Jumat, 14 September 2018

Kimi no Na Wa dan Kau yang Menemukanku


“Takut nggak sih waktu ngucap akad?” Saya penasaran. 

Saat prosesi itu berlangsung, saya dipingit dalam mobil berjarak 200 meter dari gedung acara. Jangankan lihat wajah gugup, suaranya saja hilang timbul dari sound yang kemresek. 

Bergema, "Alhamdulillah." 


Mobil baru mendekati gedung, dan kami diizinkan bertemu. Dalam keadaan gemetar dan keringat dingin.

“Enggak,” jawabnya santai sambil menggelus puncak kepala saya.

“Kenapa?” 

Gerakan tangannya berhenti. “Lebih takut pas lari-lari waktu transit di Bandara Tokyo. Gara-gara pesawat dari Sapporo delay. Itu rasanya nggak karuan. Pengen nangis. Pengen teriak. Kalau beneran ketinggalan… nggak kebayang.” 

Bibirnya terkulum. Saya usap pipinya.

Si mamas memang baru menginjak tanah Indonesia 20 jam sebelum akad nikah itu dilangsungkan. Perjalanan pesawat memang selalu menegangkan. Jangankan delay, rumor rudal Korut saja sudah bikin jantungan.

Setelah sampai di bandara Semarang, saya langsung menyeretnya ke salon untuk fitting baju lalu ke rumah bertemu orang tua. Itu pun hanya makan siang. Karena harus bertolak ke Kudus, rumahnya.

Jadi ya begitu, orang tua saya baru tahu benar wajah calon menantunya, 15 jam sebelum prosesi pernikahan. Lucu memang. Kami bahkan tak berhenti geleng-geleng. Kok bisa ya.

Dulu, saat di Saudi, yang sedang galaunya bakalan nikah sama siapa, kapan, dan di mana, film Kimi no Na Wa (Your Name) berhasil membuat saya menangis semalaman.

Kisah Taki dan Mitsuha yang tulus meski tak pernah bertemu ini mematahkan stereotip indahnya cinta dan mendebarkannya proses pertunangan.

Menikah dengan suami yang sekarang? Ya jelas tidak ada gambaran. Meski sudah saling kenal, kita pernah bertahun lost contact. Tak ada kabar. Saya kerja di mana, dia di mana. Beda pulau, hingga benua.

Tak ada keinginan untuk mencarinya. Buat apa. Toh juga sudah lupa. Lagi pula kita tak pernah menjadi siapa-siapa.

Tapi anehnya, setiap ada lelaki datang, saya akan katakan, “Lagi nunggu seseorang." Kadang polos sebut nama mamas agar mereka tak semakin memburu. Padahal entah dia sedang dengan siapa.

Persis seperti Mitsuha yang kebingungan, “Aku merasa, sedang mencari sesuatu. Mencari seseorang. Mencari. Tapi siapa? Siapa? SIAPA???”

Dan Taki, bermodal lukisan tangannya, menyatukan paradox satu persatu. Padahal jelas Mitsuha hanya masa lalu. Mimpi yang tak pernah mewujud nyata. Hanya klise dan permainan logika. 

Tapi toh ia tetap mencari. Meski bertahun-tahun, tak peduli.

Bukankah hidup ini hanya tentang kataware-doki?
Tentang kesempatan yang tak pernah menghampiri dua kali?
Tentang cinta yang atas kuasaNya datang dan pergi?

Surealis dan estetis Kimi no Na Wa selalu mengahabiskan air mata (termasuk waktu nulis ini) meski sudah nonton puluhan kali. Dentaman laranya berhasil membuka duka, mengobati luka. Membuat saya yakin, ada seseorang yang sedang berlari dan berjuang datang. Membawa senampan masa depan. 

Kemarin, tepat 6 bulan pernikahan kami. Alay sih, tapi rasanya, yasudah, toh selama ini kita tak pernah merayakan apapun. Tak ada tunangan, prewedding, apalagi ucapan ulang tahun lengkap dengan kue tart dan pelukan. Tak ada.

Saat jalan-jalan di Susukino, saya menemukan poster ini di salah satu toko. Rasanya ingin menangis dalam pelukan Mitsuha. 




Mitsuha, terima kasih atas kekuatanmu untuk menunggu. Terima kasih untuk kedalamanmu percaya. Terima kasih atas ketulusan harapan itu. Bahwa cinta, akan datang, meski kau lupa namanya.

Karena Mitsuha-lah, saya yakin dengan lelaki yang berdiri di samping ini. Dialah Taki-ku. Ya, Taki-ku. Yang berada di Jepang, selepas shalat ashar, telepon ke Spanyol hanya untuk bertanya, “Kalau kita nikah sebulan lagi gimana?”

Mungkin kalian pernah merasakannya. Berharap kepastian datang hari ini. Menanti sang pembawa kunci hati. Menunggu dia yang entah siapa.

Tapi percayalah, dia sedang berjuang, apapun caranya. Untuk menemuimu. Bisa jadi tidak hari ini. Tidak bulan ini. Tidak tahun ini. Tapi yakinlah, dia akan datang. Menjemputmu. Suatu waktu.

Film karya Makoto Shinkai ini juga termasuk:
- film animasi tradisional dengan pendapatan kotor ketujuh terbesar di dunia,
- film anime dengan pendapatan kotor terbesar sepanjang waktu di seluruh dunia, dengan total pendapatan mencapai US$355 juta per 30 Juli 2017.
- Menjuarai Festival Film Sitges ke-49, Los Angeles Film Critics Association Awards tahun 2016, 
- Film animasi terbaik di Mainichi Film Awards ke-71,
- Animasi terbaik dalam Japan Academy Prize ke-40 Tahun 2017.

“...Kita adalah penerbang waktu. Kita adalah pendaki waktu. Tak ingin tersesat dalam permainan petak umpet ini. Aku tak akan melepaskanmu. Tak akan pernah melupakan ini. Tanganku akhirnya menyusulmu…” - soundtrack penutup film Kimi no Na Wa berjudul Nandemonaiya.

*Violeta
25 Maret 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One Day One Post

Saya tak pernah benar-benar mengerti. Sebuah perkumpulan manusia dengan satu misi. Lucu jika kemudian ada yang bertahan dan tereliminasi. Bu...