Minggu, 28 Oktober 2018

Autumn in Japan

"Red leaves blow in the wind
Leaving home and everything it's known behind
Barren branches wave goodbye
As the red leaves slowly die
Every flower stares and watches
As the wind takes me away
As the wind takes me away..." - Autumn, Haste The Day


Duhh, jadi melow. Iya, waktu mamas ngajak liat momiji, daun merah dan pohon ginko yang kuning keemasan di Hokkaido University, sudah sedih duluan.

Kasihan. Daun-daun cantik itu nantinya akan layu, rapuh, lalu jatuh. Terinjak-injak. Kemudian hancur diguyur hujan. Apakah keindahan sebegitu hipokritnya? Apakah 'cantik itu luka'?

Pula jahatkah aku saat tertawa di bawah pohon yang beberapa hari lagi akan gundul dan menyisakan rating kering buruk rupa? Lalu dengan bodohnya bertanya, bagaimana pohon masih bisa hidup dengan bentuk mengerikan seperti itu? Kenapa tak mati sekalian saja?

"Proses bertahan hidup. Siklus alami, kan?" Mamas menghibur berkali-kali. Sampai saat kami perlahan mengayuh sepeda menuju tengah kota. Rasanya, tak ingin berlalu saja.

Apa tak ada indah yang abadi, Dear? Kenapa di balik pesona ada kehancuran yang merongrong? Siap bersemi, juga siap mati.

Mereka susah payah untuk tumbuh di musim semi, kan. Menguat di musim panas. Perlahan musnah di musim gugur. Nyaris sekarat di musim dingin bersalju.


"Ga mati kok, tahun depan juga lebat lagi. Peralihan yang membuat dia makin kuat, kan?" Lelaki yang tak pernah kehabisan senyum itu berkata pelan sambil mendorong sepeda saya maju.

Dibanding foto-foto, saya lebih suka duduk melamun. Menata hati.

Kalau pohon bersiklus, manusia juga, kan? Nanti, aku juga akan berada pada titik serapuh itu, hingga sepoi mampu menerbangkan ruh ini. Tak ada yang peduli. Tak ada. Siklus alami, kan? Nanti juga akan ada yang lahir lagi. Akan ada yang mengisi hari-hari lagi. Kesedihan itu fana, Honey!

Tinggal siapa yang pergi lebih dulu. Siapa yang melanjutkan sisa usia yang entah berhenti di mana.

Sayang, manusia tak pernah benar-benar tahu. Akankah ia bisa bertahan hingga musim berikutnya? Atau gugur sebelum menemukan Tuhan?

Kupungut selembar daun merah itu. Urat-urat kuat. Aroma manis menelasak. Gradasi warna yang ajaib. Tapi sayang, cantiknya permukaan tak mampu membuat angin bertekuk lutut.

Makhluk hidup harus menggugurkan sebagian dirinya untuk bertahan dan menghebat, katamu. Untuk berkembang dan melanjutkan hidup. Untuk terus percaya, bahwa jatuh, bukan akhir dari segalanya. Bahwa menjadi rapuh, bukan kelemahan. Bahwa menangis, tak berarti duka. Bahwa mati, hanya tentang menepati janji untuk kembali.

Tulus kasih Allah dalam pelataran yang penuh daun kering terkoyak asa, membuat waktu seakan sempit saja. Musim berganti, manusia beregenerasi.

Akankah aku bisa bertemu momiji lagi tahun depan, Dear? Menyaksikannya terbang dan perlahan hilang. Entah terinjak manusia. Entah dibunuh ganasnya dunia yang semakin gila.

"Sometimes a strong wind blows suddenly and you leave your beloved tree without saying even goodbye, like a pale autumn leaf! This uncertainty of life makes every moment in life infinitely precious." - Mehmet Murat ildan

Autumn... Perayaan menyaksikan anak-anak daun berpisah dari ibunya. Cantik yang menyakitkan.

*Marintha Violeta
Sapporo, 27 Oktober 2018,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One Day One Post

Saya tak pernah benar-benar mengerti. Sebuah perkumpulan manusia dengan satu misi. Lucu jika kemudian ada yang bertahan dan tereliminasi. Bu...