Minggu, 23 September 2018

Segumpal Kapas di Saku Sekar


#Part 1

Sekar meringkuk di sudut ruang. Matanya membulat. Tubuhnya bergetar. Bahkan jika sanggup didengarkan, jantungnya berdebar kencang. Dia tak bergerak dari sudut sejak satu jam lalu. Gadis 9 tahun itu masih tak mampu mencerna apa yang orang dewasa katakan. Pagi tadi, emak dan bapak mengaku jika mereka bukan orang tua Sekar.

Pemilik kulit kuning langsat tak paham. Tidak. Dia benar-benar kebingungan. Kenyataan ini. Semua yang terjadi terasa begitu cepat. Orang tuanya, tanpa persetujuan Sekar membongkar isi lemari. Memasukkan baju-baju Sekar ke dalam tas anyaman yang biasa dibawa emak ke pasar. Buku-buku dijejalkan bapak ke dalam tas sekolah. Sebagian masuk kantong plastik bekas terasi.

Melihat kekacauan itu, Sekar tak beranjak dari kasur. Bertanya-tanya, pertanyaan yang sama, “apa yang terjadi?”

Berkali-kali pula mulut mungilnya memanggil-manggil emaknya yang sekarang sibuk melipat seragam sekolah Sekar, lalu dimasukkan ke plastik warna putih. Itu khusus tempat sayuran. Bebas terasi. Emak tak membuka mulutnya lagi setelah berkata, “orang tua aslimu akan datang menjemput.” Hanya itu yang Sekar tangkap. Tanpa penjelasan apapun.

“Saat kamu kecil, mereka menitipkanmu ke sini. Sekarang, sudah saatnya kamu pulang,” bapak bergumam lirih.

Tapi ia semakin tak mengerti. Kenapa dititipkan? Kenapa mereka baru memberitahunya sekarang? Dada Sekar sakit sekali. Semakin pertanyaan itu dilempar ke emak bapak, semakin mereka bungkam, semakin nyeri di ulu hati. Sekar ingin menangis. Tapi tak ada air mata menetes. Masih sulit mencerna semua informasi yang datang bertubi-tubi. Ia merasa semua ini hanya mimpi yang akan berakhir ketika bangun nanti.

“Sini, Nak,” kata perempuan berambut pendek. “Jangan takut. Sekarang, ini rumahmu.” Senyum perempuan itu merekah. Tapi Sekar tak suka dengan tatapannya, seperti ular yang siap memangsa yang nantinya harus dipanggil dengan sebutan ibu. Sekar semakin merapat di sudut.

Sejak sebulan Sekar pindah ke rumah baru, dengan orang tua baru, hampir selama itu pula setiap malam ia menangis memeluk bantal. Gadis bermata cokelat itu tak dapat menangis kencang. Terakhir ia berteriak memanggil emak saat malam, Dwi, membentaknya. Mengancam mengadu ke ibu. Maka sejak saat itu, Sekar memilih menangis dalam diam.

“Jangan pergi kalau lantai belum bersih,” Tika menunjuk ember dan lap pel di dekat sumur. “Oh iya, piringnya juga jangan lupa dicuci,” tambahnya lagi sebelum melenggang pergi dengan Dwi dan Ratna. Sebenarnya itu bukan kali pertama, sejak datang, semua pekerjaan rumah Sekar yang melakukan. Kecuali memasak. Ia takut api.

Selepas sekolah, mencuci dan menjemur pakaian milik orang tua dan ketiga saudaranya, Sekar masuk rumah dengan keringat membanjiri tubuh. Siang itu terik matahari benar-benar menggantang langit. Tapi bukan itu yang membuat ia kuyup juga oleh air mata. Bukan perlakuan ibu dan ketiga kakaknya yang hingga kini, Sekar ragu apakah mereka benar saudara kandung.

Tapi berita siang itu seperti badai yang menyapu seluruh kerinduannya pada emak yang setiap pagi menyisir rambutnya. Emak yang menyanyikan lagu Bubuy Bulan sebelum tidur. Emak yang selalu ia tangisi setiap malam, pagi ini ditemukan terbujur kaku di bangku rotan.

Ia menangis. Berteriak. Histeris. Memukul-mukul bantal yang sobek di sana sini. Kapasnya berjatuhan di bawah kolong kasur. Genap 3 tahun Sekar tak bertemu emak. Sejak ia pulang ke rumah yang bukan rumahnya. Berkali-kali minta diantar ke rumah emak. Berulang kali juga ibu berkata, “Tunggu abah datang, kita ke sana bersama. Aku tak tahu jalannya.”

Hingga gadis itu tertidur dalam tangis di teras rumah, abah tak kunjung pulang.

Kali ini ia mengepang rambutnya. Dibuat serapi mungkin. Dengan sedikit poni menghias wajah oval dan warna kulit secerah delima, Sekar pamit berangkat sekolah. Degup jantungnya berlompatan. Sesekali tertawa geli. Ada rasa yang menggelitik relung hati sejak ada yang menunggunya setiap pagi di persimpangan jalan.

“Siap diantar, Tuan Putri?” Hati Sekar berdesir. Bibirnya menyungging malu-malu. Berjalan bersisian dengan laki-laki yang dikenalnya minggu lalu. Sekolah mereka berbeda, itu sebab pertemuan hanya sampai di batas sekolah. Tapi cukup membuat perasaan Sekar bermekaran.

Diakuinya, Jaka satu-satunya yang mau mendengar keluh kesah Sekar. Jaka yang mampu membuatnya merasa tak sendirian sejak bapak menyusul emak. Luka-luka hatinya perlahan terobati oleh canda yang Jaka lontarkan setiap hari.

Mereka sedang menikmati semilir angin di tepi sawah sepulang sekolah ketika suara abah menggelegar dari kejauhan. Kedua sejoli itu tersentak. Mereka beradu pandang. Belum sempat Sekar berkilah, tangan kirinya dicekal abah. Diseretnya tubuh Sekar sampai rumah.

“Memalukan!! Susah-susah disekolahkan malah pacaran!” Tubuh Sekar dibanting di lantai semen ruang tamu. Kepala Tika, Dwi dan Ratna menyembul di pintu dapur. Dengan mata berbinar-binar. Seperti menyaksikan perhelatan akbar wayang di kelurahan. Benar, di kelurahan sabtu lalu, Ratna memergoki Sekar dan Jaka bercakap di selasar kantor Sekretaris Lurah.

“Ma-af… A-bah..,” suaranya terbata. Tenggelam dalam isakan.

“Menikah saja! Biar tahu rasa!”

“Jangan, Abah. Sekar mau sekolah,” ratapnya. Menangis sejadinya di kaki abah.

“Tidak perlu ke sekolah lagi. Kamu sudah dikeluarkan!” Abah melepas kakinya dari pelukan Sekar. Menendang kursi bambu yang baru dibuat sebulan lalu. Hati Sekar berantakan. Tak pernah ia melihat abah semarah ini.

Dikeluarkan dari sekolah? Sekar menangis mendekap tas sekolah erat-erat. Ia ingin sekolah. Ia ingin menepati janjinya kepada emak. Sekolah sampai SMA lalu cari kerja di kota. Sekar ingat benar janjinya. Dan ia rindu emaknya. Sangat rindu.

bersambung..

#TantanganODOP2
#onedayonepost
#odopbatch6
#fiksi

*Marintha Violeta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One Day One Post

Saya tak pernah benar-benar mengerti. Sebuah perkumpulan manusia dengan satu misi. Lucu jika kemudian ada yang bertahan dan tereliminasi. Bu...