Minggu, 16 September 2018

Jangan Nginap di Bandara, Bahaya!

Image may contain: 1 person, shoes
Seharusnya, saya tak perlu tengah malam selonjoran di dekat pintu masuk Kuala Lumpur International Airport. Seharusnya, tak harus nunggu HP di charge di area khusus yang tak kena WIFI. Iya, seharusnya, saya tak perlu menggelandang dengan sebungkus roti penyok dan aroma kertas cokelat dari buku Puthut EA.
"Lho, saye nak kira daripada Sawarak," gelegar Pak Cik memecah konsentrasi baca.
"Cakapnya tu.." Istrinya menimpali. Kami tertawa.
Tadi mereka datang, tanya, apa mesin charge-nya berfungsi. Saya jawab dengan logat upin ipin, "Bize, bize, bize..."
Dari situ, ngobrol sejam jadi tidak terasa. Sepasang suami istri dari Borneo, yang saya tebak usianya menginjak 50an tahun itu, mau jalan-jalan ke Korea.
Katanya, setiap tahun, harus pergi. Berdua aja, tanpa anak-anak. Kenapa Korea? karena untuk Malaysia bebas visa.
Ahh, kita-kita mah harus ngurus setumpuk berkas dan potocopy buku tabungan dengan nominal uang mengendap jutaan. Itu pun belum tentu lolos.
Mau ke Nami dan Jeju katanya, saya merem melek dengan tempat favorit syuting deretan drakor itu.
"Kuala Lumpur tu besar, dik. Pegilah ramai-ramai. Anak saye ja nak taksi tu poto nomor kereta (mobil). Kirim ke whatsapp," pesan si ibu saat saya katakan penasaran dengan petronas. Bahkan orang Malaysia asli saja meragukan keamanan negaranya. Jujur sekali, ya?
Obrolan selesai saat mereka harus check in karena pesawat boarding jam 1 dini hari. Otomatis, sendirian lagi.
Entah bagaimana, saya selalu yakin, saat berkelana sendiri seperti ini, akan ada hal-hal ajaib terjadi. Macam sekarang, persis di depan saya, ada mas-mas dari India kebingungan. Doi cuma nunjukin Baterai HP-nya tersisa 11%. Lalu nunjuk charger saya yang masih terjulur dengan HP. Kan gua jadi garuk-garuk lantai.
"Please.. please.." suaranya bergetar. Ada kerutan bersaff-saff di dahi. Oke, dia serius.
Usianya mungkin 20an. Ngapain ke Malaysia tapi ga bisa bahasanya. Tapi kalian tahu, saat kepepet, ketakukan lenyap bak asap. Dulu saat pertama saya datang ke Saudi juga gak bisa Bahasa Arab kok.
"Tike.. tike.." saya jawab sambil memberikan charger. Artinya, oke.
Dia menelpon seseorang. Lalu ikut ndeprok di depan saya, keringetan. Telpon lagi. Duduk lagi. Telpon lagi. Duduk lagi. Kakinya goyang-goyang. Cemas.
Saya tanya, apa dia butuh bantuan. Doi gelagapan. Jawab pakai Bahasa india. Saya yang tidak paham. Tapi tangannya gemetaran. Memang gugup sekali sepertinya.
Sampai kemudian dia lari keluar bandara. Masuk lagi. Ambil hp dan kopernya. Menyodorkan charger bertali pink. Lalu bilang, thanks. Saya jawab, syukria. Dia kaget. Matanya membulat. Lalu bilang, how.
Saya mengendikkan bahu, lalu tertawa. Kami berdua tertawa. Adu tos. Lalu dia pergi, sambil dadah. Jemputannya datang.
Kita mungkin tidak sebangsa, tidak sebahasa, entah pula agamanya. Tapi bisa akrab saja. Bak saudara lama yang pernah berpapasan entah dulu kapan.
Syukria, terima kasih dalam Bahasa India. Berasal dari Bahasa Arab, syukron. Mudah dihapalkan. Keseringan nonton PK jadi ada manfaatnya ternyata.
Saya, sendirian lagi. Karena posisi di pintu sayap kanan, terhimpit restoran dan dinding kaca bandara, tak banyak pengunjung melintas.
Lalu datang, 3 orang. Mencolok charger HP. Ngobrol dengan bahasa China. Ahh, setidaknya saya tidak kesepian. Mereka itu memang jagonya mengubah keadaan.
Tiba-tiba salah satu menghadap saya, "Mbak, mau voucher makan?" Lho, bisa bahasa Indonesia?
"Free?" Saya memastikan, yang ditanya beneran saya atau tidak. Gratis atau tidak. Hhaha..
"Iya, ini ada 3, kita sudah kenyang. Mau ke hotel."
Image may contain: one or more people
Wah, rezeki nomplok. Alhamdulillah, gegara minjemin charger saja langsung dibalas berlipat-lipat. Kyakk. Berlompatan ini jantung. Mana ringgit tinggal receh pulak.
Langsung saya dorong trolley ke arah outlet makanan karena hanya berlaku 1 hari. Satu jam lagi, sudah tengah malam. Puter-puter lorong... Yes, nemu kios Burger King! Ahh, lama tak makan craby patty.
Saat batin sedang bertarung sengit pilih isian ikan atau daging, lauk nugget atau kentang, si embak justru merusak segalanya, "Maaf, kak. Vouchernya untuk outlet yang di dalam."
Huwaa.. sakitnya tuh di sini!!
Hangus sudah. Lha saya belum boleh check in, kok. Padahal jam 8 malam tadi sudah merayu operator maskapainya. "3 jam sebelum boarding baru boleh masuk, Mbak. Besok jam 4 pagi, ya. Sekarang tunggu di sini dulu."
Kenapa ngebet masuk? Karena di bagian dalam berlantai karpet motif lucu-lucu. Dekorasi yang artistik. Kursi tidur berderet-deret. Lengang. Luas. Pula ada free movie area untuk nonton film sesukanya. 24 jam nonstop. Gimana saya nggak ngiler coba?
Sekarang, masih jam 2 pagi. KLIA 2 masih ramai saja. Banyak yang terkapar di lantai, kursi, genteng. Ada yang macam saya, melek karena lapar, atau kekenyangan menguap.
Ada juga anak-anak yang balapan puterin check in counter pakai trolley barang. Total ada 3 trolleys, kebut-kebutan. Tawa mereka bergema. Memantul di langit-langit yang menyala.
Kalau saja, saya lupa sudah menikah, mau ikut juga ngetril bareng mereka. Kapan lagi coba, airport jadi tempat balap liar.
Image may contain: one or more people, basketball court and indoor

