Minggu, 23 September 2018

Segumpal Kapas di Saku Sekar

#Part2

Usianya baru 14 tahun akhir bulan depan, dengan sanggul mangle sisir disusuk di kepalanya yang kecil. Kembang goyang bergerak-gerak. Untaian melati menjulur di dada kanan. Kebaya putih pinjaman dan kain depat dilepe membalut tubuh kurus itu. Beberapa kali menarik napas panjang karena stagen terlalu kencang melilit perutnya.

Sekar terduduk lemas. Jika saja riasan dihapus, akan nampak mata cokelat layu bekas menangis semalaman. Bibir pucat. Tulang pipi menonjol karena beberapa hari tak mau makan. Bahkan pagi ini perias memaksanya meneguk segelas teh manis agar tak pingsan saat dipajang nanti.

Abah dan ibu mempersiapkan semua keperluan hari yang harusnya istimewa ini. Tapi tidak dengan Sekar. Memilih mengurung diri berhari-hari di kamar. Seperti mayat hidup sekarang. Matanya menerawang entah kemana. Tak dapat pula berbicara banyak karena tenaganya habis untuk mengumpulkan serpihan hati yang berserakan di bawah kasur. Tertumpuk-tumpuk dengan gumpalan kapas bantal.

Ibu masuk kamar tepat saat musik di luar menggaung memekakkan telinga. Duduk disampingnya. Mengusap-usap punggung Sekar tanpa kata. Pidato-pidato para pemuka desa. Doa-doa dan harapan dirapalkan. Tapi tidak di hati Sekar. Ia sedang memeluk nisan emak dan bapaknya, meraung-raung di sana.

Satu bulir air mengalir di pipi yang merona bedak merah ketika mendengar kata ‘sah’ dari pengeras suara yang dipinjam dari mushola kampung.

Orang-orang ramai menonton Sekar keluar rumah. Menemui Jaka yang mengenakan jas takwa putih berpadu bendo dan kujang di belakang pinggang. Sekar menyeret kaki. Sendal selopnya terlalu besar.

Semua sumringah. Berbaris satu-satu mengucap selamat. Tapi tidak di hati Sekar. Ia sedang sibuk menabur bunga di makam emak. Mencabuti rumputnya. Merapikan tanah-tanah yang melongsor di sekitar nisan.

Matahari beringsut turun. Wayang golek mulai beraksi dengan kisah-kisah jenakanya. Gamelan ditabuh menambah ramai suasana. Anak-anak berebut duduk di depan. Bapak-bapak tak mau ketinggalan.

Jaka dan Sekar diantar masuk ke rumah. Selesai sudah drama yang menyesakkan dada. Hati Sekar mati rasa. Tak mengerti benar apa yang sebenarnya terjadi. Kalut dengan semua keramaian di luar kehendaknya. Tubuhnya di sini, tapi hatinya terlelap di antara gundukan tanah tempat emak dan bapak tidur panjang.

Abah menyibak tirai kamar Sekar. “Keluar dari rumahku sekarang,” kata abah pelan, tapi tajam. Tepat sasaran menghantam denyut nadi Sekar yang sedang melepas satu persatu kembang goyang.

Sekar memekik. Kembang goyangnya terpelanting di lantai. Matanya membulat. Tidak percaya dengan apa yang ia dengar.

“Tugasku sudah selesai. Tak sudi aku punya anak kurang ajar seperti kamu, Sekar! Cuiiih!”

“Ta-pi, ta-pi… A-baahhh…” Pandangannya bergantian dari abah, ibu, abah, ibu. Mencoba mencari pembenaran dibalik kalimat itu. Ibu berdiri di belakang abah. Menunduk tak bergerak. Meremas-remas tangannya yang basah.

Abah menarik lengan Sekar keluar kamar. Menyeretnya ke arah dapur. Jantungnya bergemuruh memburu. Air matanya tumpah di atas riasan yang belum sempat dibersihkan. Orang-orang menatap kebingungan. Tepat di muka pintu belakang, Jaka berdiri mematung. Wajahnya pucat pasi.

“Pergi sekarang! Kamu bukan anakku lagi!” Tak sempat Sekar mengiba, pintu dibanting tertutup. Riuh wayang golek terdengar jelas dari depan rumah. Mengisahkan Putri Kerajaan Sunda permaisuri Hayam Wuruk yang berakhir bunuh diri setelah Perang Bubat.

“Sudah tidak ada yang bisa diperjuangkan lagi, Las.” Sekar menyandar di dinding bercat lembayung. Serbet kotak-kotak bertengger di pundaknya. “Jaka tidak seperti yang aku kira. Aku salah. Pernikahan yang salah. Karena dari awal memang sudah salah.”

“Pasti ada jalan lain,” ujar Lastri seraya menyapu kamar yang luasnya hampir setengah lapangan futsal.

“Kami ke rumah Jaka. Tinggal dengan orang tuanya. Aku melakukan semuanya demi dia. Buruh cuci, keliling menjual keripik dan mencari rumput untuk sapi tetangga. Tapi uangnya justru dia habiskan untuk main judi dan perempuan. Padahal dia tahu aku sedang hamil Nur.”

Lastri menggiring butiran pasir dan segumpal kapas masuk pengki. “Ada banyak rencana Tuhan yang tidak pernah kita tahu. Di balik kebencian kepada hidup. Kita jadi tahu rasanya nerimo. Menerima kenyataan.”

“Menerima apa? Perempuan itu dibawa ke rumah, Las. Dikenalkan sebagai teman kerjanya. Dia itu cuma supir truk. Mana ada teman perempuan di pabrik. Awalnya aku percaya. Sampai malam itu mereka tidur di kamarku, Las.”

Air menggenang di sudut matanya yang dipenuhi garis-garis halus. Bertahun-tahun dia menyimpan luka itu sendirian. Semua kesakitan yang membuat Sekar harus berlari dengan sisa tenaga yang ia punya.

“3 bulan setelah cerai, aku ke sini. Membersihkan penyakit masa lalu tidak semudah menyapu lantai.” Sekar menghempaskan napas. Membuang sesak di dada. “Perabotan sudah bersih. Jadi berangkat, kan? Sebelum majikan datang.”

“Umroh? Jadi. Tunggu, sedikit lagi selesai.”

#selesai
#TantanganODOP2
#onedayonepost
#odopbatch6
#fiksiTKI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One Day One Post

Saya tak pernah benar-benar mengerti. Sebuah perkumpulan manusia dengan satu misi. Lucu jika kemudian ada yang bertahan dan tereliminasi. Bu...