Rabu, 10 Oktober 2018

Mencintai Padi, Menghargai Profesi

“Sekolah tinggi kok ujung-ujungnya nyawah!”

Menjadi kalimat yang mau tak mau ditelan seorang teman. Menjadi lulusan sarjana di universitas mentereng justru membuatnya kembali ke rumah dan berbaur dengan alam. Baginya, semesta adalah sebaik-baiknya materi yang ada.

“Susah, Vi. Nggak akan ada yang percaya. Meski keuntungan berlipat. Tapi tetap saja, nyawah itu nggak keren.”

Miris lagi kalau sudah nyeret-nyeret kejombloannya. Duhlah, bisa jungkir balik saya. Tragedi cinta yang ditolak banyak calon mertua karena pekerjaan kotor, berlumpur dan pegang pacul.

Sampai akhirnya, kami berdiskusi tentang cara memasukkan ikan di sawah, mengganti jenis tanaman sesuai musim dan kontur tanah, komoditi apa yang disukai internasional, sampai kenapa pisang yang beredar di Arab Saudi itu selalu bercap Philippines.

“Masih muda ya pengennya kantoran, kalau sudah tua, baru mau turun ke sawah,” bulek berkelakar. Saya menggulum senyum, miris.

Seperempat abad berada di Kota Semarang. Dikungkung gedung bertingkat, persaingan apartment dan hotel berbintang, sampai perumahan yang digelar di atas tanah-tanah resapan, membuat saya ingin turun ke sawah.

Maka sampailah di Kabupaten Kudus. Bertemu keluarga ramah dan apa adanya. Berkenalan dengan saudara baru, budaya islam yang kental, dan alam yang menawan.

Satu persatu bulek dan budhe menculik saya dari mertua. Diajak keliling kebun, sekolah singkat per-pisang-an. Saya baru tau, jika 2 dari 5 anak pohon pisang harus dibunuh untuk kesejahteraan induknya. Sampai belajar cara membuat bugis. Itu loh, jajanan pasar berbalut daun pisang yang legit, kenyal dan bikin nagih.

Ibuk dengan sabarnya menjelaskan proses nyawah dan waktu-waktu tanam. Detail cerita panjang lebar, meninggalkan saya yang ber-o-o ria karena terlalu khusyuk mengamati pucuk-pucuk padi di kanan kiri.

Matahari membulat merah di langit subuh. Membias di petak-petak yang penuh air. Wangi embun terbawa angin. Hingga berlarik senyum orang-orang saling sapa.

Pula ternyata, menginjak tanah lumpur tak semenakutkan yang saya kira. Emm, ya, efek film-film lumpur hidup di tipi.

Kecipak air dan dalamnya lumpur sebetis membuat saya tak mampu menjaga keseimbangan. Alih-alih jatuh, saya malah tak berani melangkah. Seperti ada monster abu-abu yang mencengkeram kaki.

Gemetar tapi excited, mbah Sumini mendemonstrasikan cara menanam winih, bibit padi. Diantara geli, risih tapi penasaran, saya masukkan tangan ke dalam lumpur yang benyek. Menancapkan winih. Dan taraaaa… berdirilah padi pertama saya. Berbaris sempurna dengan ratusan winih lainnya.

Uuhh.. rasanya, haru. Cepat besar yah nak..

Bertemu dan berkenalan dengan Oriza Sativa hari itu membuat saya mengerti, kenapa tak banyak yang mau menggeluti bidang ini. Lelahnya membungkuk dan terpaan sinar matahari, jelas kalah dengan dinginnya AC dan wanginya parfum ruangan.

Tapi tak lantas membuat kita mengagungkan profesi tertentu lalu merendahkan profesi lainnya. Saya, yang seorang perawat saja malu. Malu pada orang-orang sepuh, yang seharusnya menikmati masa tua bermain bersama cucu, masih harus berkubang lumpur dan bersabar jika sawah terserang hama dan wabah tikus.

Saya bahkan tak pernah mengerti, kenapa manusia mudah sekali menghakimi. Padahal toh, kita tak juga mampu mengatasi pengangguran di negara ini. Apakah yang berdasi lebih bergengsi? Yang duduk di balik meja lebih bersahaja?

Ibuk, Mbah Sumini dan mbah Rujimah tergelak tawa. Karena saya tertinggal beberapa meter di depan. Kecepatan mereka tak mampu ditandingi meski jelas usia saya jauh lebih muda.

Di tengah sawah, saya bertemu Allah. Lewat segenggam padi dan keabu-abuan lumpur.

Dibawah langit membiru, ada keramahan penduduk Undaan Kidul yang tak luntur oleh waktu.

Dari pelukan semesta saya meyakini, cintaNya tak pernah pergi, meski syukur selalu luput saya ucap setiap hari. Nasi, semoga kau lebih bersahabat setelah ini.

*Violeta
Semarang, 1 November 2017. 8.40 am

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One Day One Post

Saya tak pernah benar-benar mengerti. Sebuah perkumpulan manusia dengan satu misi. Lucu jika kemudian ada yang bertahan dan tereliminasi. Bu...