Kamis, 20 September 2018

Salju itu nggak keren blas, Sistaa!

“Salju itu bagusnya cuma sehari, selanjutnya, pengen buru-buru pulang!” backpacker asal Jakarta yang kami, saya dan mamas, temui di Sapporo Snow Festival memberi bocoran.

Saya meringis, “Sehari? Kelamaan, Mbak! Saya cuma seneng 5 menit! Eh, 2 menit malah!”

Menit pertama, saat lihat semua serba putih, ada yang meletup-letup di dada. Girang bianget aye, Bang. Ngelebihi belanja di alpa dapet piring.

Menginjak-injak butiran halusnya. Loncat-loncat. Gulung-gulung. Meraup dengan tangan telanjang.

Niatnya sih bikin Olaf, tapi khilaf, di menit kedua, telapak tangan kaku, kebas. Dingin menusuk kulit. Hidung meler, napas sesak dan badan sulit digerakkan. Plus berkali-kali kepleset karena jalanan licin. Kyakk!!!

Selanjutnya, mengurung diri di kamar seminggu. Trauma ketemu salju.

“Ihh, tapi kan keren, Vii! Romantis gitu, loh!”

Serius, nggak keren banget dah kalau liat berita di tv seantero Jepang, dan desas desus orang-orang. Salju saat saya awal datang itu dahsyat. Bahkan jadi hujan salju terlebat dalam 4 dekade.

Di Perfektur Fukui, 320 km dari Tokyo, ketinggian salju 1,36 meter. Itu rumah bener-bener kependem es. Belum lagi banyaknya rumah ambruk karena atapnya tidak kuat menahan beban tumpukan salju yang menggelayut mesra.

Akses jalanan tertutup. Macet 10 km. Sayangnya tidak cuma para pekerja dan dedek-dedek emesh JKT 48 yang harus terhenti berjam-jam, distribusi makanan ke supermarket dan restoran juga kacau balau. Berhari-hari, makanan langka. Bahkan air saja tidak ada. Lha wong pipanya beku kok.

Tidak cuma itu, banyak yang meninggal karena tertimpa bongkahan es yang jatuh dari atap gedung, plorotan maut dari atap saat membersihkan salju, kejengkang lalu kepala terbentur es dan tenggelam karena tidak tahu kalau di bawahnya adalah air yang dingingnya aduhai.

Belum pula kecelakaan lalu lintas karena jalanan licin dan jarak pandang yang terbatas di Prefektur Fukuoka dan Miyagi. Total ada 700 kecelakaan dilaporkan dari siaran TV nasional Jepang.

Tidak termasuk kereta yang berhenti di tengah padang salju Kota Sanjo di malam hari. Tumpukan tebal salju di sepanjang rel membuat roda kereta macet hingga menanti evakuasi esok hari. Dan pesawat yang dilarang terbang beberapa hari, membuat 5000-an penumpang menginap di bandara.

Ngeri lagi, hipotermi di Jepang membunuh sekitar 16.000 orang sejak 2000-2016. Nah, saat badai itu, 705 orang dibawa ke IGD. 161 orang meninggal karena kedinginan dan kurang asupan makanan.

Hhmm, tarik napas dulu.

Jadi ndak salah to Sis kalau saya enggan keluar kamar?
Ndak salah juga to kalau salju itu bagusnya barang 2 menit?

Berasa ngeh gitu kalau sudah lihat sendiri, kenapa Indonesia jadi destinasi wisata dunia. Bagaimana sawah dan kebon, jadi tempat bule-bule rela berlama-lama. Betapa, hangatnya musim di Indonesia selalu dirindukan dan ingin kembali lagi dan lagi.

Di Arab Saudi itu panasnya bisa 50 derajat. Nyengat sampai ubun-ubun. Saya? Mimisan berulang kali.

Di Eropa, iya sih enak, pas musim semi sama gugur, anginnya sejuk, tapi tidak dengan biaya hidupnya. Menguras kantong. Mana ada lentog sayur harga 3000 rupiah? Roti seemprit aja 1 euro, 15 ribu rupiah, sekali kunyah. Apalagi gule kambing. Eww…

Bersyukurlah, lahir dan besar di Indonesia, di mana yang namanya kere masih keren kalau bisa nongkrong di kedai kopi harga cuma 5 ribu, tapi bisa wifian gratis sampai pagi. Di Paris mana bisa? Dilempar eiffel yang ada.

Berbahagialah, hidup dan tumbuh di Indonesia, di mana saat kamu jatuh di jalan, banyak yang akan bantu berdiri, minimal bilang, “gimana, Mbak? Aduh, ati-ati. Jalannya licin. Sini saya gendong.” Di Jepang mana ada, berapa kali saya lihat orang terpeleset di atas es, mencoba berdiri sendiri, meski banyak orang lalu lalang di sekitar. Sudah sakit, malu pula.

Makmurlah di Indonesia, bergaya dan bertampang. Di mana hujan-hujanan adalah masa memantaskan diri menjadi manusia dewasa karena tahan masuk angin. Di Jepang, tidak bawa payung saat hujan, dipelototin banyak orang, karena dianggap bodoh sekali tidak membaca perkiraan cuaca hari itu. Jadi, gegara ini juga, saya setiap pagi, melototin tv cuma nonton acara cuaca.

“Dulu kok pilih Hokkaido, sih? Masa setahun summer cuma 4 bulan sisanya salju terus-terusan?” Saya cemberut amit-amit di Stasiun Otaru.

“Ya karna ada mushola di RSnya. Eh ternyata malah lebih deket ke Rusia dari pada Tokyo. Hhaa.”

“Ihh, dingin tauuk! Beliin yang anget-anget.”

“Oke, tunggu sini.”

Romantisnya. Ndengaren, biasanya loh saya yang disuruh beli sendiri. kasirnya ngomong bahasa Jepang, yang saya tangkep cuma bagian, “…… desu ka.” Itu kalau diartiin cuma tanda ‘?’. Hambuh yang ditanyain apa.

Saya balas, “Aiwa, aiwa..” Bahasa Arab, artinya, ‘iya, iya’. Bahasa Indonesia dia juga kagak ngerti kan?

Di antara hiruk pikuk stasiun yang dijejali turis China dan Korea, dengan kerennya, si mamas datang dari belakang nyodorin… es krim.

Saya mlongo.

Seharian diguyur hujan salju, angin kenceng dan badan beku. Minta anget malah dibawain es krim itu rasanya, geregeee…

“Nggak mau?”

“MAAUUU!!”

Kami tergelak, serempak. Romantis? Ngekek aja dah.

Sedingin apapun suasana, bersyukur, selalu ada yang berhasil membuat saya tertawa.

Mungkin, kita tidak dilahirkan di negara yang memiliki 4 musim. Mungkin, kita belum bisa selalu bersama sekarang. Mungkin, kita masih harus berjuang lebih kuat untuk mencapai impian. Mungkin, gelapnya malam membuat kita khawatir pada masa depan.

Tapi, bahagia, tak harus musiman. Kenyamanan dan menjadi diri sendiri adalah tonggak dasar, di manapun berada, bersama siapapun, dan apapun yang sedang terjadi, bahagia, harus menetap di hati. Entah saat didekap salju, atau diserang rindu.

*Violeta
Sapporo, Jepang. 26 Februari 2018. 12.10 pm  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One Day One Post

Saya tak pernah benar-benar mengerti. Sebuah perkumpulan manusia dengan satu misi. Lucu jika kemudian ada yang bertahan dan tereliminasi. Bu...