Sabtu, 13 Oktober 2018

Summer Dingin di Sapporo.

Saya kok ya heran. Angin mobat-mabit, mendung dan hujan nyaris tiap hari ini membuat orang-orang gerah. Kipas angin laku keras. Baju tipis dan terbuka, duh jangan ditanya.

Tiap pagi, saya harus buka ramalan cuaca. Lha pie, ga asik cuy kalo lagi duduk-duduk di taman tepi danau. Ngamatin kecipak air dari polah kaki itik yang ga ada capeknya berenang itu, tetiba tiktiktik, bunyi hujan di atas genting.

Pernahlah nrabas hujan cuma buat beli sawi ke supermarket. Dongs, itu sepeda saya cuma satu-satunya di parkiran. Padahal biasanya penuh sesak berderet-deret.

Maka cuaca terang benderang, dengan matahari hangat menghias angkasa, yang biasanya cuma 3 hari dalam seminggu. Membuat kami menyusun rencana mau ke mana.

Gilanya, entahlah yee.. tapi sering lho obrolan jadi kaya paranormal.

"Jalan, yuk."

"Senin minggu depan, cloudy, nih. Hayuklah. Soalnya minggu sama selasa hujan."

Baru 1 minggu lagi lho itu. Udah ada ramalannya. Dan buat kami, mendung sudah menjadi anugerah.

Dan saya akan bela-belain jalan kaki keliling blok cuma buat berada di bawah siraman terik matahari yang langka.

Kaya sekarang ini, tiba-tiba nyantol di Hokkaido University cuma buat nonton kakek-kakek yang asyik motret teratai.

Dulu saat kuliah, saya pernah bertemu orang Jepang di Jepara. Kami satu team untuk program penanaman mangrove yang memang sudah di pelopori oleh Universitas Diponegoro.

Setiap tahun akan ada acara di mana perwakilan mahasiswa se-Semarang dibekali ilmu per-mangrove-an dan bagaimana menjaganya. Dari bibit, hingga tumbuh membesar.

Saat kami berdua menyusur bibir pantai dengan terik Pulau Jawa yang aduhai, si Cinta, begitu kami akrab memanggilnya, cuma pakai kaos oblong dan kolor biru.

Katanya, cuacanya hangat. Nyenengin. Bikin betah main lama-lama.

Saya cuma ngakak. You know, semua tim sudah kalang kabut ke penginapan. Sibuk banget pake sunblock, topi, baju dan celana serba panjang. Kalau perlu ya payungan.

Di Jepang, summer itu artinya, duduk lesehan di taman, bawa bento, main sama merpati, berenang atau ke zoo. Apalagi Sapporo yang kemunculan matahari bisa dihitung pake jari.

Ini yang kemudian membuat saya bersyukur lahir di Indonesia. Cuaca bersahabat. Bunga mekar setiap saat. Plus, cucian kering dalam beberapa jam.

Si kakek barusan duduk di sebelah. Cuma buat ganti lensa kamera. Berdiri lagi. Cekrak cekrek lagi. Lalu kemudian..

Braakkk... Sepeda saya ambruk. Bungkusan lobak di keranjang berjatuhan ke tanah. Burung hitam besar nangkring di atasnya

Kyakkk... Lupa saya dengan pesan mamas kalau lagi jalan. Jangan pernah ninggalin makanan di keranjang. Bukan karena khawatir dicuri orang. Tapi dipatuki gagak.

Coba di Kudus, tuh burung bisa berubah bentuk. Iya, jadi iwak manuk goreng dengan lalapan dan sambel bawang.

Jadi sebenernya kamu pengen bahas apa sih, Vi? Absurd yaa.. soalnya yang tentang pindahan itu udah diceritain si mamas semua. Gini nih susahnya kita berdua sama-sama suka nulis.

Coba kalau sama-sama suka masak. Kan saya bisa libur dulu eksperimen di dapurnya. Hahaa..

Btw, lobak bisa dimasak apa ya? Pemberian dari sepasang suami istri asli Jepang. Langsung dipanen dari kebun saat saya main ke rumahnya barusan. Mirip bengkoang tapi ga bisa dipakai maskeran.

*Marintha Violeta
Sapporo, 14 Juli 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One Day One Post

Saya tak pernah benar-benar mengerti. Sebuah perkumpulan manusia dengan satu misi. Lucu jika kemudian ada yang bertahan dan tereliminasi. Bu...