Minggu, 16 September 2018

Bisa. Yakin. Bisa!

Saat posted kembali tulisan lama di Arab Saudi. Banyak yang kemudian inbox dan DM di Ig.
Dari yang, "Kok bisa ke sana?"
"Aku nggak bisa Bahasa Inggris. Nggak mungkinlah sampai sana."
Sampai, "Mbak Vio enak, punya uang, bisa ke mana-mana."
Hmm. Karena bejibunnya pertanyaan seperti ini, saya sudah sedih duluan. Apalagi yang belum kenal tiba-tiba nodong pertanyaan. Akhirnya jawab.
~Ya bisa to, kan tinggal naik pesawat.
~Lah. Emang dulunya aku bisa Bahasa Inggris? Wong sekarang aja masih kagak bisa kok.
~Apa uang itu turun dari langit?
Dikira langsung menclok apa di Jeddah? Kagak, Bray. Sama seperti yang lain, berjuang mati-matian. Dari yang belajar buat ujian wawancara sampai ngupulin uang buat modal.
Memang, sudah banyak perawat di negeri-negeri luar sana. Sukses, mapan, mobilnya gres, rumahnya gede, keluarga sakinah mawaddah wa rahmah.
Tapi, dibalik itu semua, mereka harus makan garam duluan. Ibarat nih, mau ke pulau seberang, harus berenang berhari-hari melewati kolam buaya dan puluhan hiu kelaparan. Susahh...
Karena usaha, doa dan kemauan kuat itulah membuat mereka bisa seperti yang kalian lihat sekarang.
Ke Arab Saudi, meski ujian kerjanya tergolong mudah dibanding negara lainnya, tapi ujian hidupnya itu luar biasa mengoyak jiwa.
Pernah dengarkah kalimat, "Hanya orang berhati bersih yang diizinkan Allah masuk ke kota suci-Nya." Nah. Iya. Saban hari, saya terlampau setress. Tahu diri, kalau hati saya ini kotor bak selokan.
Dan emang terbukti loh. Ada teman yang susah banget ke sana. Entah berkasnya ilang lah di kedutaan. Belum terstempel. Sampai namanya tidak keluar di daftar dari BNP2TKI. Padahal sudah lolos test. Setelah usut punya usut, ternyata tidak akur dengan orang tua.
Belum selesai masalah hati, modal tak cukup-cukup juga.
Banyak teman yang kemudian jual tanah orang tua, kendaraan, utang sana sini, demi biaya administrasi, hidup sementara di ibukota sampai pritilan kecil seperti fotocopy berkas dan translate ijazah.
Saat kerja di Bandung, saya harus memotong setengah gaji masuk tabungan. Sisa setengahnya untuk biaya kost dan hidup sebulan.
Makan pagi energen, roti, atau mi gelas. Siangnya dapat jatah dari Rumah Sakit. Malamnya beli seblak harga 5 ribu. Atau beli nasi goreng depan RS Cicendo yang saya bagi 2 untuk makan malam dan esok paginya.
Mewah dikit ya bolehlah soto madura dekat Pasar Baru, itu pun paling sesekali karena diajak teman-teman. Sungkan, masa jarang ikut njajan.
Pilih jalan kaki pulang kerja daripada naik angkot. Lumayan, nabung 3ribu buat beli ceker ayam. Dapat 3 biji. Cukup untuk lauk pagi, siang dan malam.
Pengen baju baru ya ke Tegallega. Ada yang jual baju second, murah meriah.
Mau uang tambahan? Ya home care. Setiap ada yang berhalangan jaga, akan saya ambil jobnya. Pagi di RS, Siang Malam di rumah pasien.
Badan pegal, pasti. Tinggal bismillah, kencengin doa dan sedeqah. Pernah baca, sedeqah itu menyehatkan badan.
Selama satu tahun begitu itu. Karena tau diri, tak punya tanah yang dijual dan malu merepotkan orang tua. Mau keluar negeri? Ya nabung sendiri.
Tapi masih kurang juga. Akhirnya gadai laptop kesayangan. Termasuk semua file di dalamnya. Hilang.
Berat. Tapi saya yakin perjuangan teman-teman banyak yang lebih berat.
Bahkan, semakin berat perjalanan ke Arab Saudi, semakin dekat tempat kerja mereka dengan Ka'bah. Asli, teman saya ada yang begitu.
Masa berangkat pulang kerja lewat Masjidil Haram? Umroh kapan saja. Mau sehari 3 kali yo bisa. Pokoknya ya Allah, impian buangetlah. Tapi perjuangan dia ke sana juga nggak main-main. Babak belur! Dari kerja serabutan, sampai puasa berhari-hari karena kehabisan uang di ibukota.
Pokoknya mah, tidak ada usaha yang sia-sia. Yakin.
Di kamar kost, saya tempel banyak tulisan motivasi. Agar berani bermimpi. Dan poster Film Sang Pemimpi adaptasi novel dari Andrea Hirata dengan latar Menara Eiffel.
Sebelum dan selesai shalat, saya pelototin itu poster. Diucap dalam hati, "Ya Allah, bawa aku ke sana. Dengan Cara-Mu. Bisa. Insyaallah Bisa. Tidak ada yang tidak mungkin."
Perawat bisa terbang tinggi, asal masing-masing dari kita mau usaha dan doa.
Kalau belum lancar Bahasa Inggris ya coba baca-baca artikel luar negeri yang berseliweran di FB. Terus bertingkat baca web kesehatan dengan keywords english.
Pahami tentang materi keperawatan seperti cardiac arrest, Basic Life Support, Diabetic, dst. Coba sambil dibaca vocal (latihan pronunciation dan dicatat). Kan kalau nggak paham bisa ubah 'mode' ke Bahasa Indonesia.
Saya dulu lakukan begitu. Tidak ikut kursus apapun. Alhamdulillah bisa jawab pertanyaan saat interview. Semua dalam bahasa inggris.
Kalau belum ada modal ya kerja dulu sambil mengumpulkan uang. Hemat. Nggak apa-apa nggak bisa ngikutin fashion. HP masih butut. Sepatu masih tuitu. Yang penting ka'bah 5 cm di depan mata.
Kalau belum ada restu orang tua ya perhatikan mereka, bahagiakan dan turuti dulu maunya. Buktikan kalau kita bisa mandiri dengan membayar administrasi sendiri.
Ke orang tua cuma minta doa, jangan minta uang. Yakin, mereka akan percaya, kita bisa berkelana. Lalu melepas dengan pelukan. Bangga.
Tak harus jadi anak orang kaya. Anak petani juga bisa keluar negeri. Bisa. HARUS BILANG BISA. Insyaallah jadi doa.
Yang tidak bisa itu hati, yang takut gagal dan berprasangka buruk dengan rencana Allah.
Untuk tahu arah, kita harus bergerak duluan. Setelahnya biarkan Allah yang menentukan.
Muhammad Assad, penulis Notes From Qatar dan mendapat beasiswa S2 di Qatar mengatakan, "There is no growth in comfort zone and there is no comfort in growth zone. We must leave comfort zone to grow."
Meninggalkan zona nyaman itu sulit, tapi lebih sulit kalau kita tidak bergerak dan terlindas peradaban. Berani bermimpi, berarti berani berlari. Meski tanpa alas kaki. Sakit. Tapi tunggulah, janji Allah itu pasti.
Dulu, niat awal cuma ke Arab Saudi, alhamdulillah, sampai juga lihat menara Eiffel langsung di depan mata. Gratis.
Kaaan.. Genjotan semangat dari poster film Sang Pemimpi tak sekedar mimpi.

