Rabu, 19 September 2018

Perawat Pengkhianat Profesi?

Menjadi perawat yang masih seumur jagung itu serba salah. Yakin deh. Apalagi saat ditanya, pengalamanmu apa? Kan ya lucu kalo jawab, “bisa nyuntik.”

Lho, itu kan kompetensi sebelah, kok diaku.

Setelah pulang dari Arab Saudi, saya memang tidak berniat melamar kerja. Istirahat dululah, nyenengin suami, eh, diri sendiri.

Ga ada yang namanya mikirin pasien, obat yang kemarin dikasih bener gak, atau, stok obat minggu ini cukup atau tidak. Beneran, bebass..

Tapi ternyata bagai makan buah simalakama, nganggur pun, pertanyaan bertubi datang. “Lhoo.. kok ga kerja sih mbak? Mengaplikasikan ilmu ke ranah seharusnya dong. Sombong amat dipek sendiri.”

Eww… saya yang malah harus tanya, “seriusan nih mau dibagi ilmu? Saya cuma junior tolol yang ngasih rumus penghitungan dobutamin tercepat saja dianggap sok nyari perhatian.”

Sepuluh dari seribu alasan perawat tak betah sampai meninggalkan profesi itu mudah sebenarnya, tak dianggap ada.

Bahkan, ‘tak dianggap ada’ bagi sepasang kekasih saja bisa bikin perceraian kok, apalagi masalah kerjaan.

Iya, tak dianggap negara kalau sekolahnya mahal, kerjanya tak manusiawi, tapi dituntut superman. Lampu kamar pasien mati, salah perawat. Hujan turun, salah perawat, sampai anak Jokowi nikah-pun, salah perawat.

Ya jadi tidak salah toh kalau akhirnya banyak yang hengkang. Cari peruntungan lainnya.

Merintis jalan yang sedang dan akan ditapaki itu sulit, tapi bukan mustahil. Akan ada banyak hambatan, tentu saja, tinggal bagaimana kita menanggapi dan mencari solusi. Nah, kalau sudah mentok tak ada yang bisa memberi pemasukan untuk bertahan hidup, bukan sebuah kesalahan jika perawat ini mencari jalan lain.

Kecintaan dan keahlian setiap orang berbeda tergantung minat dan ketahanan.

Banyak teman saya yang akhirnya menjadi wirausaha. Bukan karena mengkhianati profesi, tapi di jalan itulah mereka menemukan jati diri. Kebahagiaan sejati. Yang meski melelahkan dan memeluai dari paling dasar. Mereka akan puas dan tertawa.

Bekerja di satu linier yang dianggap orang lain hebat tapi tidak sesuai hati itu sangat menyiksa dan meleahkan. Ingat, mental butuh makanan juga. Kesehatannya, tergantung apa yang sedang dilakukan. Termasuk ya mimpi-mimpi ke depan.

Dan menghalangi seseorang untuk mendapatkan mimpinya, menghancurkan masa depannya, mematahkan semangatnya hanya karena berbeda pandangan dengan kita itu sangat tidak etis.

Kebahagiaannya, biarkan dia yang menentukan.
Tugas kita, sebagai sesama sejawat adalah mendukungnya asal tetap berada di jalur positif dan sesuai dengan tuntunan agama.

Kebaikan bisa berbentuk beragam wujud. Kebahagiaan bisa didapat dari beragam profesi. Cintailah, bahagialah.

*Marintha Violeta
Kuala Lumpur, Malaysia. 19 September 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One Day One Post

Saya tak pernah benar-benar mengerti. Sebuah perkumpulan manusia dengan satu misi. Lucu jika kemudian ada yang bertahan dan tereliminasi. Bu...