Minggu, 21 Oktober 2018

Fail Again, Fail Better

Saya bukan penulis. Sungguh, tidak main-main. Saya hanya suka menulis. Titik. Tak ada pikiran untuk menjadi penulis terkenal atau bahkan menjadikan hobi ini sebagai mata pencaharian.

Kadarnya sama dengan suka tidur, suka makan dan suka membaca tentu saja. Tak ada yang lebih tingi atau lebih rendah. Contohnya, ketika membaca sambil makan atau menulis lalu tertidur. Ketika terbangun, huallaa… sudah berada di halaman 30. Ternyata jari manis menekan tombol ‘enter’ - dalam tidur.

Dulu, mengira bahwa saya mengidap skizofrenia. Penyakit yang membuat berhalusinasi berada di pantai sepi berpasir merah. Benar, saya membayangkannya ketika marah. Tinggal menutup mata, dan berteleportasi dalam hitungan sepersekian detik.

Bisa juga tiba-tiba melamun dan membayangkan kisah menarik. Adegan itu berlompatan di kepala. Lalu berbicara pada diri sendiri. Membayangkan adegan ini begini dan begitu. Orang-orang menyebutnya “gila”. Tapi aneh, saya menikmatinya.

Menulis juga demikian. Saya menuangkan apapun ke atas berlembar-lembar kertas. Sekarang, mereka lebih suka menyebutnya ‘file’. Saya menulis apa saja dan di mana saja. Ketika terlintas, seketika buka note di hp dan mulai mengkerangkeng ide liar itu. Entah ketika di kelas, di pasar, bahkan di dalam toilet sekalipun. Ini membuat ide semakin menari heboh di dalam pikiran. Tak sabar dieksekusi dan dilahirkan menjadi tulisan utuh.

Saya selalu percaya, semua orang bisa menulis. Menulis mimpi dalam kertas angan. Terlahir menjadi tulisan atau tidak, tergantung dari orang tersebut ingin ‘mengandung’ ide atau tidak. Menjaga, merawat dan memberinya nutrisi agar saat lahir, berwajah rupawan. Tulisan yang menawan.

Membaca peluang apalagi, terlalu muluk-muluk bagi saya. Menulis saja, jalan hidup kita akan mengikuti bagaimana tulisan kita. Peluang akan banyak bertebaran di sana. Media masa pun media online yang semakin menggeliat perkembangannya. Akan ada banyak kesempatan. Tapi jika tulisan masih begitu-begitu saja. Kaku dan sulit dicerna, bagaimana bisa diterima? Menulis saja, perbaiki sambil jalan.

Pernah suatu waktu saya bertemu seseorang yang ingin sekali menjadi penulis terkenal. Saat saya tanya, apa ia suka membaca, ternyata tidak. Banyak orang yang ingin sukses tanpa mau tahu proses panjang yang harus dilalui. Tere Liye toh dulu tak setenar sekarang. Sebagai lulusan ekonomi, ia memulai kariernya menulis tentang pandangannya di dunia ekonomi. Berenang di kolam milik sendiri.

Sampai saat tulisan ini dibuat, saya telah mengirim beberapa artikel ke media cetak dan online. Beberapa berhasil ter-publish, selebihnya masuk tong sampah. Tapi saya tak mau berkecil hati. Kata Paul Arden, “fail, fail again, fail better.” Bagaimanapun, akan saya habiskan jatah gagal saya. Tidak sedikit yang meminta saya melahirkan sebuah buku. Bukan bahagia, saya justru tertekan. Imajinasi hilang.

Benar kata Paulo Coelho, di buku Like the Flowing River (hal 12), “don’t be influenced by what other people say. You are going to put a lot of energy and enthusiasm into achieving your objective, and you are the only person responsible for your choice, so be quite sure about what you are doing.

Memanfaatkan peluang perlu, tapi memperbaiki kualitas diri juga tak kalah pentingnya. Saya hanya harus terus belajar kapan saja dan dari mana saja. Hingga suatu saat nanti, ketika tulisan matang dan enak, pembaca tidak kecewa. Karena tentu saja, hasil tidak akan pernah mengkhianati proses.

Perjalanan ini membuat saya untuk terus belajar, belajar dan belajar. Selalu membaca, membaca dan membaca. Hingga mampu menulis, menulis dan menulis. Lalu mengirim, mengirim dan mengirim. Hingga hobi ini tuntas, lepas dan menemukan muaranya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One Day One Post

Saya tak pernah benar-benar mengerti. Sebuah perkumpulan manusia dengan satu misi. Lucu jika kemudian ada yang bertahan dan tereliminasi. Bu...