Image may contain: indoor
"....Dengan terisak-isak kujelaskan pada pihak agency, jika tak bisa melanjutkan proses (ke Arab Saudi). Membatalkan visa dan menunda keberangkatan entah sampai kapan. Aku sama sekali tak ada ide. Hatiku remuk.
Kuputuskan sore itu pulang ke Bandung menembus hujan Ibukota. Biar. Biarkan bulir airnya meluruhkan sesak di dada...."
Adalah sepenggal kisah ngilu yang saya semat di buku "Jangan Mudah Mengeluh." Setelah lolos seleksi dengan sistem eliminasi, tentu saja. Berkolaborasi dengan penulis best seller buku 'Ubah Lelah Jadi Lillah', Bapak Dwi Suwiknyo dan teman-teman lainnya.
Jika kalian mampir toko buku, bolehlah buku bersampul ungu tua itu diboyong ke kasir. Di sana, ada kisah kawan, orang yang belum kalian kenal, seseorang yang berada nun jauh di seberang sana, mencurahkan isi hati. Berbagi tawa dan lara. Yang memilih untuk terus berlari, meski nyeri di ulu hati.
Jangan Mudah Mengeluh, Teman. Jangan.
Yakin bisa! Insyaallah Bisa!
Allah bersama kita.
"Orang lain boleh saja menolak ide kita, mereka bisa saja meremehkan cita-cita kita, pun mereka mampu mematahkan argumen-argumen kita, tetapi mereka tidak bisa mencegah terkabulnya doa-doa kita." - Ubah Lelah Jadi Lillah, halaman 77.
*Marintha Violeta
Kudus, 25 Mei 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One Day One Post

Saya tak pernah benar-benar mengerti. Sebuah perkumpulan manusia dengan satu misi. Lucu jika kemudian ada yang bertahan dan tereliminasi. Bu...