak dari yang saya baca di internet.
Tetap waspada dan berdoa untuk teman-teman semua. Terima kasih doanya. Semoga selalu berada dalam lindunganNya. 🙏🙏


*Marintha Violeta
Sapporo, 6 September 2018. 8.45 am

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One Day One Post

Saya tak pernah benar-benar mengerti. Sebuah perkumpulan manusia dengan satu misi. Lucu jika kemudian ada yang bertahan dan tereliminasi. Bu...