Minggu, 28 Oktober 2018

Lukisan Monalisa dan Dunia Baru

Seminggu berada di Paris rasanya tidak cukup. Uuhh.. Saya betah setiap hari bolak balik Eiffel jalan kaki. Atau hujan-hujanan menyusuri sungai Le Seine yang bersih dengan kapal lalu lalang. Jadi ingat sungai Banjir Kanal di Semarang.

Sebelum pindah ke Spanyol, saya meminta (untuk tidak disebut merengek) ke museum legendaris, Musee de Louvre. Tempat Monalisa menampilkan keseksotikannya.

Dan taraa.. Ternyata antrinya sudah mengular berkelok-kelok di depan pintu masuk museum. Baru kali ini saya antri cuma buat lihat lukisan. Padahal di sepanjang jalan Braga Bandung, lukisan aduhai juga ditawarkan, kok orang-orang lewat tanpa melirik.

Saat pertama masuk, yang ada malah nyebut-nyebut "astagfirullah.." Ya kali, patung manusia setinggi 2 sampai 3 meter telanjang semua. "are you kidding me?" gelinya, si Taufik yang jadi tour guide malah dengan santainya tanya: mau difoto sama itu?, Oh Nooo!!

Parahnya lagi, saat sudah di depan lukisan Monalisa. Saya terbengong-bengong.

Ya robbi.. Di mana bagusnya? Kok harganya bisa 9 triliun. Bahkan digadang-gadang jadi lukisan termahal sepanjang sejarah. Dengan berbagai konspirasi dibaliknya, tentu saja. Hmm..

Baiklah, saya yang terlalu o'on untuk menafsirkan lukisan cat yang dibuat Leonardo da Vinci selama 11 tahun itu.

Malahan, lebih fokus pada orang-orang yang begitu antusias pada lukisan gadis tersenyum. Dorong-dorongan. Melewati pembatas penjagaan, sampai nyelonong masuk lewat pintu keluar.

Menikmati Paris sama seperti menjelajah diri sendiri. Banyak sisi yang harus dinikmati. Atau sengaja ditonjolkan untuk mendapat apa yang seharusnya dicari.

Di Paris, bangunan semakin tua, semakin dijaga 'ketuaannya'. Saat di jalan misalnya, dengan bangga Taufik bilang, "lihat gedung itu, usianya lebih dari 2000 tahun. Masih berfungsi jadi kantor. Keren kan?"

Uhh, alih-alih memperhatikan guratan-guratan di dindingnya yang menghitam dimakan zaman. Saya justru malu dengan diri sendiri. Batapa sering menganggap masa lalu itu tidak penting. Patut dilupakan. Kalau bisa dibakar hidup-hidup.

Padahal, dari masa lalulah saya menemukan diri seutuhnya. Pecahan puing kegagalan, telah mengantarkan menyusuri jalan Rue au Revoli yang terkenal. Menapaki sisa-sisa reruntuhan perang dunia 1 di tanah Eropa.

Monalisa, patung telanjang dan gedung-gedung tua, membuat saya percaya, tak butuh pengakuan orang agar kita tumbuh luar biasa. Tapi proses yang terus dilalui dengan segala ketidaksempurnaan, justru membuatnya sempurna.

Saya semakin ternganga ketika perjalanan ini dimulai dari menjadi perawat yang diremehkan banyak orang. Yang pernah dibayar segepok pisang, krupuk udang, atau seringai senyum menjatuhkan.

Untuk masa lalu yang menyakitkan, terima kasih telah memberi banyak pelajaran. Tanpamu, aku tak akan pernah bangkit seperti sekarang.

*Violeta
Andalusia, Spanyol. 5 Juli 2017, 12.37 pm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One Day One Post

Saya tak pernah benar-benar mengerti. Sebuah perkumpulan manusia dengan satu misi. Lucu jika kemudian ada yang bertahan dan tereliminasi. Bu...