Kamis, 27 September 2018

Wedding Airlines

Saat bekerja di Arab Saudi, saya sudah mengirim CV ke beberapa lembaga, termasuk Malaysia, Australia, dan Amerika. Beberapa mewajibkan pelatihan menyetaraan ilmu dan bahasa. Beberapa langsung diterima karena pengalaman kerja. Rencana lainnya, kuliah, tentu saja.

Tapi ternyata ada hal yang mengharuskan meninggalkan semua berkas dan email-email itu. Sampai sekarang email dari USA masih sering masuk. Dari seminar hingga hiring.

Saya hanya mampu menarik napas panjang. Lebih dalam. Sampai menusuk tiap gelembung paru. Saat tawaran menambah kontrak kerja, perpanjangan visa Schengen dan gaji 2 kali lipat, datang.

Sebagai seorang yang terlahir di keluarga biasa, berada di Eropa adalah impian terakhir. Sudah didapat. Benar-benar digenggaman. Yang saya lakukan? Resign.

Ketika orang-orang bersuka cita di depan menara Eiffel, saya meredam ngilu di dada. Saat turis-turis berebut mengambil foto lukisan Monalisa, mata saya nanar bergemuruh lara.

Memilih antara karier dan pernikahan ternyata tak semudah teriakan mereka tentang manfaat menikah muda. Ada yang harus dilepaskan. Bukan tentang lajang, lebih dari itu. Saya belum siap.

Seatbelt kursi pesawat Emirates jurusan Saudi-Dubai-Jakarta sudah dikencangka. Tak ada yang menggembirakan meski pesawat 2 lantai itu memberi kenyamanan ekstra dengan TV layar jernih, bantal, selimut, dan kudapan istimewa. Bagi saya, burung besi itu seperti Dementor yang menghisap rasa bahagia dengan buas dan tanpa ampun. Membawanya pergi. Jauh. Menyisakan ampas yang akan dicabut paksa.

Setahun berlalu, kepulangan ke Indonesia seminggu lalu memberi ‘rasa’ yang sama. Retakan di luka lama. Sengaja hanya membawa seperlunya. Tak ada baju. Tanpa buku. Karena yakin, nanti pasti kembali lagi ke ‘rumah’.

Sejak mamas selalu ada meringankan beban di pundak. Menghapus air mata. Mengubahnya menjadi derai tawa. Sejak itu saya tahu, ‘rumah’ adalah tentangnya.

Pesawat jurusan Chitose-Kuala Lumpur mulai lepas landas, melipat roda, menembus kapas putih mengambang. Melalui jendela oval, saya menerawang jauh, melintasi Troposfer, berkelana di Stratosfer, hingga mamatung di Eksosfer.

Aahh, saya jatuhkan punggung di sandaran kursi. Pernikahan sejatinya seperti pesawat ini, Sayang. Mencoba mengelus diri sendiri.

Mencari jodoh adalah saat mencari tiket. Maskapai mana yang cocok, waktunya pas, dan kelas sesuai kantong. Masa menemukan dan ditemukan

Lamaran adalah saat membeli tiket. Sudah merasa klik, tapi belum pasti terbang atau tidak. Ditukar, di-pending atau lanjut.

Akad adalah ketika ada persetujuan kedua belah pihak, proses check in. Tiket boarding pass sudah benar-benar di tangan. Sah dimiliki atas nama sendiri.

Selanjutnya, pernikahan itu tentang menaiki pesawat. Yang bergetar saat akan memulai perjalanan. Menghunus barisan awan dengan kekuatan penuh, membuat siapapun yang baru mengalami pertama kali bergidik ngeri. Berpegangan erat di sisi kursi. Tapi jika sudah terbiasa, santai saja mau makan, minum dan mengobrol santai. Tanpa peduli, daratan tak tampak lagi.

Belum tercapainya mimpi-mimpi saya dulu menjadi trigger tak terelakkan di awal pernikahan. Julangan Eiffel yang justru terasa bengis. Dan panggung pengantin seperti monster yang siap menerkam.

Tapi, tunggu, pasangan itu bukan tentang penumpang, kan?

Suami istri itu, seperti pilot dan co-pilot, Sayang. Saya menepuk-nepuk bahu sendiri.

Saling melengkapi. Membantu. Mengisi. Bersinergi membawa ‘Wedding Airlines’ terbang menuju tujuan. Tak bisa salah satu. Harus berdua. Harus. Bagaimanapun, suami-istri adalah partner sepanjang usia.

Sekarang saya mengerti bahwa, kita tak bisa menjadikan kemauan sendiri menjadi dasar mutlak untuk melakukan sesuatu. Ada hal-hal yang memang harus dibicarakan berdua. Didiskusikan. Jika ada yang harus disingkirkan. Bukan berarti tak baik, hanya saja, belum tepat waktunya dilakukan.

“A great marriage is not when a ‘perfect couple’ comes together. It is when imperfect couple learns to enjoy the differences.”

Ada banyak perbedaan, pasti. Tapi dari sana kami belajar menyelami pribadi masing-masing. Bukan pasangan sempurna, jelas, tapi karena itu berusaha untuk tak menyakiti. Akan selalu ada masalah menghampiri, seperti turbulensi yang datang tak tahu diri, tapi dengan saling percaya, apapun dapat dilalaui. Tak selalu bisa bersama, tapi bukankah itu yang membuat setiap pertemuan menjadi istimewa?

Menanti dia dengan jantung berdegup kencang di depan pintu kedatangan penumpang?

Pernikahan bukan tentang maskapai apa yang kita naiki, Sayang. Sebesar apa kabin dan baling-balingnya. Bukan pula tentang empuk kursi dan hangat selimutnya. Tapi tentang selalu mendukung, mendoakan, dan jatuh cinta berkali-kali pada orang yang sama.  

Terima kasih atas rangkaian bunga yang dibawa saat pulang kerja. Atas pengertian bahwa terkadang emosi wanita tak bisa ditawan lama-lama. Paham bahwa menulis seperti ini tak semudah mengucurkan isi teko dalam gelas porselen bertulis nama kita.

Jika dengan bercerita padamu berhasil mengurai peliknya pikiran, untuk apa kertas kosong yang justru membuat kata terjerat di titik buntu?

Ahh, ya, ini pula yang menjadi alasan kenapa undangan, pelaminan, dan pernak-perniknya bernuansa pesawat. Biar ingat kalau nikah itu tidak sekedar menikmati pemandangan, tetapi juga bersiap-siap kalau tetiba oleng dan awan gelap menghadap. Tapi, tenang, akan ada banyak harapan, lebih dari sekedar kemungkinan.

“Marriage is for life, not just the wedding day.”

*Marintha Violeta
27 September 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One Day One Post

Saya tak pernah benar-benar mengerti. Sebuah perkumpulan manusia dengan satu misi. Lucu jika kemudian ada yang bertahan dan tereliminasi. Bu...