Minggu, 21 Oktober 2018

Keluar Negeri Tak Selalu Mudah with Pak Nina Hanafi


Foto itu saat bertemu Indonesian Diaspora Network France. Di samping kiri adalah Bapak Nina Hanafi selaku ketua. Sekaligus co-founder Restoran Djakarta Bali di Perancis, yang terkenal.

Lainnya, adalah jajaran ibu-ibu dari Kedutaan Indonesia di Perancis yang sudah berpuluh tahun tinggal dan membesarkan anak-anak mereka di negara orang.

Banyak yang hanya melihat foto-foto saya, lalu spontan bilang, “pengen iih kaya Mbak Vio..”

“Wah, enak ya jalan-jalan diluar negeri terus. Iri deh.”

Dan kalimat serupa yang mampir di beranda, inbox, IG, dan WA.

Aduh, berkali saya katakan, jangan. Pergilah ke Paris dengan normal. Karena proses saya ke sana tak seelegan nampaknya.

Saya ceritakan, semoga tak ada lagi penderitaan yang sama teman-teman temui. Semoga ada pelajaran yang disimpan, bahwa keluar negeri, tak semudah yang terlihat di permukaan.

Ya, padahal, semua hanya area cerah setelah melewati terowongan panjang, pengap, dan berbau busuk. Wilayah sempit, seukuran kamar kos 2x1,5 saya di Bandung, dulu. Tempat untuk tidur, makan dan mendengarkan radio. Tanpa TV, galon air dan smartphone.

Bahkan hampir saja, hanya beralas tikar karena ‘tempat tidur’ yang mereka sebutkan, ternyata hanya dipan kayu, tanpa kasur.

Di kost pula menjadi tempat bersejarah, betapa dulu pernah berguling-guling menahan nyeri lambung tengah malam. Karena hanya berisi mie gelas dan seblak. Makan dua kali sehari, berjalan berkilo-kilo demi tak membayar angkot dan menggadai laptop.

Demi menyisihkan uang untuk membayar agency dan PJTKI yang mengurus keberangkatan ke Arab Saudi.

Tapi hal itu juga yang membuat saya tak ingin mundur, walau sesenti. Meski di-bully, dicaci maki, dikatakan tolol karena akan meninggalkan pekerjaan enak di Rumah Sakit ternama. Juga tuduhan, “kamu kok tega ninggalin orang tua!”

Rasanya, ke Spanyol itu hanya gula di atas pahitnya jamu brotowali satu kendi. Tak akan ada yang iri pada hidup saya, jelas, bila tahu saya pernah harus menahan takut karena hampir diperkosa.

Setelah interview untuk ke Arab Saudi, di Jakarta, saya kembali ke Bandung sore itu juga. Jam 12 malam baru menjejak Bandung karena kehabisan tiket kereta dan macet yang menggila.

Sayangnya, penumpang hanya diturunkan di Jalan Pasteur RSHS. Tanpa ojek online seperti sekarang, tanpa angkot lalu lalang, jalanan yang sepi, dan saya yang sendirian. Maka, jalan kaki sampai kosan di Cicendo, jadi satu-satunya pilihan. Ada kali 3 km.

Beberapa menit berjalan, saya dibuntuti pengendara motor berjaket kulit. Tanpa membuka kaca hitam di helm cakilnya, bagaimana mungkin percaya saat dia bilang, “ojek neng, saya antar.” Pula berita mutilasi berseliweran di media membuat 1000x waspada.

Kosan masih jauh, jalan semakin senyap, jam di tangan hampir menunjuk angka satu saat pengendara itu mencoba memepet tubuh saya yang gemetaran di balik jaket. “ikut saya saja, Neng!”

Allah!!! Saya teriak kencang-kencang di otak!

Dengan jantung berdebar dan keinginan untuk menikah, punya anak, bahagia, membuat kaki lecet spontan terangkat dan berlari di sepanjang jalan Pasir Kaliki.

Tidak! Tentu saja tak berharap nama saya masuk headline Bandung karena ditemukan mati diperkosa. Ya Allah, lindungilah.. lindungan..

Saya berlari di tengah jalan, berharap ada mobil lewat dan mengklakson. Tapi nihil. Saya berlari menghentak kaki, berharap ada satpam hotel bersiaga, tapi kosong. Saya berlari, berharap ibu-ibu hati baik mengintip dari jendela, tapi gulita!

Laki-laki itu masih di sana, menjaga jarak 200an meter di belakang. Dengan derum mesin yang membuat bulu kuduk berdiri. Allah! Bagaimana?? Apakah takdir sampai malam itu saja?

Saya menambah kecepatan. Meski betis terasa panas terbakar karena lelah perjalanan.

Sampai di depan Mall Istana Plaza, ada lahan kosong teat di seberangnya, dengan pagar tembok yang hampir roboh. Berhadapan dengan KFC yang melompong. Di perempatan itu, saya berbelok kiri cepat dan meringkuk di balik bongkahan pagar.

Menangis mendekap mulut. Entah bagaimana tubuh. Dengan napas tersengal, keringat tumpah dan jantung melorot ke perut.

Suara motor mendekat, berhenti beberapa detik di depan Mall, sebelum menjauh, dan hilang. Saya menangis sejadinya.

Jam 2 malam baru sampai kosan dengan tubuh remuk redam dan kaki lecet. Jam 7 pagi sudah dinas di ICU dan siap nge-RJP pasien.

Drama itu nyata. Gila. Dan tidak patut untuk diikuti. Apalagi dijadikan lahan iri. Tak akan ada yang tahu, setiap kebahagiaan, menyimpan trauma, luka menganga.

Diluar sana, saya yakin banyak kejadian lebih menyakitkan dalam perjalanan menggapai mimpi. Seperti teman-teman Indonesia di Eropa dan Timur Tengah.

Tak akan mudah. Selalu. Kesuksesan tak pernah diraih dengan kesenangan. Tapi luka dan air mata yang membuat bertahan dan meyakini apa yang patut diperjuangkan.

Kalau saja tak ikut interview di Jakarta, memilih hidup normal dengan bekerja di RS internasional di kota kembang, tak akan ada nasib buruk di Pasir Kaliki malam itu.

Kalau saja lebih mendengarkan teman dan saudara yang mengatakan, “kamu miskin, tidak mungkin bisa keluar negeri!”, tak akan ada cerita tentang Arab Saudi, Paris, apalagi Spanyol.

Jangan menyerah. Tolong, jangan menyerah.

Hidup tak pernah mudah, tapi sekali kita berhenti melangkah, selesai sudah.

Untuk yang sedang terluka di puncak mimpi, kuatkan hati, di titik itulah nyali diuji. Berapa lama sanggup bertahan. Akankah selalu menyalahkan keadaan. Atau bersyukur dengan apa yang telah Allah berikan.

“Aku memandang masalah sebagai teman. Aku belajar tersenyum karenanya, belajar sabar karenanya, dan akhirnya, dewasa karenanya.”

Percayalah, Allah selalu ada, untuk hambanya yang percaya, dan mau berusaha.

Dari Pak Nina Hanafi saya meyakini, tak ada yang tak mungkin bila tembok hambatan didobrak dan menjadi arena berkembang yang menguntungkan.

*Violeta
Semarang, 17 Oktober 2017. 11.47 pm.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

One Day One Post

Saya tak pernah benar-benar mengerti. Sebuah perkumpulan manusia dengan satu misi. Lucu jika kemudian ada yang bertahan dan tereliminasi. Bu...