Minggu, 07 Oktober 2018

Perawat, Jangan Kerja Keluar Negeri!

Jangan keluar negeri kalau ingin kerja sesuka hati. Berangkat dan pulang semau sendiri. Selain bawa harga diri, juga nama ibu pertiwi.

Yang begitu? Banyak! Bilangnya ingin membanggakan keluarga, sampai di sana, ikut aturan yang berlaku saja tak mau. Merongrong minta pulang. Membuat kasus, diberendeng ke kantor polisi, akhirnya? Dipulangkan paksa.

Jangan kerja keluar negeri kalau tidak mau belajar bahasa baru. Sunda dan Jawa saja beda, padahal di pulau yang sama, apalagi di luar sana. Banyak negara yang punya bahasa sendiri. Meski masih di kawasan Timur Tengah, bahasa Saudi dan Mesir saja eww… bagai langit dan bumi.

Ingin ke Amerika, tapi bedain a i e saja kepalang bingung. Jangankan Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia baku saja tak tahu. Berapa kali kita sebut kata: tolong, maaf dan terima kasih? Padahal attitude bisa dilihat dari cara berbicara.

Jangan keluar negeri kalau baru datang ingin gaji berlipat-lipat. Dikiranya, asal di negara orang, gaji pasti puluhan juta. Padahal, yang namanya kerja, proses pangkat tetap ada. Ini itu saja masih harus didampingi, tapi inginnya dapat pesangon tinggi.

Kalau tak sesuai hati, koar-koar sana sini. PJTKI dan agency tak tepat janji. Dibawa pula ke KBRI. Yang mis-komunikasi satu orang, imbasnya ke mana-mana. Proses keberangkatan angkatan selanjutnya, dibekukan. Si doi bahagia, tuntutannya didengarkan, yang lainnya ambruk bertumpuk-tumpuk.

Jangan kerja keluar negeri, kalau setiap ada masalah langsung ngeluh kanan kiri. Cobalah berdiskusi dengan partner kerja, lalu ajukan ke atasan. Selesaikan baik-baik.

Katanya menomorsatukan musyawarah, sekarang apa-apa kok minta dukungan. Selesaikan sendiri lalu bantu yang lainnya, kalau mentok, baru minta dibukakan jalan. Bukan justru menjelekkan pihak lawan. Menjatuhkan tanpa penyelesaian.

Bahayanya, yang tak tau masalah ikutan nyebar kabar. Entah tau benar atau tidak. Tak mencari pelurusan, yang penting “kata si A begini begitu.” Padahal, ada banyak kekeliruan. Ahh, masa bodoh, yang penting dikenal dan terkenal. Hoax berlanjut. Ikutan memaki, ikutan membully.

Jangan kerja keluar negeri kalau cuma ikut-ikutan. Kalau si A gagal bertahan, situ juga akan hengkang? Duh, padahal yang namanya hidup tak selalu terang. Ada mendung, sering hujan. Semua butuh proses, bukan cuma protes. Ingat, setelah keberhasilan, pasti ada kegagalan. Karena malam akan datang setelah senja yang menawan.

Coba tetapkan hati, teguhkan tujuan. Untuk apa jauh-jauh meninggalkan ibu bapak di rumah yang sudah tua dan sesakitan? Kenapa harus melintas samudra jika materi sudah ditetapkan Tuhan?

Coba ditimbang lagi, agar tak lesu ditengah jalan. Bukan hanya berlari saja yang butuh garis akhir, mimpi juga. Beri patokan jelas agar punya kekuatan saat lelah berjuang. Lalu mampu bangkit untuk melanjutkan perjalanan. Harus sampai akhir. Harus selesai di garis finish!

Proses itu menyakitkan, menunggu itu menjemukan. Tapi tanpa mereka, tak ada yang namanya keberhasilan. Coba tanyakan pada orang-orang yang sudah di negeri seberang. Bukan cuma apa yang telah mereka dapatkan, tapi berapa kali jatuh tersungkur, menangis, dan bangkit kembali.

Jangan kerja keluar negeri cuma gara-gara ingin naik pesawat pribadi. Padahal tak banyak yang tahu, saya harus berhutang, menggadai laptop dan berkuliah di perawat tanpa restu orang tua.

Jangan keluar negeri cuma karena ingin naik di puncak Eiffel. Padahal di balik itu semua, harus menelan cemoohan, dan tudingan keluarga besar sebagai pembawa aib karena melawan kodrat perempuan : sumur, kasur, dapur.

Saya mohon, jangan keluar negeri jika tak punya bekal mental kuat. Kalau ragu, tak usah maju, daripada setiap jatuh, hanya keluhan yang terlontar. Malu ah, udah di luar negeri, isi status sosmed kok ngeluh semua.

Ada banyak halang rintang di depan sana. Mereka yang telah bersujud di depan ka’bah, memeluk multazam, merawat pasien dari bebagai latar belakang, bahkan yang selalu shalat jumat di Masjid Nabawi, telah melewati dan akan terus bertemu duri. Eh, tapi yang dilihat duri, atau mawar yang merekah diatasnya?

Bangkitlah, bangkit dan temui mimpi-mimpi itu. Tersenyumlah, tertawakan waktu yang terlewat dalam penantian berbulan-bulan. Berdirilah, lalu dekap sekuat tenaga tujuan yang akan membawa jauh melesat melewati apa yang sebenarnya diinginkan.

Selama punya harapan, selalu ada kesempatan. Bukan jalan ini tidak mudah, tapi karena kita percaya, maka semua nampak mudah. Bukan hidup ini yang tak adil, tapi saat kita mampu bersyukur, maka semua nampak adil.

Tapi jika mau enaknya saja, yasudah, tidak usah kerja keluar negeri. Jalan-jalan saja, selfie-selfie, lihat indah-indahnya, lalu pulang segera. Sebelum berubah pikiran. Dan merutuki keadaan.

Terima kasih untuk teman-teman yang menyempatkan bertemu di Jakarta. Kalian berhasil membangkitkan semangat untuk tetap berjuang. Garis finish masih jauh di depan. Ayo sama-sama berlari mengejar impian. Menjadikan apapun yang dilakukan sekarang adalah proses panjang untuk tujuan yang indah.

Semua perawat berhak sukses. Semua perawat berhak mewujudkan mimpi, entah di negeri sendiri, entah di luar sana.

”Bumi akan kering tanpa hujan, hidup tidak lengkap tanpa tujuan.” - Marry Riana

#tantanganodop4

*Violeta
Semarang, 16 Desember 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One Day One Post

Saya tak pernah benar-benar mengerti. Sebuah perkumpulan manusia dengan satu misi. Lucu jika kemudian ada yang bertahan dan tereliminasi. Bu...