Kamis, 27 September 2018

Jepang dan Budaya Malunya

Di SMAN 2 Semarang saat saya sekolah dulu, ada club bergengsi. Lupa namanya, tapi ekstrakulikuler ini berisi orang-orang pecinta apapun yang berasal dari Negara Jepang. Saban bulan ada saja kegiatan. Dari nonton bareng anime sampai menggelar event costplay. Biasanya, bergilir tiap sekolah di Semarang.

Sekali waktu saya datang, karena memang diajak. Bukannya excited seperti yang lain, saya malah bengong. Kok ya mereka mau berdandan, ngecat rambut sampai beli kostum ratusan ribu cuma buat foto-foto?

Acaranya loh rame di lapangan sekolah yang sudah disulap sedemikian rupa. Seperti karnaval tapi ala-ala anime. All-out, badan dicat putih, bawa pedang panjang besar, yang ternyata buat sendiri dari kardus. Ada yang jadi monster, putri, macam-macam. Sepertinya sekarang masih ada kan ya?

Saat sudah di Jepang, saya tak hanya bengong, tapi beneran syok.


Tidak hanya di jalanan, di depan toko, tapi juga di TV. Itu orang-orang berdandan layaknya anime. Dari acara anak-anak sampai berita harian. Dari perkenalan sampai promo. Padahal animenya juga baru akan rilis tahun depan.

Sekarang, anak-anak Jepang sedang dijejali dengan ‘Anpan-man’. Superhero yang berasal dari roti Anpan (bacanya: angpang). Jadi, di mana-mana ya isinya ini. Dari supermarket, souvenir, sampai bantal. Alasannya jelas, agar anak-anak lebih akrab makan roti. Jenius, kan?  

Nah, budaya inilah yang membuat saya kadang ngangguk-ngangguk lemah. Cara mereka menyajikan kebaikan menjadi sangat akrab dengan pendekatan persusif yang personal. Seperti, kita banget!!

Di kereta misalnya, ga ada loh yang mengobrol. Semua diam, sepi, dan senyap. Bahkan suara dering telepon saja tak ada. Saya dan mamas, kalau lagi naik kereta ya gitu. Langsung diem-dieman. Paling ngasih kode dengan tangan, kalau kita turun di stasiun depan.

Nah kalau ada telepon gimana? Jarang sih ada yang teleponan sampai ngakak. Mereka salalu memojok di sudut stasiun. Mepet tembok. Menjauhi kerumunan. Ngobrol bisik-bisik. Alasannya: malu!

Jalanan selalu bersih. Tidak ada sampah meski tidak ada tong sampah, dan tentu saja tidak ada tulisan:“Yang Membuang Sampah Di sini Orang Gila.” Alasannya: malu!

Setelah makan di food court, harus dan wajib menggembalikan piring dengan nampannya ke tempat membeli makanan. Plus melap sampai bersih meja yang telah dipakai. Jadilah, tidak ada petugas kebersihan karena semua bertanggungjawab dengan makanan masing-masing. Bahkan kalau ada makanan tercecer di bawah meja, mereka akan memungut itu, dan dilap. Alasannya: malu!

Malu, malu, dan malu!

Ini yang jelas membuat saya malu-maluin.

Kok bisa kalau costplay saja semua ditransformasi. Pokoknya harus mirip banget sama karakternya. Tapi uhh, tempatnya berserakan sampah. Botol-botol kosong diletakkan semaunya. Bahkan tumpahannya pun yasudah, dibiarkan becek. Si anu, malah ngobrol teriak-teriak.

Ya mungkin itu dulu, saat saya datang. Bisa jadi sekarang sudah tertib. sudah bersih dan santun meski dengan kostum monster.

Jadi rasanya kalau ada yang bilang, ingin umroh, mesti kan sikap kaya udah umroh. Yang agamis. Latihan berbaju tertutup, berkata halus dan sopan. Banyak-banyak mengucap shalawat.

Nah, ya sama, sebenarnya, jika kita ingin mendatangi suatu negara, atau menyukai negara tersebut, tak cuma bilang, “ingin ahh ke Jepang.” Tapi buang sampah aja masih seenaknya. Nyebrang jalan masih liar. Mainan klakson kaya jalan punya neneknya. Di jepang, saya jarang sekali mendengar klakson.

Mereka, diajarkan sedari kecil untuk tidak mengganggu. Selalu menghormati pengguna jalan yang lain. Berharap dapat melayani meski pada orang asing. Berusaha membuat orang yang akan menggunakan meja bekas kita makan akan nyaman. Hingga agar penumpang kereta dapat tidur setelah lelah bekerja membuat mereka malu untuk melanggar budaya.

Iya, budaya. Bukan lagi peraturan. Karena ketika kebiasaan telah membudaya, maka tak perlu lagi ada peraturan.

Kan tidak ada peraturan daerah yang tertulis juga to kalau tidak boleh menyembelih sapi di Kudus? Tapi ya bertahan berabad-abad, tuh.

Maka tak harus menjadi warga negara orang dulu untuk mengaplikasikan kebaikan. Kita hanya harus dapat mengambil nilai positif dan menerapkannya sekarang. Berasal dari yang paling sederhana: diri sendiri.

Saat belanja sendirian di supermarket, ada nenek-nenek menabrak troli saya, karena memang saat itu pengunjung padat sekali. Cuma nyenggol sedikit, ga sampai berguling tuh troli, tapi si nenek bilang, “Gomennasai,” (maaf) sampai 2 kali. Sambil bungkuk sempurna, 2-3 detik. Membuat tubuh pendeknya makin pendek seperti rukuk tepat di depan saya.

Tubuh saya kaku. Raut wajahnya yang penuh penyesalan membuat saya malu. Ahh, betapa banyak yang harus saya pelajari dari negara ini.

*Violeta
5 Maret 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One Day One Post

Saya tak pernah benar-benar mengerti. Sebuah perkumpulan manusia dengan satu misi. Lucu jika kemudian ada yang bertahan dan tereliminasi. Bu...