Selasa, 04 September 2018

Di Jepang Dijual Kaus Kaki Kursi? Duh, Barang Apa Lagi Itu?



 Saat jalan-jalan dengan suami ke toko Daiso, ada yang tak bisa membuat saya berhenti penasaran. Jadi, Daiso itu toko serba 100 yen, atau setara dengan kurang lebih 13.000 rupiah. Meski beberapa juga ada yang dibandrol 200, 300, 400 dan 500 yen sesuai besar kecilnya barang.

Toko yang didaulat terbesar di Jepang ini sudah memiliki 2.900 cabang di Jepang dan 1.500 di luar Jepang. Oke, sampai di sini, pahamlah saya kalau toko ini memang ada di mana-mana dan populer. Ada yang berukuran kecil, sedang hingga yang menyerupai mall, gedung 5 lantai.

Nah, barang-barang yang dijual itu lho yang membuat saya susah move on, eh, maksudnya, susah keluar, meski pintu terbuka lebar. Lha habisnya gimana, komplit dan lucu-lucu banget!


Contohnya nih ya, centong yang ada smile-nya. Duh, kok nggak kepikiran ya bikin model begitu. Ada yang senyumin tiap mencentong nasi. Uuhh, jadi laper. Selain itu juga ada peralatan dapur yang eye-catching, ATK yang trendy, alat dan hiasan gardening yang shabby chic, sampai kain jahit beraneka motif, makanan ringan murah meriah, tissue toilet dan masih banyak lagi.

Satu yang membuat susah berpaling itu, kaus kaki kursi. Wait! Tunggu dulu? Kaki kursi kok dikasih kaus kaki? Buat apa?


Oke, tujuannya agar lantai tidak tergores. Setuju. Tapi sampai dibuat beragam motif itu kan ya nggak sampai di otak juga. Duh, Biyung, beli kaus kaki sendiri aja mikir-mikir, kok kursi juga di kausin.

Jan nggak penting. Iya, nggak penting banget barang macam itu dijual. Lebih nggak pentingnya, saya justru mikirin itu semingguan. Sampai akhirnya saya ke Daiso lagi. Ngamatin lagi itu kaus kaki yang sekarang lebih unyu-unyu. Lalu pulang dengan kealpaan. Sejenak tidak waras. Tapi lalu lemas.

Begini, kalau barang itu dijual, berarti, ada yang beli, kan? Nah, kalau dibeli, berarti itu penting bagi si pembeli? Udah, iyain aja. Jadi, sesuatu yang sebenarnya tidak penting bagi saya, bisa jadi penting bagi orang lain.



Sama seperti, selama hidup ini, saya seperti berjalan melewati hari-hari. Bangun, sarapan, mandi, aktivitas, pulang, makan, lalu tidur. Nyaris begitu setiap hari. Rutinitas yang kadang membuat kesempatan untuk mengamati hal kecil terlewatkan.

Saya selalu merasa, mewajibkan diri untuk fokus ke yang penting-penting saja. Belajar giat di mata kuliah yang penting untuk kelulusan. Mata kuliah lainnya, ahh, gampang, bisalah mengarang indah.

Fokus ke pekerjaan yang diinginkan tanpa melihat peluang. Pokoknya harus itu, nggak mau tahu. Padahal pilihan selalu ada. Dan ternyata, disaat gagal mendapatkannya, down, kecewa, sakit hati berat, karena lupa membuat rencana cadangan. Ya, serasa nggak penting aja gitu pekerjaan yang lainnya selain cita-cita utama.

Saat berkunjung ke tempat kerja suami, di halaman depan rumah sakit, ada bapak-bapak yang hanya berdiri berjam-jam di tengah lapangan. Benar-benar berdiri sikap siap, tanpa payung dan tempat berlindung. Ngapain? Membungkuk dan melambaikan tangan jika ada mobil akan parkir. Padahal semua karcis sudah sistem mesin, kenapa harus ada bapak-bapak di situ?

Saya kira itu nggak penting, toh orang-orang bisa langsung masuk cari tempat parkir sendiri. Tapi bagi bapak tersebut, itu penting untuk kelangsungan hidupnya dan keluarga. Vroh yang Budiman, itu mata pencahariannya beliau, lho. Dan, halal.

Ini yang membuat saya nyaris, merenung setiap hari. Begitu mudahnya saya merendahkan orang lain. Begitu gampangnya menganggap ketidakpentingan itu harus dilenyapkan hanya karena saya tak terbiasa, baru melihat, atau, merasa tak perlu di hidup saya sendiri.

Lalu lupa, bahwa saya tak pernah hidup sendiri.

Kaus kaki kursi itu tak hanya sedang berjuang melindungi kaki kursi dan lantai. Tak hanya membuat rumah semakin nyaman dan indah untuk ditinggali. Tetapi ada mereka yang mencurahkan waktunya untuk berpikir, men-design, menjahit, menge-pack, mendistribusikan, memajangnya di toko, lalu merapikannya agar ada pembeli datang dan membawanya pulang. Belum lagi si pembuat benang dan bahan yang penuh orderan.

Terkadang kita, karena punya uang lebih, lalu merasa tinggi saat berjalan diantara tukang becak. Hanya karena lebih mampu, lalu bisa mengesampingkan sesuatu. Punya jabatan di atas, lalu mudah memerintah tanpa memahami batas. Karena tak tahu, lantas tak mau tahu. Atau karena sudah merasa penting, menganggap yang lain harap minggir.

Jadi bicara seenaknya. Mudah menyinggung perasaan orang lain. Bertindak sesukanya. Datang kalau ada maunya. Pergi tanpa ada tanda-tanda. Atau, pinjam uang lalu menghilang. Yang terakhir itu jangan ya, nyakitin lho itu.


Kalau kaus kaki kursi itu bisa bicara, mungkin dia akan bilang, “Learn to see things from different perspective, Dude. Never limit yourself to just one point of view.” Belajar untuk melihat sesuatu dari perspektif yang berbeda. Jangan pernah membatasi dirimu sendiri hanya pada satu sudut pandang. Ya Allah, menohok banget. Saya jadi malu.

Saya memang tak pernah tahu, bagaimana proses bisa berjalan. Tapi yang harus kita tahu, setiap apa yang ada, terjadi dan yang pernah terlewati selalu memiliki alasan penting yang sudah Allah gariskan.

Bahkan pertemuan pertama saya dengan suami, dulu, saya kira itu hal nggak penting. Saling lempar lelucon dan menjadi bahan tertawaan teman-teman. Saya malu, dan sedetik itu membencinya karena mempermalukan saya di muka umum. Tapi ternyata, justru itu yang menjadi awal, kita saling mengenal, hingga berlanjut pelaminan.

Jangan sepelekan seseorang yang sedang di sampingmu sekarang. Jangan anggap biasa, kejadian yang sedang terjadi barusan. Bisa jadi dia akan penting di masa depan. Entah untuk pembelajaran, atau mengubah menjadi pribadi yang lebih lengkap dan rupawan.

#komunitasonedayonepost
#ODOP_6

*Marintha Violeta
Sapporo, Jepang. 4 September 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One Day One Post

Saya tak pernah benar-benar mengerti. Sebuah perkumpulan manusia dengan satu misi. Lucu jika kemudian ada yang bertahan dan tereliminasi. Bu...