Minggu, 07 Oktober 2018

Malaysia dan Cinta Dua Negara

Kembali bertemu kakanda Arsyad Syauqi artinya kembali ngemper di bandara Kuala Lumpur, rebutan colokan dan berburu wifi gratisan.

Ya, sebenarnya ngemper kali ini lebih manusiawi, sih. Tak ada drama ngejar pesawat, apalagi ribut sama petugas gegara delay imut yang bikin gemesh gimanaaa gitu.

Pas mendarat, udah aja nunggu jemputan yang malah jadi tour guide gratis, sering bayarin dan mau banget direpotin banyak.

Duh, harus sungkem banyak-banyak sama Mba Dewie DeAn ini. Mana ikut rempong gotongin tas segede gambreng. Seberat kingkong. Dan nggendong mesra unicorn yang sering diteriaki kambing.

Karena kemurahan hati beliau ini lah, jadi bisa ngicipin Kuala lumpur yang konon dulunya berawal dari muara sungai Klang dan sungai Gombak area perdagangan biji timah.

Tempat bersejarah itu jadi icon 'River of Life'. Keren banget sih tempatnya. Jadi ya kalau kalian ke Kuala Lumpur bolehlah mampir sejenak ke sana. Nggak cuma ndangak-ndangak liat petronas yang pintu masuknya dijaga polisi.

Tempat fotonya dipenuhin turis-turis yang mau ambil photo aja sambil njengking-njengking biar dapet background full gedungnya yang bercahaya waktu malam. Saran ya, kalau ke sana di atas tengah malam aja, sambil ngalong.

Tempat menginap saya di kawasan Little India. Yang, otomatis, kiri kanan atas bawah itu serba I-N-D-I-A.

Pas lagi sarapan roti canai saus kari yang ingin nangis di gigitan pertama -kangen banget sama makanan yang nyaris tiap malam saya makan saat di Arab dulu-, isenglah tanya Mbak Dewie.

"Kalau ribuan orang India tiba-tiba migrasi ke Indonesia terus bikin area serba India, dari hotel, resto, perkantoran sampai toko emas kira-kira gimana, ya?"

Hhaa... Ngakak bentar. Lalu dijawab dengan kalem, "Ya mereka kan datangnya baik-baik. Bantu perekonomian Malaysia. Buka toko. Eh, jadi tempat wisata."

Ya sih, kebanyakan orang India di sini pada bisa Bahasa Melayu. Fasih. Blas ga ada medok India yang nyebut huruf t digabung d. Atau bilang iya sambil geleng-geleng.

Proses asimilasi budaya terjadi karena terbiasa. Termasuk ya membiasakan diri dengan beragam perbedaan yang ada. Nyatanya toh di Malaysia etnis sudah tak lagi jadi tembok penghalang untuk bersosialisasi dan hidup bersama. Menyatu berbentuk Cultural  Sustainability, budaya berkelanjutan.

Persislah dengan area pecinan di Semarang yang justru jadi objek wisata saat imlek menjelang. Atau Sam Pho Kong yang ramai dikunjungi setiap hari.

"Di sini banyak orang Arab juga. Dan mereka betah, lho," tambah Mbak Dewie waktu kita jalan ke air mancur menari di Suria KLCC di belakang menara Petronas.

Ya, di Arab juga banyak orang Indonesia, dan mereka betah. Termasuk perawat-perawat muda yang belum mau pulang kalau rumah belum diberesin, adik-adik belum selesai sekolah dan calon pasangan belum terlihat hilalnya. Hahaa...

Jadi, ngemper syahdu kali ini diisi dengan ngecharge HP di depan markas. Lumayan kan ketemu pramugari, pramugara dan abang-abang pilot yang dari tadi lalu lalang di depan mata.

Yang tiap lewat selalu kasih senyum ramah dan anggukan isyarat, "Nyuwun Selangkunge, Mbak." Ehh, maksudnya, "Nderek langkung, Mbak."

Seperti motor di Malaysia yang wajib ada keranjangnya, transit sebelum ke Jepun kali ini ya wajib ada wangi-wanginya. 

Termasuk, bingung cara pakai tiket (token) LRT plus kengerian karena yang bentuknya kaya hadiah chiki -bulet, kecil, dari plastik- tapi berharga itu ilang. Sampai kesambet di toko MYDIN yang masyaallah, surganya cokelat!!!

Bulan Juni ini benar-benar ramai kejutan, plus ucapan. Terima kasih yang telah memberi pesan di timeline, messenger, wa. Maaf belum bisa dibalas satu-satu. Beberapa hari ini rempong urusan nyari kopi sachet-an dan money changer yang aduhai, di Semarang ternyata masih langka. Insyaallah nanti dibalas ya.

Buat Mba Dewie yang parah kebangetan baiknya. Sampai izin ke toko sebelah, eladalah, dateng-dateng bawa kue tart. Uhh.. kok romantis banget jebul. Beruntung sangat dah tuh lelaki yang mendapatkanmu nanti.

Buat Malaysia, tetep berbenah dan ramah turis ya. Suka deh sama penggalakan ramah pejalan kaki dan tunanetra. Ada suara di lampu merah, lajur tapak kuning, eskalator di mana-mana termasuk peta lokasi "Where am I" di hampir tiap perempatan.

Meski beberapa spot masih yang, ummm, perlu perbaikan, tapi ya proses kan harus tetap dinikmati.

Dari mengunjungi Masjid Jamek dan kelilingan Pasar Seni yang dibangun sejak 1888 yang tetap cantik dan lestari, membuat saya seperti terlempar dalam pusara ruang dan waktu.

Kehidupan akan terus bergelimpang. Masa lalu dan masa depan hanya berbatas dinding tipis yang akan dilewati tanpa sadar.

Kita hanya harus berbenah. Bukan hanya tentang reboisasi, membersihkan kali, mengecat kembali bangunan lama agar elok dipandang mata. Tapi juga menata hati.

Menjaga kelembutan tutur kata, menyambung persaudaraan dan merekatkan kembali rongga-rongga jarak yang menjauhkan cinta dua negara. Halah.

Semoga suatu hari bisa kembali lagi.

Lha kalo ini jelas. Sebelum adanya trayek pesawat langsung Sapporo - Semarang, negara ini tetap jadi tujuan. Kecuali nanti kalau salah satu dari kalian mbangun maskapai baru. Bolehlah nebeng jugak. Hahaks..

*Marintha Violeta
Kuala Lumpur, 26 Juni 2018. 18.37.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One Day One Post

Saya tak pernah benar-benar mengerti. Sebuah perkumpulan manusia dengan satu misi. Lucu jika kemudian ada yang bertahan dan tereliminasi. Bu...