Rabu, 10 Oktober 2018

*Kerupuk, Naik Kelas di Arab Saudi

Beberapa saat lalu, saya diajak ke salah satu restoran di Kota Riyadh, Arab Saudi. Bagi saya, seorang biasa yang hobi makan di warung pinggir jalan, restoran adalah tempat yang luar biasa. Arsitektur menawan. Furniture yang cantik. Patung kuda raksasa berkilau di tengah ruangan. Meja besar berderet-deret nampak serasi dengan kursi ukiran khas Kerajaan Saudi.

Kami memilih duduk di tepi. Persis bersebelahan dengan pembatas kaca. Letaknya di lantai dua membuat mata bebas merajai jalanan kota. Masih hiruk pikuk meski hampir tengah malam.

Belum berhenti saya berdecak kagum mengamati interior yang menawan, pelayan datang membawa sesuatu setelah kami selesai memesan makanan. 

"Excuse me, this is your kerupuk." Pelayan meletakkannya di meja.

Saya ternganga!

Hahh? Kerupuk udang mini? di atas piring elegan? Bersanding dengan mayonnaise dan beberapa saus buatan chef! Apa tak salah? 

Bismillah, saya mengambil satu, merasakan renyah digigitan pertama. Lalu membiarkan indra perasa mengambil alih bagiannya.

Benar! Kerupuk! Persis seperti yang di rumah. Gurihnya. Manis udangnya. Kriuknya. Masya Allah!

Saya memindahkan beberapa ke piring milik saya. Mencelupkan ke saus yang tersedia. Ada 4 macam saus berbeda. Nikmat!

Saya benar-benar tenggelam bersama si kerupuk. Bahkan namanya pun tetap sama, 'kerupuk'. Tidak diubah ke bahasa inggris, atau bahkan di'arab'kan.

Kerupuk dianggap cemilan kampung dan selalu identik dengan makanan kalangan menengah bawah di Indonesia. Diletakkan dalam kotak 'blek' reot. Menggantung di warung-warung pinggir jalan. Di tumpuk sembarangan di dalam pasar-pasar bau amis dan becek.

Di perkotaan, kerupuk hanya dianggap pelengkap. Sekadarnya. Ada atau tidak bahkan tak pernah diperdulikan. Ada biasa saja, tidak ada tak masalah.

Di negara gurun pasir, si kriuk ini justru naik kelas. Dihidangkan sebagai appetizer penunggu menu utama. Suguhan pembuka di dalam restoran mewah nan megah.

Saya tatap lekat tumpukan kerupuk di piring cantik di tengah meja.

"Ahh kerupuk. Kau benar-benar nampak berbeda. Bahkan lebih menggoda dari lampu kristal di atas sana. Dan tentu, kau berhasil membuatku rindu negara kepulauan di seberang. Bukankah kita berasal dari tanah yang sama?

Jika saja aku masih bertahan di negeri kelahiran, mungkin aku akan bernasib sepertimu. Menumpuk tak dipedulikan. Dicaci dan dikatai perawat bodoh ceroboh tak berotak. Di depan teman-teman dan pasien. Dianggap kriuk pengganggu dalam khitmad bersantap.

Ahh kerupuk, jika saja aku bertahan di tempat yang lama. Aku bahkan tak sanggup membayangkan seberapa remuk hatiku menahan genggaman mereka. Aku patut berubah. Berpindah. Dari kotak reot ke piring cantik warna perak. Aku berhak mendapat perlakuan layak, sebagai manusia, pun pula sebagai seorang perawat.

Kau benar kerupuk, setiap orang punya takdirnya, tapi setiap takdir harus diperjuangkan. Karna setiap usaha harus diupayakan. Begitulah mimpi dan doa dapat bekerja. Bukan sekedar kata-kata.

Hingga akhirnya, segala sakit dahulu, menjadi pelengkap nikmat bersanding denganmu. Di tempat baru, yang selalu menghargai posisiku, sebagai perawat dari bumi pertiwi."

"May I give you more water, miss?" Saya terperanjat! Membuyarkan rasa perih yang tiba-tiba merasuk melalui ingatan, ada bekas tusukan dari kalimat-kalimat mereka bersemayam disana.

"Eeehh, yes, please. Syukron." Pelayan dengan sigap mengisi penuh gelas kristal saya yang sebelumnya setengah kosong.

Di luar sana, langit masih gelap tanpa bintang. Di detik yang sama, di Indonesia, ayam-ayam siap berkokok, menyongsong fajar.

*Violeta
Riyadh, Arab Saudi, 4 Januari 2016, 00.50 waktu KSA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One Day One Post

Saya tak pernah benar-benar mengerti. Sebuah perkumpulan manusia dengan satu misi. Lucu jika kemudian ada yang bertahan dan tereliminasi. Bu...