Minggu, 14 Oktober 2018

Menyusur Paris bersama Kuntowijoyo

“Kau belum dianggap ke Eropa, jika belum menginjakkan kaki di bumi Paris.”

Heii! Itu slogan yang pedih! Eropa tidak hanya Paris, kan? Bagaimana dengan Italy, Spanyol dan negara memesona lainnya? Tapi ya, baiklah, karena sekarang saya sedang menyusur jalanan Champs-elysee yang termahsyur dengan pusat turis menghamburkan euro-nya. Kita bisa sekaligus menyelami islam di negara yang dikenal sebagai The City of Lights, kota paling terang cahayanya di eropa ini.

Pernah dengar Arc de Triomphe? Itu lho, simbol kemenangan Napoleon Bonaparte dalam menaklukkan eropa. Sekaligus menjadi gerbang tembok raksasa memasuki jalanan Champs-elysee. Konon, Champs-elysee ini menjadi strip real estat kedua termahal kedua di dunia (pertama di eropa) setelah Fifth Evenue di New York City. Yang menarik, jika jalan ini ditarik garis lurus, hampir sejajar dengan kiblat. Hanya berselisih 5 derajat dengan jarak pisah ke ka’bah sejauh 4.500 km.

Wah, dicocok-cocokkan saja itu.

Eits, bukankah tak ada yang kebetulan di dunia ini? Bahkan si dia menikah dengan orang lain pun sudah termaktub di Lawh Mahfudz. Jadi ya sudah, terima saja. Lagi pula, ini menjadi bukti bahkan kehidupan tak bisa lepas dari keberadaan Tuhan. Tidak hanya Napoleon, tapi juga saya, dan kalian penanti jodoh datang. Bisa jadi hal-hal inilah yang mengilhami munculnya profetik.

Kuntowijoyo, tokoh intelektual yang dipengaruhi oleh Muhammad Iqbal, tokoh filsuf Islam, telah melahirkan ilmu profetik. Profetik sendiri berasal dari kata prophet atau nabi. Kemudian diartikan sebagai peran kenabian. Pada paradigma profetik, setiap manusia memiliki tugas dan peran kenabian. Selain memiliki hubungan dengan Tuhan (Habluminallah), manusia juga memiliki hubungan dengan manusia (Hambluminannas). Dengan demikian, Profetik harus memiliki relevansi keagamaan dengan hal-hal yang bersifat keduniaan.

Menyatukan ilmu pengetahuan dengan islam tentu saja bukan hal mudah di tengah filsafat modern. Ilmuwan besar kutub idealis misalnya, ngotot sekali mencari molekul terkecil pembentuk manusia. Mereka, tidak akan percaya jika dikatakan manusia terbuat dari tanah. Akan sangat mempermalukan teori leluhur mereka, Darwin. Lalu bagaimana bila politik, ekonomi, sosial bahkan budaya dan sastra terbelah? Aneh sekali rasanya jika teori-teori itu seperti langit dan bumi. Maka di sinilah, ilmu profetik hadir menjembatani.

Ilmu profetik merupakan manifetasi dari surat Q.S Ali-Imran ayat 110 yang artinya: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”. Inilah yang disebut Kuntowijoyo dengan peran profetik. Di mana manusia memiliki peran kenabian, yaitu humanisasi (amar ma’ruf), liberasi (nahi munkar), dan transendensi (tu’minubillah). Menjadi penerang dalam membumikan ajaran Allah.

Mengagumkannya, ilmu profetik memiliki kaidah-kaidah yang mengacu dalam mengekspresikan dan menuliskan pesan dalam karya. Yang pertama, epistemologi strukturalisme transendental. Yaitu rujukan dari sebuah karya yang bersumber pada kitab suci atau wahyu (firman Tuhan atau sabda Nabi) yang kemudian ditarik kedalam sebuah realita yang terjadi (dari teks ke konteks). Yang kedua, sebagai ibadah. Ibadah selama ini hanya dimaknai sebagai hubungan manusia dengan Tuhan (transendental), padahal paradigma tersebut kurang tepat karena pada hakikatnya manusia beribadah dengan humanisasi, liberasi, dan transendensi.

Yang ketiga, keterkaitan antarkesadaran. Pada kehidupan beragama tentu manusia memiliki kesadaran ketuhanan. Artinya kesadaran bahwa adanya Sang Pencipta yang Maha Agung. Selain kesadaran ketuhanan, umat beragama juga harus memiliki kesadaran kemanusiaan. Artinya kehidupan kita ini tidak lepas dari peran sebagai makhluk sosial. Ketiga kaedah itulah yang kemudian menjadi pedoman. Entah itu area sosial, budaya, politik maupun menjadi nasihat-nasihat atau pesan-pesan Tuhan.

Rue de Revoli semakin ramai saat sore menjelang. Musee de Louvre mulai ditinggalkan pengunjung. Eiffel semakin padat pemburu foto matahari tenggelam. Diantaranya, bangunan-bangunan lama nampak kokoh dan menawan dengan guratan usia. Sama tuanya dengan profetik yang lama diterapkan. Masuk dalam meja-meja ilmu pengetahuan, sapaan orang antar negara bahkan terserak di kemegahan lampu kota. Dalam hal ini, Kuntowijoyo berpendapat bahwa dalam konsep Islam yang kaffah, umat Islam dituntut untuk menjadikan Islam sebagai landasan dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Selain ibadah yang rukun (sahadat, shalat, zakat, puasa dan haji), maka dalam menciptakan karya pun haruslah diniatkan sebagai ibadah (Kuntowijoyo, 2013:14).

Zulheri, dalam skripsinya berjudul Ilmu Sosial Profetik (Tela’ah Pemikiran Kuntowijoyo), dari UIN Sultan Syarif Kasim Riau, tahun 2012, menyebutkan pengaruh kritik sosial profetik yang paling mudah ditemui adalah liberasi. Liberasi yang mengandung misi pembebasan manusia dari kungkungan sistem pengetahuan yang terdoktrin lingkup materialistik, dominasi struktur, seks, bahkan ras. Pun pembebasan sistem politik yang diktator, otoriter, sewenang-wenang, oleh golongan atas Indonesia.

Berjalan-jalan di sepanjang Champs-elysee bersama aura humanisme Kuntowijoyo, serasa merengkuh keromantisan islam dalam gerimis Paris. Kursi besi yang basah. Lampu-lampu menyala dalam ranum senja. Tentu saja, ada banyak yang tertinggal dan harus ditinggalkan agar alam terus berjalan. Kita boleh terjatuh, tapi tidak untuk menyerah. Manusia bisa salah, ilmuwan bisa saja khilaf, tapi Allah harus bertahta dalam raga. Modernisasi akan terus berkembang, tapi spiritualitas tetap memberdaya dalam akal dan jiwa. Demi pengetahuan dan kehidupan yang harmonis antar manusia.

#tantanganodop5

Violeta, Spain
7/7/2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One Day One Post

Saya tak pernah benar-benar mengerti. Sebuah perkumpulan manusia dengan satu misi. Lucu jika kemudian ada yang bertahan dan tereliminasi. Bu...