Kegabutan malam ini saya gunakan untuk menonton balapan gratis sambil melahap buku Kepala Suku Mojok, Puthut EA, judulnya, 'Seorang Laki-laki yang Keluar dari Rumah.' Ada kata-kata yang menampar saya di halaman 77,
"Kenapa takut tersesat, Rus? Tersesat itu bukan kekeliruan yang harus ditakuti. Jalan saja. Tersesat saja. Tak mengapa. Sebagian sejarah ini dibangun oleh petualang yang tersesat. Dengan tersesat kita lebih awas. Kita berinteraksi dengan orang. Bertanya. Bicara. Bertatap muka. Orang yang tidak tahu pasti sebuah arah akan lebih waspada. Semua sulur-sulur daya hidupnya akan menyala terang. Peka. Semua itu harus dilatih."
Dari dulu saya percaya, tak selamanya kita mengandalkan teknologi. Bagaimanapun, kemajuan modernitas hanya mengkerdilkan kemampuan asli manusia itu sendiri. Terlalu bergantung. Lalu kalah, mengalah, pada robot-robot ciptaan manusia.
Malam ini saya ingin mengenali dunia nyata, yang penuh gelak tawa, tanpa emoticon, tanpa notification.
Saya tak membuka google, wikipedia, GPS (ada GPS untuk airport bagian dalam), buku online, aplikasi cerpen atau semacamnya. Apalagi bergerilya di mojok.co . Bermalam di penginapan yang senyap dan diam. Meski mamas sudah teriak dari sana, "Ngapain ada WIFI nggak dimanfaatin?"
Saya, lebih ingin berbaur dengan mereka. Karena memang seharusnya begitu. Nyari locker barang, tanya bagian informasi. Samperin tempatnya, harga tak cocok, minta maaf, lalu pergi.
Nyari mushola, ikutin petunjuk arah. Salah masuk ke tempat shalat laki, minta maaf, keluar lagi. Nyari milo, masuk keluar toko. Nyari jodoh, eh lagi di Jepang.
Jadi, jangan coba-coba menginap di bandara kalau tak ingin menemukan keajaiban seperti ini. Plis, jangan coba-coba. Segala macam kerusuhan, pegal, dan ketagihan, ditanggung boyok masing-masing.
Image may contain: one or more people, basketball court and indoor

*Violeta
KLIA 2. 2.25 am

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One Day One Post

Saya tak pernah benar-benar mengerti. Sebuah perkumpulan manusia dengan satu misi. Lucu jika kemudian ada yang bertahan dan tereliminasi. Bu...