Minggu, 28 Oktober 2018

Di Bawah Pohon Sakura

Menurutmu, aku harus mulai dari mana? Dari dersik ilalang membawa terbang suaramu. Atau, dari kabut yang menyamarkan bayanganmu?

Tidakkah kau berkenan menoleh sejenak. Pun meski dengan cara klandestin, rahasia. Menilik pemilik tubuh membeku di bawah pohon sakura. Lalu mendekat dan melukis senyum di bibirnya.

Ahh, sayang hidup tidak semudah dandelion terlepas dari indungnya. Ketika gerimis mengerangkeng semesta. Aroma petrikor menyeruak dari balik semak. Tanah basah yang tak mau kalah.

Baiklah, memang harus ada yang mengalah. Aku akan pulang. Turut serta dengan swastamita. Beranjak dari langit jingga.

"Setidaknya ada yang tercetak di mulutmu sebelum melangkah." Pikiran gila yang membuat hatiku halai-balai. Ah, sudahlah. Toh kau sudah tak ada di sini.

Pohon sakura perlahan tertinggal jauh. Gemerisik rumput membendung. Rintik semakin deras menghujam tubuh yang hanya berbalut gaun merah marun kesukaanmu. Warna yang kuharap menarik mata bintang itu.


Sia-sia. Harusnya aku tak perlu memelihara rasa menyebalkan ini. Gemereletak yang selalu berlompatan ketika melihatmu. Rasa yang tak pernah mampu aku taklukkan sejak bertemu satu tahun lalu. 
 
Dan menanti seseorang mengetahui apa yang dirasakan itu menjemukan. Sangat melelahkan.

Aku menarik napas dengan rakus dan mengeluarkan kasar berkali-kali hingga..

"Nayanika!!"

Tubuhku menegang. Suara itu... Aku berbalik dan mendapatinya berlari mendekat.

"Ke-ke-napa pergi?" Suaranya tersengal. Laki-laki berkulit cokelat kekuningan telah berdiri tepat di hadapan.

"Arkian..." suaraku lebih seperti bisikan. Tunggu. Bagaimana dia ada di sini? Bukankah tadi berkata akan pergi? Lalu begitu saja meninggalkan aku di taman. Mau apa lagi sekarang?

"Maukah... Hhmm.. Maukah kau menemaniku?" Suaranya hampir kandas oleh gemuruh jutaan tetes air langit memukul permukaan Danau Pancawarna di samping kami. Gerimis berubah menjadi gertakan.

Alisku terangkat. Yang berarti: 'What are you talking about?'

"Will you marry me?" 

What!! Wajahku memanas! Hujan semakin lebat.

"Jangan. Maksudku, tidak perlu dijawab sekarang. Besok. Insyaallah besok. Aku menemui orang tuamu," katanya kemudian yang justru membuat jantungku berdegup tak beraturan.

"Ini... tadi aku pergi membuat ini. Saat kembali, kamu sudah tidak ada di bawah pohon sakura. Maaf membuatmu menunggu lama." Cincin dari ilalang kering dengan bunga rumput sebagai manik tergeletak di telapak tangannya yang menengadah.

-Menanti subuh
*Violeta
Jeddah, KSA. 6 September 2016. 3.00 am.


SwastamitaS = sunset
Petrichor = aroma hujan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One Day One Post

Saya tak pernah benar-benar mengerti. Sebuah perkumpulan manusia dengan satu misi. Lucu jika kemudian ada yang bertahan dan tereliminasi. Bu...