Minggu, 07 Oktober 2018

Paris dan Sebuah Kehilangan

Saat di Paris, saya mampir ke museum d'Orsay. Ada jam dinding besar yang menjungkirbalikkan saya pada waktu, rindu dan detak yang akan terus berputar maju.

Seperti kenangan yang menggugah batin saya. Meski bertahun lamanya.

Setelah dinas malam waktu itu, saya meluncur ke Cimahi. Dari pusat Kota Bandung memang lumayanlah yah. 1 jam lebih. Tapi ada sesuatu yang mengharuskan saya ke sana, hari itu juga.

"Alhamdulillah sudah dimakamkan."

Saya sesak napas. Bukan. Bukan asma. Tapi nada perempuan di depan saya ini yang jauh dari getaran duka.

"Sabar yah, Teh." Teh Ipah, yang menemani saya, mengisi kekosongan obrolan.

"Saya sudah merasa, Vi. Ga mau makan berhari-hari. Nangis juga udah pelan banget. Akhirnya saya pasang NGT (NasoGastric Tube) sendiri. Ga tega. Tapi gimana lagi."

Saya tahu, meski kami perawat, melakukan tindakan medis pada orang-orang yang disayangi bukan perkara mudah. Teman saya, harus menangis dulu, hanya untuk menginfus ayahnya. Apalagi Teh Dewi, memasang NGT ke bayinya, yang masih merah.

Hebatnya, dibanding memeras air mata, Teh Dewi berhasil menyetir obrolan kami. Mengubahnya menjadi tawa, canda dan rindu karena lama tak bertemu. Ditemani keripik dan singkong keju.

Lain di Cimahi, lain pula di Arab Saudi.


Tak tahu harus menjawab apa, ketika pasien yang sudah saya anggap kakek sendiri, kembali ke pangkuan illahi.

"Alhamdulillah.. Alhamdulillah.. Baba meninggal tadi malam."

Alhamdulillah?? What? Saya tidak salah dengar? Orang tuanya meninggal kok di-alhamdulillah-in.

Okay. Otak saya masih mencerna. Kalimat, "saya turut berduka cita" tiba-tiba nyangkut di tenggorokan.

"Jangan ucap Innalillahi yah. Tapi bilang Alhamdulillah. Tugas beliau di dunia selesai. Sudah waktunya lanjut ke perjalanan berikutnya." Senyum Madam Sanah mengembang. Saya, celingukan.

Dengan bibir bergetar, dan hati nyeri, saya berkata lirih, "Alhamdulillah, Baba sudah pulang."

Mengingat mereka berdua, membuat saya tak mampu menitikkan air mata, ketika pagi tadi mengantar jenazah Mbah Buyut Putri ke pemakaman, Bergota.

Tak ada histeris, jeritan, bahkan raungan tak rela ditinggal pergi. Keikhlasan mengungkung. Membungkus rumah duka.

Benar memang, kehilangan, selalu punya ruang sendiri untuk kembali dirayakan. Meski dalam diam dan balutan doa.

Bukankah sedih juga tak mampu mengembalikan mereka yang pergi?

Saya memang benci perpisahan, tapi tak bisa pula menghindari kematian. Toh suatu saat, akan datang giliran. Seperti absensi di kelas matematika. Perhitungan usia, tak ada yang tahu rumusnya.

Maka saat ada yang berpamitan keluar negeri, mengejar mimpi, bukan isakan seperti segerombolan orang-orang disekeliling. Tapi doa dan seutas senyum yang membuatnya tenang dan nyaman untuk melangkahkan kaki.

Lain waktu, berkenalanlah dengan Teh Dewi dan Madam Sanah. Mereka yang mengajarkan saya apa itu kehilangan dan perpisahan sesungguhnya.

Esoknya, bertemu dengan mereka-mereka yang rela sang anak meninggal demi tak melihatnya kesakitan karena kemoterapi dan obat-obatan penghancur sel.

Mereka yang mengingat mati, tapi tetap berjuang untuk kemaslahatan orang-orang yang disayangi.

Pada kenangan yang membuat saya bertahan, kebahagiaan yang membuat saya tegak mengarungi tantangan, dan pada cinta, yang membuat saya percaya, Allah selalu punya rencana indah, untuk setiap makhluknya.

Khusnul khatimah nggih, Mbah. Terakhir kami mengobrol saat hari di mana saya baru menginjak tanah Indonesia. Semoga kita bertemu kembali, nanti, di kehidupan selanjutnya.

"Menangislah saat sedih, sampai puas, lepas. Tapi setelahnya, bangkitlah, ada mimpi dan masa depan menunggu untuk ditaklukkan." - anonim.

Menjadi perawat, tak lantas membuat kuat. Tapi semoga tetap dekat, dengan pemilik hayat.

*Violeta
Semarang, 7 Oktober 2017, 7.44 pm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One Day One Post

Saya tak pernah benar-benar mengerti. Sebuah perkumpulan manusia dengan satu misi. Lucu jika kemudian ada yang bertahan dan tereliminasi. Bu...