Minggu, 21 Oktober 2018

*Kenapa Harus Perawat, Kak?

Di papan tulis saat semester 1 tertulis jelas, “Perawat, Bekerja Ikhlas.” Duh Kak, berat kalau begitu. Belum apa-apa saja sudah dituntut ikhlas.

Bergelut semalam suntuk menulis tangan Asuhan Keperawatan. Dari Laporan Pendahuluan sampai kasus yang butuh berlembar-lembar folio. Besoknya, dianggurkan di meja pembimbing. Lagi sibuk katanya, besok baru dilihat. Kalau ingat. Sudah dikoreksi, harus tulis ulang lagi, revisi sana sini.

Belum lagi berangkat pagi-pagi. Ngerjain tugas? Mana bisa! Iya soal cuma satu. Tapi panjangnya melebihi jalur Cipali. Tol terpanjang di negeri ini. Ke fotokopian depan kampus. Sekadar nge-print makalah-makalah yang akan duduk manis di meja dosen, lagi.

Ingat ilmu ikhlas. Dilarang protes. Dosen selalu benar.

Bagaimana pula perawat-perawat ini tidak tangguh di medan perang. Setiap hari disuguhi video isi perut yang dibuka, tengkorak dibelah, tulang dibor, jantung dicincang-cincang. Hanya untuk tahu beda sel tiap organ. Hanya untuk tahan mual muntah saat menangani langsung banjir darah di kamar bedah.

Tahukah jika calon perawat ini defisit liburan? Seharian di kelas dengan segepok pelajaran dari lapisan kulit hingga serabut hati terdalam. Menjajal beragam posisi sebelum benar turun spesialisasi.

Namanya juga pengabdian. Penyerahkan diri secara utuh, lengkap dengan daging dan tulang. Kalau perlu, jika pasien minta jantung, perawat dengan rela membelah dadanya.

Tapi ada juga perawat yang ogah memegang pasien setelah selempang menyampir di pundak. Hobi rumpi bahas gosip terkini. Duh, lupa jatuh bangunnya kuliah dulu? Saat jadi mahasiswa praktikan yang kerjanya disuru-suru. Si Kak Itu justru membalas, “biar adeknya makin cakap dan daftar kompetensinya terpenuhi.”

Kenapa harus perawat jika inginnya kerja di balik meja dengan setumpuk arsip dan laporan? padahal hanya 5 meter dari pasien.

Kak, mahasiswa dan perawat baru juga butuh bimbingan. Tahukah beda Rumah Sakit beda pula pelayanannya? Yang sini harus pakai bethadine, yang sono cukup NACL. Kami haus pendampingan, ingin diskusi, mengajukan pertanyaan yang bergemelut di pikiran. Betapa drastis beda di kelas dan lapangan.

Tapi ketika ditanya, kakak justru menjawab, “tanya saja sama CI-mu.”

Clinical Instructor menimpali, “kamu di sini, ikut aturan sini!” Kelar perkara! Tak ada diskusi, apalagi phone a friend minta bantuan.

Ingat ilmu ikhlas. Senior selalu benar.

Kenapa harus perawat jika ingin berangkat siang, pulang awal? Katanya cinta profesi sampai mati, mengabdi sepenuh hati, masalah waktu saja runyam bukan kepalang, apalagi slip gaji yang tak sesuai harga susu yang kena inflasi.

Diajak ikut seminar alasannya bertumpuk seperti makalah. Tapi ketika ada celetuk protes gaji, langsung berdiri, paling lantang, memprovokasi. Parahnya, mengintimidasi mereka yang sudah terima apa adanya. Tak sehati, katanya.

Tak ada kampus yang memaksa lulusan harus sesuai bidangnya. Bidan jadi pegawai bank, monggo. Perawat jadi presiden ya silakan. Tak harus merawat pasien jika memang hati tak di sana. Bukankah pembukaan UUD 45 jelas tertera, “kebebasan adalah hak segala bangsa.” Ya monggo saja jika tak ingin jadi perawat yang katanya dianaktirikan Ibu Pertiwi. Masih banyak profesi lain yang mendapat porsi lebih sesuai dengan harga tas branded incaran kakak itu.

Mengkhianati profesi? Tunggu dulu.

Jika ingin mencari peruntungan lain, apa salahnya?

Mengkhianati janji itu jika keluhan lebih panjang dari senyuman. Bekerja semau hati. Inginnya pilih pasien yang enak dan mudah diatur saja, sekalinya memegang pasien gawat langsung protes ke yang bagi jatah. Pakai marah-marah pulak. Dikira kagak stress apa ngebagi pasien sesuai kemampuan tiap perawat?

Katanya malaikat tanpa sayap. Selalu semangat jika diingatkan akhirat. Tapi lesu dengan masa depan yang tak menentu. Merutuki nasib yang masih stuck di situ-situ.

Ingat ilmu ikhlas, Allah Maha Segala.

Berupaya memajukan profesi ada banyak cara. Termasuk membagi ilmu dengan adek-adek junior yang selalu menunggu sapaan ramah itu. Berdiskusi dengan mereka yang lapar pengetahuan baru. Menuliskan kasus langka di lapangan lalu menularkannya agar tak ada lagi mis-understanding antar sejawat.

Jikalau perlu, berkumpullah membangkitkan semangat kawan seperjuangan yang mulai lelah berjalan di jalur terjal ini. Agar tak ada yang jatuh lalu hilang dari hingar bingar. Bukan justru disalahkan karna murtad pada profesi. Mereka layak hidup lebih pantas dengan pilihannya, lho. Dia banting setir, kenapa kakak yang sibuk nyinyir?

Coba tengok lagi, mereka yang berinovasi atau kita yang terkena penyakit hati?

Banyak orang cenderung memilih untuk mengganti pekerjaan, pasangan dan teman-temannya. Tapi tak pernah mempertimbangkan untuk mengubah dirinya sendiri.

Sebelum perbaiki rumah megah ini, pastikan dulu penghuni siap dengan segala konsekuensi. Meski sekadar perbaiki jendela, debunya memenuhi ruang juga. Apalagi jika atap harus diganti, apa sudah siap mengungsi?

Kak, tak harus jadi perawat jika tidak kuat. Cukuplah menjaga profesi ini tetap suci. Seperti penggalan lagu PPNI ini. Bisa nyanyinya gak, Kak?

….
Bangkitlah perawat seluruh Indonesia
Dalam mengemban citra profesi
Menjunjung tinggi kode etik perawatan
Laksanakan panggilan tugas mulia
….

*Violeta
Jeddah, KSA. 4 April 2017. 6.19 am

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One Day One Post

Saya tak pernah benar-benar mengerti. Sebuah perkumpulan manusia dengan satu misi. Lucu jika kemudian ada yang bertahan dan tereliminasi. Bu...