Jumat, 07 September 2018

Pasca Gempa 6.7 di Hokkaido, Jepang



Hari ini, selepas Shalat Jumat, gempa kembali datang. Masjid berguncang. Saya yang berada di lantai 2, langsung turun ketika gempa selesai.

Hari lalu, tanggal 6 September 2018, gempa besar melanda Hokkaido, dengan 6,7 sr. Lalu disusul dengan gempa-gempa kecil nyaris setiap 5-10 menit. Selama 2 hari ini, mencapai 100 gempa terhitung dari yang berintensitas kecil, sedang, dan besar.

Allah… satu saja rasanya cukup membuat jantung melonjak. Ini, 100!! Bahkan diperkirakan masih ada gempa-gempa lainnya yang lebih besar selama seminggu ke depan.

Mencekam. Tentu saja. Banyak yang memilih berada di pengungsian yang disediakan pemerintah. Sekolah diliburkan, karena gedungnya digunakan untuk para korban.

Ya, tercatat ada 8 korban meninggal yang berhasil ditemukan. Ratusan lainnya masih dinyatakan hilang.

Listrik dan air masih dipadamkan di beberapa wilayah. Lampu lalu lintas tak semuanya menyala. Toko-toko sebagian memilih tutup karena kehabisan stock. Transportasi terhambat karena beberapa jalan rusak parah dan longsor di area perbukitan. Pendistribusian logistik untuk toko dan supermarket masih menunggu aba-aba pemerintah.

Huaahhh… tarik napas dulu. Saya juga masih gemetaran saat menulis ini.

Ini pertama kalinya, bagi saya sendiri, melewati hari-hari yang tidak pasti.

Rasanya, seperti gambling. Tidur atau terjaga, lari atau tetap tenang di tempat, mengungsi atau tinggal di rumah. Bahkan yang paling membuat saya tak berhenti berdoa adalah, kapan gempa ini akan berakhir dan kita semua kembali hidup normal.

Tentu saja, tak ada yang bisa menjawab. Bahkan dari pihak KBRI, pun Perdana Menteri Jepang.



Suami yang justru selalu menenangkan jika saya mulai panik dan gelisah. Meski tak bisa dipungkiri, di raut wajahnya, saya tahu, pikirannya juga melayang dengan berbagai kemungkinan yang dapat terjadi. Termasuk imbauan dari pemerintah Jepang tentang gempa besar yang akan datang lagi, entah kapan.

Sebagai perawat, tentu saja ini menjadi pukulan. Kami selalu diajarkan tentang tanggap bencana. Cara menanggulangi dan evakuasi korban. Tapi disisi lain, kami juga tetap manusia biasa yang penuh pertimbangan dan prasangka. 

Alhamdulillah. Suami tahu apa yang harus dikerjakan. Termasuk, ketika gempa pertama terjadi jam 3 dini hari, langsung menginstruksikan, "Buka pintu, jendela, matikan gas, jauhi kaca, amankan barang-barang yang rawan jatuh, dan jangan panik!"

Ini semua yang mampu kami lakukan. Waspada, siap siaga dan berdoa. Saling berkirim kabar dan memberi informasi pada keluarga dan kawan. Pula aktif memantau berita di televisi dan membuka aplikasi pendeteksi gempa. 

Kami percaya, semua akan segera berlalu. Kegelapan dan ketakutan akan sirna dihapus kebahagiaan tinggal di negara yang ramah dan indah ini. Masih akan ada esok, dan esok lagi. Masih ada masa depan yang menanti. semua akan baik-baik saja. Allahu 'alam bishawab.

Seperti lagu Banda Neira berjudul Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti.

------
Jatuh dan tersungkur di tanah aku
Berselimut debu sekujur tubuhku
Panas dan menyengat
Rebah dan berkarat

Yang, yang patah tumbuh, yang hilang berganti
Yang hancur lebur akan terobati
Yang sia-sia akan jadi makna
Yang terus berulang, suatu saat henti
Yang pernah jatuh kan berdiri lagi
Yang patah tumbuh, yang hilang berganti

Di mana ada musim yang menunggu?
Meranggas merapuh, berganti dan luruh
Bayang yang berserah
Trang di ujung sana

Yang, yang patah tumbuh, yang hilang berganti
Yang hancur lebur akan terobati
Yang sia-sia akan jadi makna
Yang terus berulang, suatu saat henti
Yang pernah jatuh kan berdiri lagi
Yang patah tumbuh, yang hilang berganti
----

*Marintha Violeta
Sapporo, 7 September 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One Day One Post

Saya tak pernah benar-benar mengerti. Sebuah perkumpulan manusia dengan satu misi. Lucu jika kemudian ada yang bertahan dan tereliminasi. Bu...